Jumat, 07 Maret 2008

UU Pemilu Baru Tak Akan Bawa Perubahan Berarti


Jumat, 29 Februari 2008 | 00:40 WIB

Jakarta, Kompas - Undang-Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dinilai tidak akan membawa perubahan berarti bagi parlemen Indonesia. Parlemen masih akan tetap dikuasai partai- partai lama.

”Artinya, nasib rakyat tak akan banyak berubah karena perilaku partai politik masih sama,” kata peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris, Kamis (28/2).

Menurut dia, sistem pemilu yang baru tidak terlalu berbeda jauh dengan pemilu sebelumnya. Meskipun calon anggota legislatif yang terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP), jika tidak terpenuhi, akan ditentukan oleh nomor urut yang ditetapkan parpol.

”Anggota legislatif masih lebih banyak ditentukan oleh partai daripada pemilih,” katanya.

Pemberlakuan dua sistem threshold sekaligus, yaitu electoral threshold dan parliamentary threshold, juga menunjukkan inkonsistensi parpol. Threshold dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD hanya electoral threshold sebesar 3 persen.

Untuk pelaksanaan dua threshold tersebut, UU pemilu legislatif yang baru memberikan aturan peralihan. Parpol peserta Pemilu 2004 yang memiliki kursi di DPR tetapi tidak lolos electoral threshold langsung ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2009. Padahal, sesuai dengan aturan, mereka seharusnya ikut verifikasi ulang dengan mengubah nama partainya.

Kondisi ini tentu mencederai UU pemilu legislatif lama yang juga merupakan produk DPR sendiri. ”Ini hanya untuk memenuhi kompromi politis saja,” ujar Syamsuddin.

UU pemilu legislatif yang baru dinilai Syamsuddin hanya akan menguntungkan parpol-parpol besar. Namun, UU pemilu ini tidak dirancang dengan mengantisipasi dampaknya bagi sistem politik nasional. ”Parpol lebih berkonsentrasi demi kepentingannya masing-masing,” ungkapnya.

Di Yogyakarta, mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Akbar Tandjung menilai RUU pemilu yang baru memiliki keunggulan, terutama karena calon terpilih ditetapkan terhadap calon yang mencapai 30 persen dari BPP.

”Saya mendukung suara terbanyak untuk menentukan calon terpilih jika ada lebih dari seorang yang mencapai 30 persen supaya sistem pemilu semakin demokratis,” ujarnya.

Kompetisi yang semakin kuat diyakini akan mendorong peningkatan kualitas. Selain itu, para konstituen bisa membuktikan kapasitasnya sebagai wakil rakyat yang bisa dipercaya. ”Secara kualitatif, pemilu mendatang seharusnya bisa lebih baik,” kata Akbar.

Suara perempuan

Secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Bidang Kewanitaan Ledia Hanifa mengharapkan UU Pemilu bisa mengakomodasi suara perempuan. Hal itu tidak sekadar dalam bentuk partisipasi politik, tetapi juga menyediakan ruang representasi politik.

Salah satu caranya adalah dengan memberikan peluang bagi suara terbanyak untuk mendapatkan kesempatan duduk di kursi legislatif. ”Mekanisme ini akan memungkinkan semua anggota legislatif bersaing secara sehat dan bukan sekadar dengan nomor urut teratas,” ujar Ledia.

Saat ini, menurut dia, perempuan masih menantikan mekanisme yang akan disepakati dalam RUU Pemilu. Jika pilihannya nanti pada nomor urut, tentu saja harapan kesempatan perempuan untuk masuk di legislatif akan tergantung dari kebijakan partai politik masing-masing. (Mzw/mkm/mam)



 

Tidak ada komentar: