Selasa, 25 November 2008

Fundamental Hukum


Satjipto Rahardjo

Ada kekhawatiran, kehidupan berhukum bangsa kita bukannya membaik, melainkan semakin memburuk. Kita mengira, dengan menggenjot produk perundang-undangan dan memperbaiki institut-institut hukum, hukum di Indonesia akan menjadi lebih baik. Ternyata obat untuk menghentikan kemerosotan hukum tidak di situ.

Setelah bangsa ini terbentur ke sana-kemari dalam berhukum dan mengoperasikan negara hukum Indonesia, maka kita pantas mulai bertanya, ”Sudah benarkah fundamental hukum kita?” dan, ”Sebenarnya, kuatkah fundamental hukum kita?” Kita cuplik dunia korupsi di negeri ini sebagai sampel.

Pemerintahan Presiden Habibie membanggakan telah memproduksi sekian puluh undang-undang selama pemerintahannya. Bangsa ini juga serius memberantas korupsi dengan memperbarui dan memperbarui lagi undang-undang korupsi. Juga disiapkan lembaga untuk itu, seperti Pengadilan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan istimewa itu.

Ternyata, jaring yang bagaimanapun kuatnya tidak mampu menjaring koruptor dengan efektif. Jaring itu jebol ditabrak koruptor, bahkan kini mereka berada di seluruh penjuru Tanah Air.

Hakim Agung pun dicoba disuap. Jaksa yang konon jempolan pun akhirnya dibuat bertekuk lutut di ujung telepon. Terakhir diberitakan, seorang arsitek dan pendekar antikorupsi yang gigih didakwa melakukan korupsi.

Belajar mencari tahu

Dari pengalaman Indonesia selama 60 tahun lebih, kini kita sebaiknya belajar untuk mencari tahu lebih baik di mana sebetulnya fundamental hukum itu. Sekarang, kita sebaiknya dengan lebih cerdas mengatakan, fundamental itu ternyata bukan terletak pada substansi dan struktur, tetapi pada sesuatu yang lain. Kemerosotan hukum memberi berkah untuk merenung, bertafakur, melakukan kontemplasi tentang fundamental hukum kita.

Kita akhirnya sadar, hukum itu akhirnya menyangkut perilaku manusia. Semua perbaikan substansi, sistem dan struktur, bahkan profesionalisme menjadi tidak berarti apabila kita mengabaikan faktor perilaku manusia.

Urusan hukum itu berhubungan dengan perilaku manusia. Di sinilah kita khilaf mengenali fundamental hukum. Cacat dalam melihat fundamental hukum berakibat luas, seperti yang kita alami sekarang.

Jika kita membuat neraca dari begitu banyak opini publik, maka neraca kehidupan hukum itu ternyata berat ke perilaku manusia. Terakhir, mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang cukup legendaris itu mengeluh tentang masalah harga diri manusia Indonesia, tidak tentang sistem dan lain-lainnya (”Bangsa yang Kehilangan Harga Diri”, Kompas, 13 November 2008).

Advokat senior Amerika, Gerry Spence, menulis lebih ”kejam” lagi tentang dunia berhukum di Amerika Serikat. Katanya, kalau Anda punya masalah hukum di Amerika, jangan datang ke advokat, tetapi ke juru rawat. Alasannya, juru rawat itu memang dididik dan dilatih untuk peduli terhadap dan menyayangi manusia yang menderita.

Menurut Spence, sejak mahasiswa hukum menginjakkan kaki memasuki law schools, mereka itu sudah dirampas dan ditumpulkan rasa perasaan manusianya dan yang diburu adalah kompetensi profesional. ”Apa gunanya pelana kuda berharga ribuan dollar jika hanya akan dipasang di punggung kuda yang harganya hanya satu dollar?” Begitu kasar komentar Spence terhadap dunia berhukum di Amerika Serikat. Kritik Spence itu memperkuat pendapat, hukum itu menyangkut manusia.

Terkait budi pekerti

Sebelum keadaan menjadi lebih parah lagi, sebaiknya mulai sekarang kita mengubah pendapat dan pandangan kita mengenai fundamental hukum itu. Fundamental hukum itu berhubungan dengan hidup dan budi pekerti baik, seperti kejujuran, bisa dipercaya, menghormati orang lain, dan pengendalian diri. Inilah fundamental hukum sebenarnya.

Selama ini (seperti juga di Amerika) kita telah salah memahami fundamental hukum. Fakultas-fakultas hukum kita juga lebih mengejar profesionalitas, mengembangkan soft skills agar dapat bersaing di pasar pekerjaan. Belum ada mata kuliah seperti ”mengasihi dan menolong manusia-yang-lagi-susah” dalam kurikulum hukum. Pendidikan hukum yang baik adalah pendidikan budi pekerti, bukan menjejali orang dengan sistem dan peraturan.

Hanya dengan menggenjot budi pekerti yang baik sebagai fundamen, semoga kita berhasil membangun suatu negara hukum yang menyejahterakan dan membahagiakan rakyat.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Politisasi Penegakan Hukum


Bambang Widjojanto

Ada kisah sukses, tantangan, dan hambatan dalam pemberantasan korupsi.

Sukses harus dikelola dan disebarluaskan agar kepercayaan publik meningkat. Tantangan harus dijadikan spiritualitas untuk bekerja all out, prudent, profesional dengan integritas tinggi. Hambatan harus dieradikasi, ditekan, dimasalahkan agar tidak berkembang, tidak merusak dan membuat pemberantasan korupsi kian kehilangan arah.

Konferensi Internasional ke-13 Antikorupsi yang dihadiri 135 negara baru saja digelar di Athena, 30 Oktober-2 November 2008. Agenda yang diangkat, ”Corruption and Sustainable Development”, dengan tema beragam, mulai dari penyebab dan dampak korupsi terkait krisis keuangan, sumber daya alam dan energi, perubahan cuaca, hingga globalisasi korupsi.

Isu yang mendapat perhatian serius terkait peningkatan kualitas ancaman, intimidasi, dan harassment yang harus dihadapi para pegiat antikorupsi. Hal ini terkait kelemahan kerangka hukum dan keterbatasan ruang gerak masyarakat sipil untuk mengontrol penggunaan kewenangan penegak hukum yang potensial abuse of power.

Pertemuan kepentingan

Konferensi juga memberi perhatian Nuhu Ribadu, mantan Ketua Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria yang dikenal profesional dan menjaga integritas dalam menjalankan tugasnya. Dalam kesimpulan, konferensi meminta Pemerintah Nigeria dan komunitas global antikorupsi mengambil tindakan segera atas ancaman dan tindak kekerasan fisik yang bisa dilakukan terhadap Nuhu.

Kondisi itu, pada sebagian negara—khususnya yang belum mampu mencegah aparaturnya dari politik uang, kepentingan privat dan sepihak penegak hukum—punya modus sama dengan pola agak berbeda. Ancaman kekuasaan bagi pegiat antikorupsi dilakukan kekuasaan dan lembaga penegak hukum yang melakukan instrumentasi hukum dengan menggunakan kewenangan jabatan publiknya. Ini tindakan berbahaya karena bisa dilakukan secara sistematis dan berdaya rusak tinggi.

Pada proses itu, tidak hanya potensial terjadi enginering pada saksi dan bukti, tetapi juga dilakukan kampanye ”terselubung” untuk membangun justifikasi bahwa apa yang dilakukan untuk dan atas nama hukum dan kepentingan negara.

Pada konteks itu terjadi politisasi penegakan hukum, dengan melakukan instrumentasi hukum, mulai dari penyidikan hingga pengadilan, bisa karena masalah yang bersifat personal atau social jealous kelembagaan.

Penyebab yang amat mengkhawatirkan adalah bertemunya kepentingan para koruptor dan konglomerat hitam yang dananya tak terbatas, memiliki akses dan relasi politik yang kuat dengan kepentingan ”naif” dari aparatur dan lembaga penegakan hukum.

Indonesia beruntung mempunyai KPK dan pegiat antikorupsi. Namun, beban KPK menjadi amat berat karena masifitas korupsi yang amat luas. Aparat, pimpinan KPK, dan pegiat antikorupsi berpotensi dijadikan ”Nuhu Ribadu” bila tidak ditopang peningkatan integritas lembaga penegakan hukum lainnya.

Indonesia belum bebas

De facto, Indonesia belum bebas dan masih rentan karena potensial terjangkit sindrom politisasi penegakan hukum. Ketika pemerintahan otoriter berkuasa, politisasi penegakan hukum biasa terjadi. Dalam pemerintahan reformasi yang sedang pada tahap transisi politik, perilaku koruptif bisa menjadi virus politisasi penegakan hukum dengan kualitas yang mungkin lebih ”dahsyat”. Asumsinya, kejahatan selalu bermetamorfosis membangun modus baru kejahatan dengan daya rusak kian tinggi. Metode kerja yang lebih civilized dan legal nuance menjadi salah satu strategi yang dilakukan.

Indikasi lain politisasi dapat dilihat dari pilihan kasus yang ditangani penegak hukum. Khususnya, bila lembaga penegak hukum terus menghindar untuk menangani kasus-kasus yang berdampak besar bagi kemaslahatan rakyat. Pada konteks Indonesia, upaya sengaja dan sistematis yang tidak menangani BLBI yang jelas menghancurkan sistem finansial dan kebangkrutan pemerintahan adalah indikasi politisasi hukum, apalagi jika penegak hukum bersikap menjadi ”pembela” para obligor nakal dan konglomerat hitam yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara. Juga termasuk, lembaga penegak hukum yang mencari-cari kasus dan kesalahan perkara yang masih debatable untuk dituduhkan sebagai tindak korupsi.

Bambang Widjojanto Dosen Trisakti; Advisor Partnership; Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance


Kamis, 09 Oktober 2008

Bencana Kekuasaan Kehakiman


Oleh Saldi Isra

Boleh jadi hari Selasa (7/10) merupakan salah satu hari ”penting” dalam perkembangan sejarah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Pada hari itu, Bagir Manan tetap menjadi Ketua MA meski usianya telah melewati batas maksimal yang ditentukan undang-undang; dan pengunduran diri Jimly Asshiddiqie sebagai hakim konstitusi meski masa jabatan lima tahun baru dijalani kurang dari dua bulan.

Jika diletakkan dalam upaya pembaruan kekuasaan kehakiman, kedua kejadian itu amat bertolak belakang. Di satu sisi, Bagir yang telah lama didesak untuk pensiun, tetap bertahan sebagai Ketua MA. Bahkan, saat batas usia sebagai hakim agung terlewati, Bagir tidak melakukan langkah nyata untuk berhenti sebagai ketua MA. Sementara itu, saat kehadirannya masih dibutuhkan guna melanjutkan pengembangan MK, Jimly merasa tidak perlu melanjutkannya sebagai hakim konstitusi.

Dengan kejadian itu, wibawa MA kian tergerus. Begitu pula pengunduran diri Jimly, kenegarawanan seorang hakim konstitusi dipertanyakan banyak kalangan. Meski dikatakan bertolak belakang, pilihan Bagir dan Jimly dapat bermuara pada titik yang sama: bencana di ranah kekuasaan kehakiman.

Inkonstitusional

Dua tahun lalu, saat sejumlah hakim agung memasuki usia 65 tahun, tindakan Bagir memperpanjang usia pensiun sejumlah hakim agung termasuk dirinya menjadi 67 tahun, memicu kontroversi. Meski UU No 5/2004 tentang MA memberi ruang untuk perpanjangan usia pensiun hakim agung, kontroversi itu tidak bisa dihentikan karena tidak jelasnya kriteria ”mempunyai prestasi kerja luar biasa” sebagaimana disyaratkan Pasal 11 Ayat (2) UU No 5/2004.

Sesuai kriteria itu, sejumlah kalangan yang concern atas pembaruan dan kinerja MA menilai, sebagian hakim agung yang mencapai usia 65 tahun tidak layak diperpanjang. Gugatan perpanjangan usia pensiun dari 65 tahun menjadi 67 tahun menghadapi kendala yuridis karena Penjelasan Pasal 11 Ayat (2) UU No 5/2004 memberi cek kosong kepada MA untuk menentukan sendiri kriteria ”mempunyai prestasi kerja luar biasa” itu.

Ketika batas maksimal usia 67 tahun datang, tidak ada lagi argumentasi yuridis yang dapat membenarkan Bagir bertahan di MA. Dalam hal ini saya sepakat dengan pandangan yang mengatakan, sejak tanggal 6 Oktober, tidak ada dasar hukum lagi bagi Bagir untuk bertahan sebagai Ketua MA, termasuk menjalankan fungsi administratif (Kompas, 8/10). Sulit dibantah, batas maksimal itu pula yang mendorong sejumlah partai politik mempercepat revisi UU No 5/2004.

Namun, apa pun yang terjadi dengan UU No 5/2004, ia tidak lagi berpengaruh terhadap Bagir. Dalam pengertian itu, desakan Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, agar DPR segera menyelesaikan revisi UU No 5/2004 yang memperpanjang usia pensiun hakim agung dari 67 tahun ke 70 tahun (Kompas, 8/10) tidak bisa mempertahankan Bagir sebagai hakim agung dan sebagai Ketua MA. Semua pihak hendaknya menyadari, sejak 6 Oktober 2008 Bagir tidak lagi memenuhi ”syarat” sebagai hakim agung, termasuk sebagai Ketua MA. Meminta Bagir bertahan merupakan tindakan inkonstitusional.

Ujian negarawan

Berbeda dengan Bagir, langkah Jimly menimbulkan perasaan campur sari berbagai kalangan yang selama ini concern terhadap perkembangan MK. Mayoritas kalangan sepakat, Jimly memberi kontribusi besar menjadikan MK seperti hari ini. Selama dua periode kepemimpinannya, MK tumbuh dan berkembang menjadi sosok peradilan modern. Dengan keterbukaan, akses publik, dan manajemen perkara yang dibangun selama ini, MK jauh meninggalkan MA.

Karena keberhasilan itu, pernah muncul wacana terbatas kalangan pemerhati MK untuk menyebut Jimly sebagai ”Bapak Peradilan Modern Indonesia”. Wacana itu menghilang seiring dengan kian terbacanya imajinasi Jimly menoleh ke ”luar” MK. Padahal, karena satu-satunya jabatan publik yang mensyaratkan negarawan, menjadi hakim konstitusi seharusnya menjadi puncak karier. Begitu seseorang terpilih menjadi hakim konstitusi, ia harus membunuh semua keinginan dan godaan yang ada di luar gedung MK.

Ujian sebagai seorang negarawan tidak hanya dapat dilihat dari kemampuan membunuh keinginan dan godaan itu, tetapi juga dari kesiapan menerima proses internal MK. Dalam kaitan itu, pengunduran diri itu menunjukkan kepada kita, Jimly gagal melewati salah satu ujian menjadi negarawan.

Alasan Jimly mundur karena merasa tugasnya membangun institusi MK telah rampung dan merasa bisa lebih bebas berbicara kepada publik setelah mundur sulit diterima dalam posisinya sebagai seorang hakim konstitusi. Pertanyaannya sederhana, apakah alasan-alasan itu akan tetap muncul jika Jimly terpilih lagi menjadi Ketua MK Agustus lalu?

Pelajaran

Saya sepandapat dengan Tajuk Rencana (Kompas, 8/10), kita tidak ingin hakim agung dan hakim konstitusi terjebak permainan politik kekuasaan. Karena itu, pengalaman Bagir dan Jimly harus menjadi pelajaran penting dalam pembangunan kekuasaan kehakiman ke depan.

Dalam hal ini, MA harus membenahi proses pengisian jabatan Ketua MA. Harus ada pengaturan yang jelas, dalam waktu tertentu, sebelum berakhirnya jabatan Ketua MA harus dilakukan pemilihan ketua baru. Dengan cara seperti itu, tidak akan ada lagi Ketua MA melewati batas usia yang ditentukan undang-undang. Jangan terlantarkan posisi Ketua MA karena proses politik di luar gedung MA.

Begitu juga dengan MK, proses internal tidak boleh menempatkan Ketua MK sebagai atasan yang membuat posisinya menjadi amat berbeda dengan hakim-hakim konstitusi yang lain. Jika dibuat perbedaan mencolok, setiap Ketua MK pasti gamang kembali menjadi hakim biasa. Berkaca pada proses internal perguruan tinggi. Seorang dosen bisa saja terpilih menjadi dekan atau rektor, begitu tidak lagi menjadi rektor atau dekan, mereka kembali menjadi dosen biasa.

Perlu dicatat, mengabaikan proses-proses internal di MA dan MK berpotensi menimbulkan bencana di ranah kekuasaan kehakiman. Kalau itu terjadi, hakim agung dan hakim konstitusi akan mudah terjebak pada permainan politik kekuasaan.

Saldi Isra Direktur Pusat Studi Konstitusi; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unand Padang; Kandidat Doktor Ilmu Hukum UGM

Kamis, 17 April 2008

Penyelesaian utang grup A. Latief di BRI

oleh : Anugerah Perkasa

Penyelesaian utang grup A.Latief senilai hampir Rp300 miliar sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun. Akan tetapi, hingga kini belum jelas bagaimana proses pelunasannya.

Latief, pria berusia 68 tahun, pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja periode 1993-1998 dan memiliki beberapa anak perusahaan di bawah bendera Alatief Corporation, yang saat ini harus mencicil kewajibannya, sekitar Rp281,13 miliar.

Fasilitas kredit itu diperolehnya pada 1993, 1995 dan 1996 silam. Sesuai dengan urutan waktu, perusahaan yang memperoleh pinjaman tersebut adalah PT Pasaraya Toserjaya, PT Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation, yang belakangan menjadi perusahaan induk.

Mari melihat induknya lebih dulu. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II/2006 menyebutkan perusahaan yang didirikan sejak 1994 itu harus melunasi utang sekitar Rp98,42 miliar kepada Bank BRI. Itu sudah termasuk penalti dan bunga kredit.

Awalnya, permohonan pinjaman sebesar Rp200 miliar diajukan perusahaan tersebut pada November 1996. Dana itu akan digunakan untuk menambah modal sejumlah anak perusahaan Alatief Corporation. Hampir setahun kemudian, Bank BRI menyetujui proposal tersebut dengan mengeluarkan Perjanjian Kredit Investasi dan Pemberian Jaminan (PKIPJ).

Perseroan yang terletak di kawasan Blok M, Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu kemudian melakukan dua kali penarikan masing-masing Rp55,40 miliar pada Agustus 1997 dan Rp29,45 miliar pada Oktober 1997. Setelah itu, pencairan terhenti.

BPK menyebutkan penarikan tak dapat direalisasi karena perusahaan tidak memenuhi persyaratan. "Alatief Corporation tidak menyerahkan laporan keuangan tiga bulanan, tidak membebankan hak tanggungan atas tanah di Tangerang serta tidak ada laporan keuangan konsultan independen," ungkap laporan BPK

Latief kemudian bereaksi. Dia mengajukan permohonan restrukturisasi kredit, yang awalnya Rp200 miliar menjadi hanya Rp84,85 miliar. Bank BRI setuju dan dibuatlah tambahan PKIPJ pada 2000. Akan tetapi, permohonan restrukturisasi itu tak lantas membuat perusahaan itu memenuhi kewajibannya. Tiga tahun kemudian, status pinjaman berubah. Macet.

Dugaan pelanggaran

Ini bukan melulu soal kredit bermasalah, tetapi juga tentang dugaan pelanggaran perjanjian pinjaman.

BPK menemukan adanya permohonan Latief ke Bank BRI untuk diizinkan melaku-kan ekspansi di luar daftar proyek kredit, yaitu mendirikan stasiun televisi, yang dikenal dengan PT Lativi Media Karya (Lativi). Latief berjanji untuk mencicil Rp10 miliar lebih cepat. Akan tetapi, janji hanya sekedar janji. Alatief Corporation ternyata hanya mampu membayar Rp5 miliar atau tak sesuai dengan komitmennya.

Pendirian Lativi awalnya mendapat dukungan kredit PT Bank Mandiri Tbk pada Oktober 2000. Latief meminjam sekitar Rp361,82 miliar untuk modal kerja dan investasi. Akan tetapi, itu tidak cukup.

"Karena keterbatasan waktu studi, maka terdapat kesalahan dalam perhitungan," demikian Latief, mengemukakan alasannya saat itu.

Latief juga tak memenuhi kewajibannya pada bank tersebut sehingga restrukturisasi dilakukan pada Desember 2004. Dia akhirnya menjadi tersangka gara-gara pinjaman itu, dua tahun kemudian. Ketika dihitung, dugaan kerugian negara mencapai Rp400 miliar lebih.

Utang tersebut akhirnya lunas dengan aksi akuisisi konsorsium Capital Managers Asia Pte Ltd. (CMA) pada Maret 2007. Saham Lativi diambil alih oleh perusahaan konsultan investasi yang berbasis di Jakarta dan Singapura itu.

CMA juga punya hubungan dekat dengan keluarga Bakrie pemilik PT Cakrawala Andalas Televisi (antv) dengan memiliki puluhan ribu lembar saham di televisi tersebut. Lativi pun beralih nama, yaitu tv One pada 14 Februari 2008.

BPK tetap menyatakan Latief melanggar perjanjian kredit dengan memperluas bisnis di luar kesepakatan.

Itu baru satu perkara.

Pada Februari 1995, Latief mendapat pinjaman Rp28 miliar dengan Perjanjian Kredit dan Pemberian Jaminan (PKPJ) Bank BRI.

Pinjaman itu diberikan untuk Pasaraya Nusakarya, yang berdiri sejak 1986 dan juga terletak di kawasan Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Restrukturisasi kredit dilakukan sebelum Bank BRI akhirnya menetapkan status kredit macet pada November 2003. Jumlahnya sekitar Rp38,30 miliar, terdiri dari utang pokok plus bunganya.

Dugaan pelanggaran terjadi ketika BPK menemukan Pasaraya Nusakarya memiliki fasilitas kredit bank lain, tanpa seizin kreditur pertama. Masing-masing pinjaman itu dikucurkan oleh PT Bank Bukopin Tbk, PT Bank Bumiputera Tbk, PT Bank Danamon Tbk, PT Bank Niaga Tbk, dan Standard Chartered.

"Selama utang belum lunas, penerima kredit tidak boleh memperoleh pinjaman dalam bentuk apa pun dari pihak lain baik modal kerja maupun investasi tanpa persetujuan tertulis," tegas BPK.

Penyampaian laporan keuangan perusahaan-salah satu persyaratan kredit-juga bermasalah. Direksi Bank BRI kepada BPK mengakui adanya beberapa versi laporan keuangan periode 2002/2001.

Versi pertama menyatakan terjadi peningkatan aktiva tetap, tetapi tidak laporan keuangan lainnya. Bank BRI memiliki contoh laporan keuangan lain pada 2000/2001 yang menunjukkan tidak terjadinya lonjakan aktiva tetap.

Kejanggalan itu dipertanyakan untuk meyakini mana laporan yang benar. Namun, Latief tak pernah meresponsnya.

Pasaraya Toserjaya- berdiri sejak 1981- memperoleh kredit melalui pembiayaan sindikasi Rp376 miliar, yang dipimpin Bank BRI pada September 1993. Bank itu sendiri mengucurkan dana Rp115,60 miliar. Restrukturisasi dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 1998, 2000 dan 2002. Dua tahun kemudian, pinjaman itu dinyatakan macet.

Dugaan pelanggaran kali ini adalah penyaluran piutang perusahaan itu terhadap perusahaan terafiliasi, antara lain Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation, yang baru berdiri. Masing-masing Rp12,15 miliar untuk pembayaran utang pemasok dan Rp5,61 miliar untuk biaya operasional.

"Toserjaya mengalami kesulitan cash flow akibat menanggulangi kekurangan dana pada afiliasinya," ungkap BPK, padahal, uang itu awalnya digunakan untuk pembayaran utang pokok dan bunga, terkait perjanjian kredit.

Penyaluran dana ke Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation dinilai melanggar perjanjian, yang menyatakan debitor tidak boleh memberikan pinjaman baru kepada siapa pun, termasuk pemegang saham selama utang belum dilunasi. Khusus Bank BRI, pengembalian yang seharusnya diserahkan Rp144,41 miliar.

Persoalan itu menuntun saya untuk mengetahui mengapa pinjaman tetap diberikan kepada kelompok Latief. Juga soal penetapan status kredit macet para perusahaan tersebut oleh Bank BRI pada 2003-2004.

Akan tetapi, mantan Direktur Pengendalian Kredit Bank BRI 2003-2006, Gayatri Rawit Angreni, menolak memberikan jawaban dengan alasan tidak lagi menjabat posisi itu.

"Sudah lupa itu, nanti tidak akurat. Ada orang yang lebih tepat menjawab hal tersebut."

Dia adalah Lenny Sugihat.

Lenny memulai kariernya di Bank BRI sejak 1981 dan pada Mei 2006 menempati posisi Direktur Administrasi Kredit dan Analisis Risiko Kredit. Dia adalah pengganti Gayatri. Sayangnya, dia enggan merinci.

"Mengapa restrukturisasi terus dilakukan pada Latief," kata saya.

"Itu mengikuti koridor Bank Indonesia, silakan cari di sana. Restrukturisasi itu ada aturannya, tidak hanya grup Latief, tetapi juga bakul jamu," ujar Lenny.

Dia menuturkan masalah itu diserahkan pada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara pada Januari 2006.

Namun, dia enggan memberikan informasi mengenai perkembangan terakhir penanganan piutang itu, termasuk kemungkinan pengucuran kredit kepada kelompok Latief di masa mendatang.

Saya menemui Direktur Piutang Negara Indra Rifa'i dan Kepala Sub Direktorat Piutang Negara I Etto Sunaryanto pada awal Desember 2007.

Mereka menjelaskan pemanggilan terhadap jajaran direksi kelompok perusahaan Latief telah dilakukan pada awal 2006. Ditjen Kekayaan Negara juga mengeluarkan satu kali surat paksa pembayaran terhadap Latief sekitar April-Mei 2006.

Pembayaran awal cair

Program perpanjangan masa cicilan akhirnya diberlakukan pada Januari 2007 dan dibayar per tiga bulan, mengingat jumlahnya yang cukup besar. Etto mengatakan cicilan itu belum mencapai 50%.

Indra menambahkan jumlah utang di atas Rp5 miliar diberikan batas waktu hingga 7 tahun. Itu pun bersyarat, seperti tidak terjadi gagal bayar pada cicilan pertama. Mengutip Latief, Indra mengungkapkan, perusahaan itu mencari investor baru yang bisa membayar utang lebih cepat atau sebelum tenggat waktu. "Saya meyakini Latief akan kooperatif."

Untuk mengetahui sikap kooperatif Latief dalam proses restrukturisasi utangnya, akhir November 2007, saya mengirimkan surat permohonan wawancara berikut daftar pertanyaan ke Alatief Corporation.

Sekretaris Latief, Ratna Wulansuri mengatakan dirinya berjanji untuk menghubungi saya jika bosnya yang kala itu berada di Amerika Serikat, berkenan untuk diwawancarai.

Akan tetapi, saya kembali harus menunggu karena Latief pergi ke Kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, pada pertengahan Desember 2007.

Saya mendatangi kantor Latief pada Januari dan Februari. Tak berhasil. Tak hanya kantor, rumah mewahnya di kawasan Kalimalang Raya, Jakarta Timur, juga saya sambangi. Hasilnya, dua petugas keamanan menghentikan niat saya tepat di depan pintu gerbang rumah. Mereka mengatakan tempat itu khusus untuk beristirahat. Lain tidak.

Mengirimkan pesan pendek ke telepon seluler milik Latief adalah alternatif lain. Meneleponnya. Semua nihil. Akibatnya, saya tak pernah memperoleh penjelasan langsung dari Latief mengenai utangnya. Juga, seperti tak pernah tahu kapan Wulansuri memenuhi janjinya. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Selasa, 15 April 2008

Pembuktian Terbalik : Solusi Pemberantasan Korupsi ?

Beberapa waktu yang lalu media massa ramai memberitakan penangkapan Ketua Tim Jaksa BLBI BDNI . Di sela-sela berita tentang kasus tersebut, salah satu stasiun TV Swasta menunjukan rumah dan harta kekayaan yang dimiliki jaksa tersebut, baik yang ada di Jakarta dan Bali. Kedua rumah tersebut ada dilingkungan perumahan kelas menengah ke atas. Di samping ke dua rumah, TV Swasta tadi juga menunjukan beberapa mobil kelas menengah yang juga dimiliki oleh jaksa tersebut. Kalau berdasarkan besarnya gaji jaksa, tentu kita bertanya apa mungkin seorang jaksa memiliki harta kekayaan tersbut? Belakangan baru diketahui banyak jaksa yang belum melaporkan harta kekayaannya tanpa dikenai sanksi apa pun.

Dalam hal kekayaan penyelenggara yang tidak wajar, sebelumnya Ekonom Kwik Kian Gie pernah mengatakan perilaku aparat pajak yang tidak benar. Kwik Kian Gie terpaksa meminta maaf kepada Dirjen Pajak atas ucapannya. Dirjen Pajak tersebut meminta Kwik membuktikan ucapannya kalau tidak akan dituntut secara hukum. Namun, ketika Faisal Basri juga mengucapkan tentang perilaku aparat pajak yang tidak benar Dirjen Pajak tidak berani menuntut Faisal karena Faisal meminta Dirjen Pajak melakukan pembuktian terlebih dahulu (pembuktiaan terbalik) bahwa perilaku aparatnya tidak ada yang menyimpang.

Pada setiap tanggal 9 Desember, kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Dalam kaitan itu perlu dipahami oleh kita semua, termasuk pemerintah, bahwa korupsi sudah menjadi musuh dunia. Untuk itu, strategi pemberantasan korupsi harus mengikuti cara-cara yang berlaku secara universal. Apalagi kita sudah meratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB.

Momen tersebut harus digunakan pemerintah untuk melakukan banyak perubahan menyangkut peraturan perundangan dan cara pendekatan antikorupsi. Tentu dengan mengikuti UN Convention for Anti-Corruption (UNCAC), karena tingkat korupsi dijadikan ukuran dalam pergaulan internasional.

Untuk itu, sejumlah perangkat perundang-undangan perlu segera dibenahi. Perangkat yang harus mendapat prioritas dibenahi adalah revisi undang-undang antikorupsi.
Revisi undang-undang antikorupsi terutama dipusatkan pada asas pembuktian terbalik dan recovery asset.
Asas pembuktian terbalik perlu dimasukkan ke dalam UU Antikorupsi untuk mengimbangi undang-undang yang mewajibkan setiap penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan mereka. Sebab, undang-undang tersebut tidak match dengan sistem hukum pidana yang kita miliki saat ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang ini belum bisa membuat tuntutan jika ada pejabat yang harta kekayaannya terindikasi tidak wajar. Itu kelemahan dalam sistem hukum kita. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara diakomodasi, tetapi tidak fungsional. Bahkan terhadap para penyelengara negara yang tidak melaporkan harta kekayaan, KPK tidak bisa berbuat apa-apa. Contoh paling jelas adalah mantan anggota Komisi Yudisial Irawady Joenus yang tertangkap tangan menerima suap pun, tidak melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.
Untuk itu sejak tahun 2004 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pembuktian Terbalik. Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengatakan, perpu ini dibutuhkan untuk mempercepat pemberantasan korupsi.[1]

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bahwa pembalikan beban pembuktian sangat diperlukan dalam percepatan pemberantasan korupsi.

Sejarah “Asas Pembalikan Beban Pembuktian”
Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat[2], dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik.

Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya sifat kehususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa.
Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal awam dengan istilah “pembuktian terbalik”
Pendapat Prof Andi Hamzah SH, ini sungguh tepat karena tanpa meletakan kata “beban” maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa sehingga secara harfiah hanya melihat tata urutan alat bukti saja.

Sistem Pembuktian KUHAP
Dalam hukum perdata, masalah pembuktian memang menimbulkan persepsi bias, mengingat aturan mengenai pembuktian ini masuk dalam kelompok hukum perdata materiil maupun hukum perdata formil. Berlainan halnya dengan hukum pidana. Hingga kini setelah diberlakukannya KUHAP melalui undang-undang no. 8 tahun 1981, masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil (acara). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.[3]

Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat pasal 183 sampai pasal 232 KUHP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan undang-undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging
Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 KUHAP, yaitu :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Sedang yang dimaksud dengan 2 alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa

Dalam sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan :
“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.”
Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum.

Sistem Beban Pembuktian Khusus pada kasus Korupsi sebelumnya kita telah mengetahui bahwa lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Bagaimana dengan kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK)? TPK merupakan pengecualian dan memiliki sifat khusus yang berkaitan dengan Hakim Pidana Materiil maupun Formil. Masalah beban pembuktian, sebagai bahagian dari hukum pidana formil mengalami perubahaan paradigma sejak diberlakukan Undang-undang No. 3 tahun 1971 dan Undang-undang no 31 tahun 1999.

Dalam pasal 17 Undang-Undang No. 3 tahun 1971 ayat 1,2,3,4 menunjukkan beban pembuktian dalam perkara TPK mengalami perubahan paradigma baru. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian atau shifting of burden of proof belum mengarah pada reversal of burden of proof (pembalikan beban pembuktian sebagaimana anggapan masyarakat hukum pidana terdahulu)[4]. Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif artinya apabila terdakwa tidak mempergunakan kesempatan ini justru memperkuat dugaan jaksa penuntut umum.

Dalam Undang- undang No. 31 tahun 1999 aturan tentang beban pembuktian terdapat pada pasal 37. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam kedua undang-undang ini masih terbatas karena masih menunjuk peran Jaksa penuntut umum memiliki kewajiban membuktikan kesalahannya.

Problematik Beban Pembuktian Terbalik

Keterbatasan kedua UU di atas menimbulkan pro kontra di kalangan hukum mengenai penerapan pembalikan beban pembuktian. Sebagaian mengatakan bahwa pembalikan beban pembuktian secara total akan melanggar hak asasi manusia.
Namun Prof JE Sahetappy[5] mengatakan, "Apakah benar bahwa penerapan beban pembuktian terbalik ini melanggar Hak Asasi Manusia?. Saya memang melihat akhir-akhir ini banyak interprestasi ibarat beauty is in the eye of the beholder bertalian dengan Hak Asasi Manusia. Dalam hubungan ini, saya ingin bertanya, apakah penerapan asas retroactive seperti yang sudah disetujui oleh PAH I MPR di Senayan itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Bukankah banyak LSM dan para politisi ingin sekali menerapkan asas retroactive itu bertalian dengan gross violation of human rights. Supaya diketahui saja, bahwa di dunia hukum dikenal asas de uitzonderingen bevestigen de regel (perkecualian memastikan aturan yang ada), dan itu seringkali dilupakan atau pura-pura tidak diingat oleh para partisan dari kelompok tertentu. Kalau dikatakan bahwa PERPU ini bertentangan dengan KUHAP, maka hendaklah diingat bahwa Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, yang saya labelkan sebagai undang-undang tanpa anus dan sebagai tidak memiliki aturan peralihan, pada hakekatnya suatu bom waktu dalam rangka pemberantasan korupsi. Saya tidak akan berpanjang lebar tentang hal itu disini, tetapi bersedia mengulasnya lebih lanjut apabila diperlukan."

"Apakah PERPU itu tidak bertentangan dengan KUHAP? Hemat saya tidak, sebab dalam Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, sudah diakomodasi hukum acaranya, sehingga tidak ada alasan untuk menolak PERPU ini. Sebagai suatu kesimpulan sementara dapat dicatat sebagai berikut: PERPU ini amat sangat dibutuhkan dalam rangka pemberantasan korupsi Mereka yang menantang PERPU ini dengan berbagai alasan, bisa dikategorisasi dari yang "takut " korupsinya akan dibongkar, sampai pada berusaha mengkambinghitamkan pihak penguasa. Tidak ada unsur pelanggaran HAM, sebab asas "rertroactive" untuk gross violation of human rights juga melanggar doktrin hukum legalistik positivistik; Pelanggaran terhadap KUHAP juga tidak benar, sebab Undang-Undang Korupsi yang sekarang sudah mengatur hukum acaranya sendiri Pasal 28 Undang-Undang Korupsi juga membutuhkan penjabaran lebih lanjut dan itu bisa dicapai melalui PERPU. Saya masih akan berharap "common sense" , juga akan legal ethic and moral ethics, sebab jika tidak demikian halnya, maka sebagai seorang mantan pendidik, tidaklah enak jika teringat akan ucapan David Paul Brown bahwa The mere lawyer is a mere blockhead. "

Pendapat yang senada diutarakan Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad.[6] Perkembangan praktik tersebut di be­berapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian "beyond reasonable doubt", yang dianggap tidak bertentang­an dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses pembukti­an kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian ne­gatif” tidak mudah diterapkan. Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang ti­dak terbatas, sehingga muncullah alterna­tif asas pembuktian baru yang justru ber­asal dari penelitian negara maju dan di­pandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif da­lam membuka secara luas akses pembukti­an asal usul harta kekayaan yang diduga di­peroleh karena korupsi.

Alternatif pem­buktian yang diajukan dan digagas oleh pe­mikir di negara maju (Oliver, 2006) ada­lah, teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of prin­ciples), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditu­jukan terhadap pengungkapan secara tun­tas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.

Teori keseimbangan kemungkinan pembuktian terbalik dalam harta kekayaan tersebut menempatkan seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada posisi di mana sebe­lumnya yang bersangkutan belum mem­peroleh harta kekayaan sebanyak seka­rang yang didapat. Teori tersebut dengan dasar pertimbangan di atas telah diprak­tikkan oleh Pengadilan Tinggi Hongkong dalam kasus ICAC Hongkong terhadap pe­mohon 'judicial review" terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai de­ngan Hongkong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan peng­adilan rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktian­nya.

Berlainan dengan model Hongkong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Kon­vensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang mengguna­kan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggu­naan prosedur keperdataan dalam mene­rapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk meng­gugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi.

UU Nomor 31 tahun 1999 (Pasal 31) dan UU Nomor 15 tahun 2002 (Pasal 37) telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau onus of)
Ketentuan di dalam kedua undang-­undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menem­patkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi ter­sangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pem­buktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik.

Sudah tentu pembuktian terbalik da­lam hal hak-kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korup­si menimbulkan pro dan kontra. Pandang­an kontra mengatakan bahwa, pembukti­an terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan de­ngan hak asasi manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Na­mun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber ke­miskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara,maka hak asasi in­dividu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melain­kan hak relatif, dan berbeda dengan per­lindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya.

Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan me­ngenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freez­ing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 tahun 1999.

Yang terpenting dalam hukum pem­buktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberantasan korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Tempo Interaktif, KPK Minta Perpu Pembuktian Terbalik, 21 Desember 2004
[2] Andi Hamzah. Ide yang melatarbelakani Pembalikan beban pembuktian. Makalah pada Seminar Nasional Debat Publik Tentang Pembalikan Beban Pembuktian. Tanggal 11 Juli 2001 Universitas Trisaksti
[3] Martiman Prodjohamidjojo. Penerapan Pembuktian terbalik dalam delik korupsi. Cetakan I. Bandung:CV Mandar Madju, 2001. Halaman 98.
[4] Prof. DR. Indriyanto Seno Adji, SH.MH, Korupsi dan Pembalikan beban pembuktian. Jakarta 2006, halaman 87
[5] Prof JE Sahetappy, Problematik Beban Pembuktian Terbalik. Jakarta Desember 2003
[6] Romli Atmasasmita. Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi.Harian Seputar Indonesia 27 September 2006



Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak

Senin, 07 April 2008

UU ITE Ancam Kebebasan Pers

Senin, 7 April 2008 | 01:03 WIB

Leo Batubara

RUU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE yang telah disetujui DPR (25/3/2008) menjadi UU selain bertujuan memerangi pornografi, perjudian, pemerasan, dan pengancaman, juga dimaksudkan untuk membelenggu kebebasan pers. Mengherankan kenapa Menkominfo tidak pernah mengajak Dewan Pers dan organisasi pers lainnya berpartisipasi dalam pembahasan.

Dengan bangga, Menkominfo Mohammad Nuh menjelaskan, UU ITE dimaksudkan untuk memerangi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan. Menteri—sengaja atau tidak sengaja—tidak mengemukakan UU ITE dapat mengancam kebebasan pers.

UU seperti itu melengkapi paradoks Indonesia. Aktivis prodemokrasi dan pers berjuang agar Indonesia tidak lagi mengkriminalkan pers karena pekerjaan jurnalistik (criminal defamation), melainkan hanya diproses dalam perkara perdata. Perusahaan pers yang penerbitannya memuat karya jurnalistik yang mengandung pencemaran nama baik dapat diancam dengan denda proporsional. Perjuangan masyarakat pers dan penyiaran pada tahun-tahun pertama reformasi berhasil mengupayakan UU Pers (No 40/1999) yang tidak lagi menganut politik hukum kriminalisasi pers.

Paradoksnya, lewat berbagai produk hukum dan UU, pemerintah justru lebih meningkatkan politik hukum pengkriminalan pers.

Pertama, Menteri Hukum dan HAM telah mempersiapkan RUU KUHP, yang lebih kejam dari KUHP buatan pemerintahan kolonial Belanda (1917). KUHP— berisi 37 pasal yang telah mengirim orang-orang pergerakan dan orang-orang pers ke penjara Digul—selama 63 tahun ini masih digunakan memenjarakan wartawan. Kini, RUU KUHP bukannya disesuaikan dengan konsep good governance justru berisi 61 pasal yang dapat memenjarakan wartawan.

Kedua, UU Penyiaran (No 32/2002) dalam beberapa pasal mengakomodasi politik hukum yang lebih kejam. Isi siaran televisi—termasuk karya jurnalistik—bermuatan fitnah, hasutan, menyesatkan, dan bohong diancam dengan pidana penjara bukan hanya sampai dengan lima tahun, juga dapat ditambah dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Ketiga, RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang disahkan bulan ini juga adalah UU paradoksal. Judulnya keterbukaan, isinya ancaman penjara. RUU itu mengatur informasi rahasia dan informasi publik. Informasi publik mestinya terbuka untuk publik, tetapi masih dengan ancaman ”bagi yang menyalahgunakan informasi publik diancam pidana penjara paling lama dua tahun”. Pasal-pasal itu dimaksudkan menghambat efektivitas jurnalisme investigasi untuk menggunakan informasi publik dalam mengungkap kebobrokan birokrasi dan BUMN.

Mengancam pers

Perkembangan teknologi informatika berdampak—demi survival dan kemajuan industri surat kabar—surat kabar harus mengikuti konvergensi media. Produk pers selain disebarkan lewat media cetak juga go on line dan mengembangkan industri dengan memiliki stasiun radio, televisi, dan media internet. Media mainstreams seperti Kompas, Media Indonesia, Tempo kini dapat diakses dalam wujud informasi elektronik. Tampaknya Menkominfo tidak memahami kecenderungan global itu.

Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE dapat dibaca bahwa pers yang mendistribusikan karya jurnalistik memuat penghinaan dan pencemaran nama baik dalam wujud informasi elektronik dan dokumen elektronik diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda sampai satu miliar rupiah.

Persoalannya, UU Pers dan KUHP mendefinisi penghinaan dan pencemaran nama baik berbeda. Sekadar ilustrasi dikemukakan beberapa contoh pertama, berita majalah Tempo ”Ada Tomy di Tenabang” (3/3/03) menurut putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta merujuk KUHP dan UU No 1/1946 adalah karya kejahatan karena berita Tempo itu dinilai memuat kebohongan, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung (9/2/06), berita itu mengacu UU Pers dan tidak melanggar hukum.

Kedua, Majelis Hakim MA (28/8/07) memvonis Time Asia membayar ganti rugi satu triliun rupiah kepada mantan Presiden Soeharto. Laporan investigasi Time edisi 24 Mei 1999 tentang bagaimana mantan Presiden Soeharto membangun kekayaan keluarga dinilai mencemarkan nama baik Soeharto. Padahal, berdasarkan UU Pers, pemberitaan Time itu adalah karya jurnalistik. Kalaupun divonis mencemarkan nama baik, hukumannya maksimum lima ratus juta rupiah.

Ketiga, Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Kristen/AMPK (11/2/08) mengadu kepada Dewan Pers terkait sampul majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2008 dengan gambar Soeharto (alm) dan enam putra-putrinya. AMPK berpendapat gambar itu tiruan gambar perjamuan kudus dan menilainya sebagai menghina agama Kristen. Karena itu, lewat Koran Tempo (6/2/08) dan Majalah Tempo edisi 11-17 Februari, Pemimpin Redaksi Tempo Toriq Hadad telah memberikan klarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf kepada umat Kristiani. Dewan Pers berpendapat persoalan telah selesai.

Apa yang dapat disimpulkan dari uraian tersebut di atas? Pertama, politik hukum yang dianut UU ITE ternyata bertentangan dengan UU Pers, tetapi justru ”saling melengkapi” KUHP dalam melumpuhkan fungsi kontrol pers.

Kedua, ketiga penggugat dalam perkara pers di atas, Tomy Winata, pewaris mantan Presiden Soeharto, dan AMPK kini mendapat senjata baru bernama UU ITE untuk melanjutkan gugatan mereka ke pengadilan. Mengacu Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE, ketiga media dapat dipidana penjara sampai enam tahun. Bagaimana bisa? Karena muatan ketiga media itu juga didistribusikan dan ditransmisikan lewat transaksi elektronik, yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan media elektronik lainnya.

Ketiga, ke mana sebenarnya arah kebebasan pers Presiden SBY? Salahkah penulis melakukan penilaian bahwa Presiden SBY sedang dalam dilema, di satu sisi ia menyatakan melindungi kebebasan pers, tetapi di sisi lain justru sadar atau tidak sadar membelenggunya.

Leo Batubara Wakil Ketua Dewan Pers

Jumat, 04 April 2008

Era Keterbukaan


RUU Keterbukaan Informasi Publik Disetujui oleh DPR

KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images
Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga (kiri) menyerahkan berkas laporan UU Keterbu- kaan Informasi Publik kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/4).
Jumat, 4 April 2008 | 00:11 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah delapan tahun diusulkan, Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik atau RUU KIP akhirnya disetujui secara aklamasi oleh DPR dan pemerintah, Kamis (3/4). Kini pemerintah perlu segera membuat gerakan radikal untuk mengubah sikap birokrasi yang semula tertutup menjadi terbuka.

Demikian pandangan Mas Achmad Santosa, Penasihat Senior United Nation Development Programme (UNDP) untuk Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Hukum di Indonesia, mengenai disahkannya RUU KIP tersebut.

Achmad Santosa bersama Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law Wiwik Awiati yang pertama kali mengusulkan perlunya RUU ini ke DPR pada Agustus 2000.

Dengan adanya gerakan radikal, Achmad Santosa berharap UU ini nantinya bisa segera diberlakukan, tidak harus menunggu dua tahun hingga 2010, seperti tertuang di aturan peralihan. ”Pemerintah tak boleh santai, harus kerja keras, karena UU ini menuntut adanya perubahan cara berpikir dan sikap,” ungkapnya.

Rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar serta dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh.

RUU KIP mengharuskan semua badan publik untuk mengumumkan informasi publik secara berkala, paling sedikit enam bulan sekali; mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum; juga setiap saat menyediakan informasi publik, antara lain rencana kerja proyek, termasuk perkiraan pengeluaran tahunan, juga prosedur kerja pegawainya yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat.

Paling lambat 10 hari kerja sejak diterimanya permintaan, badan publik bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis apakah informasi yang diminta itu berada di bawah penguasaannya atau tidak. Apabila informasi yang diminta itu tak berada di bawah penguasaannya, badan publik wajib memberitahukan badan publik mana yang menguasai informasi itu.

RUU ini juga mewajibkan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara untuk menyediakan informasi publik.

Informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik, dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara, instalasi militer, dan sistem persandian termasuk dalam informasi yang dikecualikan untuk dibuka. (sut)

Selasa, 01 April 2008

Tegakkan Hukum Sambil Melawan Hukum

Oleh :Hendra Apriansyah

Jaksa dan Kasubsi Penuntutan Kejaksaan Negeri Madiun

Mengharap tradisi suap lenyap di kejaksaan sama sulitnya ketika seorang jaksa bertahan eksis tanpa suap. Inilah gambaran sebuah dilema seorang jaksa kala ia masuk dalam sistem di kejaksaan. Upaya untuk tampil ‘bersih’ akan terbentur dengan kendala uang harus turut bekerja, untuk biaya operasional dan penyelesaian perkara, mengurus kenaikan pangkat, promosi jabatan dan tempat tugas, relasi atasan bawahan, jabatan struktural-fungsional, jaksa dengan tata usaha, dan lainnya. Semuanya tidak dapat berjalan begitu saja secara gratis.

Maka, sejak awal seseorang meniti kariernya di kejaksaan, ia harus mulai berpikir bagaimana caranya produktif menghasilkan uang lewat suap. Jalan menjadi lempeng apabila orang yang memang dari niatan pertamanya masuk kejaksaan berharap untuk menarik keuntungan dari kinerja suap, tentu akan sinergis.

Penerimaan suap dari pihak tersangka, terdakwa, maupun korban akhirnya menjadi komoditas. Lalu, menjelma menjadi lingkaran setan, menyebar secara merata, dan dinikmati dalam setiap strata pada kinerja kejaksaan. Sudah saatnya kejaksaan secara jujur mengakui dan menerangkan realita suap yang memang menjadi bagian dari sebuah kinerja. Ini agar tidak berlarut lebih lama dan lebih jauh lagi dalam kemelut kerja yang kontraproduktif, menegakkan hukum sambil melawan hukum.

Bila dimulai dari iktikad baik untuk perbaikan dengan menyatakan ini yang sesungguhnya terjadi kepada publik. Maka publik akan mengetahui bahwa masalah kejaksaan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama yang harus dipikirkan, sekaligus dicarikan jalan keluarnya. Institusi kejaksaan adalah ‘wakil rakyat/negara’ dalam melakukan penuntutan suatu tindak pidana dalam rangka melindungi segenap warga negara dari segala bentuk kejahatan.

Sebagaimana ayat reformasi mengatakan, innallaha laa yughoyyiru maa bi qaumin hatta yughoyyiru maa bi anfusihim. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu mengubah keadaan mereka sendiri. Jadi, Jaksa Agung tidak perlu lagi mengungkapkan blunder di kejaksaan dengan menitikkan air mata. Transparansi masalah adalah langkah permulaan untuk mencapai kebaikan bersama dan tidaklah sama artinya dengan membuka aib sendiri. Dengan demikian, berbagai masukan perbaikan dari berbagai komponen bangsa bisa diakomodasi.

Apa artinya bila kebijakan keluar tampak tampil mengesankan, tapi di dalamnya centang-perenang? Menjaga wibawa sebuah lembaga hukum, espirit de corps bukan dengan cara menggunakan standar ganda. Lewat menutup-nutupi seolah jaksa yang muncul di media massa terkena kasus suap hanyalah oknum, bukan korban sistem yang berlaku, hemat penulis ini sudah bukan zamannya lagi.

Semua niat dan perbuatan tidak baik lebih gampang terdeteksi saat ini. Jika ada sebatang jarum akan jatuh dari tempatnya di Amerika, niscaya semua orang di Indonesia bisa tahu pada era informasi global kini. Kasus-kasus besar yang melibatkan kejaksaan dalam perkara suap, sebenarnya representasi dari sebuah kinerja sistem di kejaksaan selama ini. Mereka yang ketahuan terlibat perkara pidana suap harus diproses hukum dan dijatuhi sanksi pidana. Namun, tak cukup sampai di situ.

Jika tidak ada sebuah pembaruan yang mendasar, maka suap di sini akan menjadi suatu voortgezette handeling (perbuatan berlanjut). Ini karena suap masih bekerja efektif tanpa terusik selain dari skandal yang mengemuka di media massa.

Moralitas para jaksa
Moralitas seseorang amat bergantung pada komitmen terhadap agamanya dan nilai kebaikan universal. Paling tidak ada tiga bentuk moral personel kejaksaan dalam menyikapi suap. Pertama, mereka yang sama sekali tidak ingin menerima suap. Biasanya dari awal sudah mengambil langkah preventif paling aman. Caranya dengan berada di pusdiklat atau di litbang kejaksaan sehingga tidak bersentuhan sama sekali dengan perkara.

Bagi mereka yang berada di luarnya, ikut serta menangani perkara, akan menjadi orang ‘asing’ di tengah kinerja suap. Mereka kelompok idealis yang menyadari serta mengaplikasikan pesan Muhammad SAW seorang nabi dan rasul, ‘arraasyi wal murtasyi fin naar’.

Artinya, orang yang disuap dan menyuap masuk neraka. Nabi dalam hadis ini berkata dengan tegas tanpa tedeng aling-aling. Kelompok ini golongan minoritas, sering dijuluki ‘sok suci’, dan ‘munafik, sering tersingkir. Beginilah kualitas bangsa kita kalau ada orang baik dianggap aneh. Kedua, penerima suap untuk memenuhi kewajaran hidup, sekadar bisa beli rumah sederhana, menyekolahkan anak, dan seterusnya. Ada filsafat Jawa yang sangat masuk di sini, ‘ngono yo ngono, ning ojo ngono’. Dalam aktivitas kerjanya menerima suap untuk dapat hidup selayaknya.

Ketiga, penerima suap untuk memperkaya diri dan mengejar ambisi pribadi (the survival of the fittest). Poin kedua dan ketiga ini celakanya merasa aman dengan kondisi yang ada. Mereka sebenarnya willens en wetens (mengetahui dan menghendaki) atau dengan sengaja (‘de (bewuste) richting van del wil opeen bepaald misdrijf’).

Bahkan, sudah pada level yang paling parah, yakni menikmati kondisi tersebut. Naudzubillahi min dzalik, sehingga yang menjadi pembicaraan adalah mana perkara yang berisi pundi-pundi uang, jabatan strategis, dan tempat tugas yang ‘basah’ untuk diperebutkan. Pada tataran ini, perbuatan tercela dipandang menjadi perbuatan baik. Rasa keadilan membias ke mana-mana mengikuti kekuatan bargaining pihak berperkara. Uang suap menjadi semangat untuk hidup dan bekerja.

Birokrasi yang menopang suap
Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan tergolong masih sangat tertinggal dengan organisasi modern yang meletakkan nilai demokratis sebagai sistem nilai tertinggi. Terpola dari lembaga rencana tuntutan, memosisikan seorang pimpinan sebagai pengambil putusan tanpa harus melibatkan atau meminta masukan dari yang lain.

Pola demikian hanya menciptakan loyalitas dalam arti sempit. Loyal pada kejaksaan semata, tetapi lupa untuk lebih loyal kepada Allah Pemilik Keadilan (al-hakim) dan kepentingan bangsa dan negara. Lebih tragis lagi lembaga cenderung menjadi ‘mesin pencari’ uang. Efeknya uang hasil suap tersalurkan lebih panjang alurnya, ke atas, ke bawah, maupun secara horizontal. Selain itu, jabatan struktural telah menciptakan kasta. Seorang dengan jabatan kajari sudah mulai pensiun untuk mengikuti sidang di pengadilan.

Ia sudah merasa punya kelas tersendiri, jadi tidak perlu lagi menangani perkara di persidangan, cukup duduk di ruangan sambil menandatangani berbagai keperluan administrasi. Bandingkan dengan hakim ketua pengadilan yang masih menjalani sidang walaupun sekadar perkara pencurian ayam sebab mereka menyadari menangani perkara adalah tugas pokoknya, jauh lebih penting dari sekadar urusan administrasi.

Reformasi di tubuh kejaksaan mendesak dilakukan agar tidak berjatuhan lagi para jaksa yang menjadi korban sistem yang dipenuhi dengan kinerja suap. Juga tidak terjadi lagi para jaksa yang memasang iktikad dan sengaja menikmati uang suap lewat sistem kejaksaan yang memang mendukung untuk itu.

Ikhtisar:

- Praktik suap-menyuap banyak terjadi saat ada perkara.
- Perlu ada perubahan sistem di lembaga kejaksaan.

Senin, 31 Maret 2008

Dubes RI di Nigeria Akui Terima Uang Proyek

Rabu, 26 Maret 2008 | 00:16 WIB

Jakarta, Kompas - Duta Besar RI untuk Nigeria Noorhadi mengakui, saat dirinya menjabat sebagai Pejabat Badan Intelijen Negara atau BIN, ia pernah menerima uang dari proyek audit investigatif Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Uang yang ia terima itu sebanyak Rp 180 juta dan Rp 25 juta.

Hal itu disampaikan Noorhadi saat menjadi saksi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (25/3). Noorhadi menjadi saksi karena selaku pejabat BIN, yaitu Deputi VI Kerja Sama Antarlembaga, ia menjadi anggota tim audit investigatif.

Saat ditanya Ketua Majelis Hakim Martini Mardjan, Noorhadi mengaku bertindak atas nama pribadi bukan atas nama BIN.

Ia mengatakan, pertama kali kenal dengan Johan Barus, pemilik Kantor Akuntan Publik Johan Barus yang ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris dan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan MS Manihuruk, sekitar tahun 2003. ”Saya diperkenalkan dengan Pak Johan Barus oleh Pak Alwin. Pak Alwin itu orang yang membantu Kepala BIN Arie Kumaat,” kata Noorhadi.

Majelis hakim bertanya apakah ia tahu kalau Alwin juga bekerja di Kantor Akuntan Publik Johan Barus, Noorhadi menjawab, ”Setahu saya dia staf khusus Kepala BIN.”

Saat dicecar oleh pengacara terdakwa II, Rufinus Hotmaulana, soal pemberian uang Rp 180 juta dan Rp 25 juta memiliki kaitan dengan proyek audit investigatif tenaga kerja asing, Noorhadi menjawab, ”Ada kaitannya.” Noorhadi mengakui kalau penerimaan uang itu salah.

Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris mengatakan, ia menggunakan Kantor Akuntan Publik Johan Barus karena ia hanya meneruskan kebijakan Menteri Jacob Nuwawea. ”Waktu itu ada surat dari BPK pada 18 Oktober 2004 soal adanya penyimpangan dalam penerimaan dana tenaga kerja asing. Surat BPK memberi waktu 60 hari,” kata Fahmi.

Ia langsung memanggil eselon I dan menanyakan apakah diperbolehkan melakukan penunjukan langsung, mengingat waktu yang mepet.

Karena disebutkan oleh bawahannya bahwa penunjukan langsung itu diperbolehkan dalam Keppres 80 Tahun 2003, ia akhirnya memberikan izin kepada MS Manihuruk untuk menunjuk langsung Kantor Akuntan Publik Johan Barus. (VIN)


 

Korupsi dan Fenomena Transferensi

Jumat, 28 Maret 2008 | 00:36 WIB

Limas Sutanto

Hari-hari ini agaknya menjadi saat yang gelap penuh ketakutan bagi para tersangka koruptor Indonesia.

Sebaliknya, hari-hari ini menjadi saat yang cerah penuh sukses bagi para petugas pemberantas korupsi.

Banyak pejabat membanggakan keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeret beberapa tersangka koruptor ”besar” ke pengadilan. Mereka menyatakan, hal ini belum pernah terjadi pada masa pemerintahan sebelum SBY-JK. Inilah pergelaran paradigma penindakan represif yang mendominasi pemberantasan korupsi negeri ini. Agaknya pemerintah dan rakyat asyik dengan aneka penindakan represif itu. Maka, relevan dipertanyakan, dapatkah penindakan represif menghentikan korupsi secara bermakna?

Warga negeri ini sadar, korupsi pada bangsa ini begitu ”meresap mendalam” (pervasive). Hampir semua warga, termasuk sejumlah pejabat pemberantas korupsi, terkena korupsi. Pada perspektif ini, sekadar paradigma penindakan represif tidak akan mencukupi, sekaligus kurang rasional.

Jika semua warga tidak bebas korupsi, lalu siapa yang berhak dan memiliki kredibilitas untuk menjadi pejabat pemberantas korupsi? Siapa yang berhak dan memiliki kredibilitas menindak tersangka koruptor? Terkuaknya beberapa indikasi keterlibatan jaksa, polisi, hakim, dan pejabat KPK dalam suap dan pemerasan terkait penindakan tersangka koruptor menjadikan aneka pertanyaan itu patut direnungkan.

Persoalan psikososial

Korupsi pada bangsa ini perlu dipahami sebagai persoalan psikososial sistemik yang terjadi karena fenomena psikodinamik nirsadar. Oleh Freud, hal ini disebut “transferensi”. Makna kontekstual transferensi adalah pemindahan nirsadar pola-pola relasi masa lampau bangsa dengan penjajah ke realitas relasi antara penguasa dan rakyat di Indonesia masa kini.

Pola-pola relasi yang ”dipindahkan” secara nirsadar (ditransferensikan) itu berupa: pertama, kebiasaan bangsa penjajah (penguasa) memeras dan memalak bangsa terjajah (rakyat).

Kedua, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) menyelamatkan diri dari tekanan dan ancaman bangsa penjajah (penguasa) dengan cara apa pun, jika perlu dengan mengorbankan sesama warga terjajah (rakyat).

Ketiga, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) bertindak menjilat penjajah (penguasa) demi keselamatan diri.

Keempat, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) memberi upeti kepada penjajah (penguasa).

Kelima, kebiasaan suatu lapisan bangsa terjajah (rakyat) untuk menekan dan memeras sesama warga terjajah (rakyat) yang ada pada lapisan yang lebih rendah.

Perwujudan kelima pola relasi itu secara menyejarah membuahkan pemiskinan bangsa terjajah (rakyat). Pemiskinan itu merupakan pengalaman deprivasi (pengalaman kekurangan mendasar), yang tidak bisa tidak menimbulkan aneka tagihan di tengah perjalanan kehidupan bangsa terjajah, termasuk saat bangsa terjajah (rakyat) telah meraih kemerdekaan formal.

Tanpa sadar, transferensi itu ”dikirimkan” dua kelompok tenaga utama yang menggerakkan korupsi sistemik ke seluruh lapisan kehidupan bangsa Indonesia masa kini dan ke depan.

Pertama, kelompok tenaga yang berakar dalam pengalaman deprivasi, yang selalu memunculkan aneka letupan tagihan untuk merasakan kepemilikan dan keberlimpahan material dalam kehidupan seluruh warga hari ini dan ke depan. Kedua, kelompok tenaga yang berakar dalam kelima kebiasaan berelasi antara bangsa terjajah (rakyat) dan penjajah (penguasa).

Pendidikan bermutu

Pemahaman tentang korupsi sebagai masalah psikososial sistemik berlatar belakang fenomena transferensi, mengantar kita ke kesadaran bahwa bangsa ini tidak akan kunjung berhasil menghentikan korupsi secara bermakna hanya dengan upaya pemberantasan korupsi yang bertitikberatkan tindakan represif. Korupsi niscaya dihentikan dengan ”mengatasi transferensi” (working through the transference), yang dapat dijabarkan dalam tiga tindakan.

Pertama, tindakan bersinambung menyelesaikan pengalaman deprivasi bangsa Indonesia, dengan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan seluruh warga. Hal ini meniscayakan pemerintah benar-benar mengejawantahkan aneka program ekonomi prokesejahteraan rakyat banyak. Gegap gempita tindakan represif tanpa pengejawantahan program ekonomi pro-rakyat hanya cermin ketakrasionalan.

Kedua, pendidikan bermutu dan bersinambung bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan bermutu akan membuka dan memperluas wawasan kehidupan sehingga bangsa ini tidak terbelit otomatisme nirsadar pola-pola relasi koruptif yang berakar dalam sejarahnya. Pendidikan bermutu harus dijadikan program berprioritas tinggi.

Ketiga, kampanye sistemik bersinambung guna menumbuhkembangkan kesadaran bahwa korupsi itu keliru, merugikan, dan jahat. Kampanye ini amat diperlukan guna mematahkan pola-pola pikir otomatis nirsadar (automatic thoughts) yang membolehkan korupsi dan memandang korupsi sebagai hal biasa.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi, Pengajar Psikoterapi dan Konseling di Universitas Negeri Malang

 

Rabu, 26 Maret 2008

Dubes RI di Nigeria Akui Terima Uang Proyek

Rabu, 26 Maret 2008 | 00:16 WIB

Jakarta, Kompas - Duta Besar RI untuk Nigeria Noorhadi mengakui, saat dirinya menjabat sebagai Pejabat Badan Intelijen Negara atau BIN, ia pernah menerima uang dari proyek audit investigatif Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Uang yang ia terima itu sebanyak Rp 180 juta dan Rp 25 juta.

Hal itu disampaikan Noorhadi saat menjadi saksi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (25/3). Noorhadi menjadi saksi karena selaku pejabat BIN, yaitu Deputi VI Kerja Sama Antarlembaga, ia menjadi anggota tim audit investigatif.

Saat ditanya Ketua Majelis Hakim Martini Mardjan, Noorhadi mengaku bertindak atas nama pribadi bukan atas nama BIN.

Ia mengatakan, pertama kali kenal dengan Johan Barus, pemilik Kantor Akuntan Publik Johan Barus yang ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris dan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan MS Manihuruk, sekitar tahun 2003. ”Saya diperkenalkan dengan Pak Johan Barus oleh Pak Alwin. Pak Alwin itu orang yang membantu Kepala BIN Arie Kumaat,” kata Noorhadi.

Majelis hakim bertanya apakah ia tahu kalau Alwin juga bekerja di Kantor Akuntan Publik Johan Barus, Noorhadi menjawab, ”Setahu saya dia staf khusus Kepala BIN.”

Saat dicecar oleh pengacara terdakwa II, Rufinus Hotmaulana, soal pemberian uang Rp 180 juta dan Rp 25 juta memiliki kaitan dengan proyek audit investigatif tenaga kerja asing, Noorhadi menjawab, ”Ada kaitannya.” Noorhadi mengakui kalau penerimaan uang itu salah.

Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris mengatakan, ia menggunakan Kantor Akuntan Publik Johan Barus karena ia hanya meneruskan kebijakan Menteri Jacob Nuwawea. ”Waktu itu ada surat dari BPK pada 18 Oktober 2004 soal adanya penyimpangan dalam penerimaan dana tenaga kerja asing. Surat BPK memberi waktu 60 hari,” kata Fahmi.

Ia langsung memanggil eselon I dan menanyakan apakah diperbolehkan melakukan penunjukan langsung, mengingat waktu yang mepet.

Karena disebutkan oleh bawahannya bahwa penunjukan langsung itu diperbolehkan dalam Keppres 80 Tahun 2003, ia akhirnya memberikan izin kepada MS Manihuruk untuk menunjuk langsung Kantor Akuntan Publik Johan Barus. (VIN)

Selasa, 18 Maret 2008

Aklibat Hukuim Kebijakan PLN

PLN Penanggungjawab Tarif Disinsentif
Selasa, 18 Maret 2008 | 01:17 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah menyatakan, penerapan tarif insentif dan disinsentif merupakan aksi korporat dan tidak memerlukan keputusan presiden. Hal tersebut dikatakan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfataan Energi Jack Purwono di Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (17/3).

"Itu aksi korporat karena tidak menaikkan tarif dasar listrik. Karena akis korporasi cukup dengan surat keputusan direksi PT PLN (Persero)," ujar Purwono. Menurut dia, kebijakan itu diterapkan untuk menghemat subsidi sebesar Rp 10 triliun. Saat ini subsidi listrik naik menjadi Rp 64,9 triliun dari yang dialokasikan Rp 54,9 triliun.

Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar menyatakan, surat keputusan direksi sudah diteken sejak Jumat (14/3). "PLN hanya pelaksana. Dasar hukum ditentukan pemerintah," katanya.

Fahmi menjelaskan, tarif insentif dan disinsentif tetap diberlakukan mulai bulan depan dengan penagihan pada Mei. "Kami akan sosialisasi dulu ke masyarakat," tuturnya.

Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Alvin Lie mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tariff disinsentif tersebut. "Ini kebijakan pemerintah atau korporat," katanya.

Menurut Alvin Lie, keputusan tarif listrik seharusnya dalam bentuk peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Dia juga mempertanyakan dampak hukum dari kebijakan disinsentif yang diterapkan PLN. "Karena keputusan presiden menyatakan tidak akan ada kenaikan tarif listrik," ujarnya.

Ketua Advokasi Konsumen Listrik Indonesia Soetjipto Soewono menyatakan, rencana PLN menerapkan tarif insentif dan disinsentif melanggar Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. "Tarif listrik merupakan kewenangan pemerintah dan ditetapkan melalui keputusan presiden setelah mendapat persetujuan DPR," ujar mantan Ahli Utama PLN.

Menurut Soetjipto, penerapan disinsentif merupakan kenaikan tariff dasar listrik terselubung. Pelanggan rumah tangga golongan R1 (450-2.200 VA) dan Bisnis golongan B1 yang paling menderita akibat kebijakan itu. "Pelanggan R1 dan B1 jumlahnya sekitar 30 juta pelanggan," ujarnya.

Sedangkan Sekretaris Advokasi Konsumen Listrik Indonesia Yunan Lubis mengatakan, jika disinsentif tetap diberlakukan, hal itu menunjukan arogansi pemerintah dan PLN. "Pemerintah dan PLN telah menginjak-injak undang-undang," kata ahli hukum kelistrikan ini. Pelanggaran undang-undang, kata dia, sanksinya adalah pidana. "Rakyat bisa memperkarakannya."

Yunan yang pernah menggugat untuk membatalkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi menjelaskan, pihaknya akan menampung keluhan rakyat dan bersedia menggugat PLN dan pemerintah. "Kami bersedia melakukan class action ke pengadilan untuk membatalkan disinsentif," ujarnya. Dia menambahkan, tarif disinsentif merupakan bentuk kesewenang-wenangan kebijakan pemerintah dan PLN kepada rakyat.

ALI NUR YASIN | RR ARIYANI | YULIAWATI

Senin, 17 Maret 2008

UU Harus Ada Parameter

Misi dan Visi Calon Presiden Harus Dapat Diukur
Senin, 17 Maret 2008 | 00:13 WIB

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden perlu mencantumkan ketentuan, misi dan visi yang diusung tiap-tiap pasangan calon harus dapat diukur. Dengan demikian, masyarakat memiliki parameter yang jelas ketika menilai pasangan calon, berikut kinerja mereka.

Demikian dikatakan guru besar ilmu politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Maridjan, Minggu (16/3), saat dihubungi dari Jakarta. Dalam RUU Pilpres yang kini dibahas DPR dan pemerintah, perlu dicantumkan, misi dan visi pasangan calon presiden dan wapres harus dapat diukur.

Ketentuan itu dibutuhkan karena sebagian besar misi dan visi peserta Pilpres 2004 dan pemilihan kepala daerah belakangan ini mengambang dan sulit diukur. ”Yang disampaikan umumnya hanya janji, seperti jika menang akan berusaha mengurangi kemiskinan. Namun, hampir tak pernah dijelaskan bagaimana cara mencapainya, berapa anggaran yang dibutuhkan, dan apa ukuran keberhasilannya. Akibatnya, saat orang itu berkuasa, janji itu sulit ditagih karena ukurannya tak jelas dan banyak alasan yang dapat disampaikan untuk menghindar,” papar Kacung.

Ketentuan bahwa misi dan visi yang disampaikan harus terukur, lanjut Kacung, juga akan memancing calon membuat janji dengan lebih terarah dan hati-hati. Sebab, meski mungkin tidak akan disampaikan dalam kampanye umum, janji yang terukur akan terlihat dalam kampanye terbatas atau dialog di media massa.

”Dari media massa atau kampanye terbatas ini, rakyat akan mengetahui dan mempelajari janji itu dan akhirnya menilai calon,” lanjutnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, keberadaan janji yang terukur juga dibutuhkan untuk membangun citra seorang calon, terutama terkait dengan kompetensinya.

”Ada tiga dasar seseorang menjatuhkan pilihan, yaitu kesamaan latar belakang, kepribadian, dan citra tentang kompetensi calon. Dari sejumlah survei dan penelitian, pilihan rakyat selama ini terutama cenderung berdasarkan citra kepribadian dan kompetensi. Latar belakang calon, seperti suku dan agama, ternyata kurang berpengaruh,” ujar Qodari.

Citra kepribadian ini misalnya meliputi kecerdasan, kewibawaan, dan kejujuran. Adapun citra tentang kompetensi dibangun dari hal-hal seperti memiliki program yang baik dan mampu menangani masalah bangsa.

Kemenangan Yudhoyono pada Pemilu 2004 atau Fauzi Bowo pada Pilkada DKI Jakarta 2007, menurut Qodari, ditentukan dari keunggulan dalam citra kepribadian dan kompetensi.

Koalisi permanen parpol

Dari Bandung, Jawa Barat, di sela-sela Pelantikan Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Universitas Padjadjaran, Sabtu, anggota DPR Ferry Mursyidan Baldan menilai, menjelang Pemilu 2009, fokus politik sebaiknya diarahkan pada upaya membangun koalisi permanen partai politik sejak dini. Kondisi ini akan lebih menyehatkan bagi pemerintahan ke depan. Tanpa dukungan parlemen yang solid, tantangan pemerintahan bakal kian sulit.

”Kita jangan lagi hanya membangun koalisi yang bisa putus di tengah jalan. Ini tidak sehat bagi pemerintahan. Lebih baik jika kita memikirkan bersama kepentingan lima tahun ke depan. Koalisi yang bersifat lebih permanen akan tumbuh,” ujarnya.

Dalam konteks ini, pilpres belum bisa dibarengkan dengan pemilihan legislatif. (nwo/jon)

Skandal BLBI (1)

Mungkinkah Membuka Kembali Kasus BLBI?
Senin, 17 Maret 2008 | 00:16 WIB

Suhartono

Pascatertangkap tangannya jaksa Urip Tri Gunawan memunculkan desakan agar penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dibuka lagi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Urip adalah kepala tim jaksa pemeriksa yang khusus menangani BLBI yang diterima Bank Dagang Nasional Indonesia (Sjamsul Nursalim) dan Bank Central Asia (Anthony Salim).

Banyak yang menyatakan, dengan itikad baik pemerintah, dengan mengabaikan kepentingan politik dan lainnya, kasus tersebut bisa dibuka lagi.

Alasan paling sederhana adalah rasa keadilan. Rasa keadilan itu di antaranya terkait dengan jumlah pengembalian utang BLBI yang tak sebanding dengan kewajiban utangnya. Kalaupun telah dibayar lunas dengan aset, nilainya saat dijual kembali tak mencapai nilai 100 persen. Tingkat pengembalian utang (recovery rate) rata-rata hanya 20-30 persen.

Negara, hingga kini, justru harus menanggung akibatnya untuk menutup kerugian. Sebut saja dengan pembayaran pokok dan bunga utang untuk obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk mendanai bank-bank tersebut.

Setiap tahunnya hampir 25 persen dari total volume APBN harus dibayarkan. Ironisnya, mereka yang harusnya bertanggung jawab dengan BLBI sekarang ini justru ongkang-ongkang kaki, menikmati keuntungan dari BLBI yang pernah diterimanya, dengan usaha yang baru.

Sikap Kejagung

Dalam keterangannya di Kejaksaan Agung, 29 Februari 2008, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengumumkan, penyidikan BLBI dihentikan karena kasus itu tak memiliki bukti hukum.

Dua hari kemudian Kemas kembali menegaskan hal serupa beberapa saat setelah Urip tertangkap tangan petugas KPK di sekitar rumah Sjamsul Nursalim dengan segepok uang senilai Rp 6,1 miliar. Ia menyatakan, Kejagung tetap tidak akan memeriksa kembali kedua kasus penerima BLBI senilai Rp 52 triliun (BCA) dan Rp 29 triliun (BDNI) itu.

Juga dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR pada 5 Maret lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan tak akan membuka kembali kasus BLBI. Namun, karena ”ditekan” anggota Komisi II DPR, Hendarman akhirnya melunak. Menurut dia, jika memang ada keterkaitan antara Urip dan penghentian kasus BLBI, ia mempersilakan dibukanya lagi kasus itu.

Jelas suap

Menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, dengan tertangkapnya Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani, patut diduga adanya bukti awal untuk membuka kembali penyelidikan kasus BLBI. ”Adanya Urip dan Artalyta Suryani yang tertangkap tangan di sekitar rumah Sjamsul Nursalim itu jelas sebuah dugaan suap. Itu berarti ada sesuatu yang akan diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu. Apalagi sudah ada yang menerima,” kata Romli.

Secara hukum, sudah ada bukti-bukti awal tentang fakta bahwa yang satu Kepala Tim Jaksa Penyelidik BLBI dan satu lagi orang yang terkait dengan pemeriksaan Kejagung. Inilah yang disebut prima facie evidence. ”Tak perlu ada pengakuan. KPK tepat jika dua-duanya dijadikan tersangka. Dengan dugaan kasus suap, KPK harus bisa menjelaskan keterkaitan dengan kasus BLBI,” katanya.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu jika salah seorang yang tengah diperiksa terbukti melakukan korupsi, lanjut Romli, KPK bisa mengambil alih penyelidikannya.

Dalam perjalanannya untuk penyelesaian kasus BLBI, Romli juga menilai selama ini pemerintah hanya terfokus pada sisi penyelesaian perdata tanpa dikawal dengan penyelesaian pidananya, yang dimulai ketika para debitor BLBI dinyatakan gagal (default) membayar kewajibannya secara perdata dengan sejumlah aset.

”Penyelesaian secara komersial perdata seyogianya paralel dengan penyelesaian pidana. Waktu itu, Kejagung sebenarnya bisa melakukan penyelidikan setiap transaksi penyelesaian perdata dengan memulai mencari tahu dan menelusuri kewajiban pengembalian utang melalui penyerahan aset-aset debitor. Saat debitor gagal bayar, Kejagung harusnya sudah berperan, seperti menangkap dan memeriksanya,” ujar Romli.

Jika sekarang ini aparat penegak hukum akan menelusuri pengembalian utang dengan aset-aset tersebut, Romli memang menilai agak terlambat. ”Penyelesaian perdata yang selama ini ditempuh pemerintah terbukti tidak memiliki daya guna dan hasil yang optimal untuk mengembalikan recovery rate atau tingkat pengembalian utang BLBI,” kata Romli.

Oleh sebab itu, tak mengherankan bila masyarakat kini mencoba menaruh harapan kepada KPK untuk menuntaskan kasus ini.

Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, dasar KPK melakukan pemberantasan korupsi adalah UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, kebijakan BLBI dikeluarkan tahun-tahun sebelumnya, sementara kewenangan KPK tak berlaku surut.

Sejak KPK masih dipimpin Taufiequrachman Ruki, KPK terkesan ”menghindar” untuk memeriksa kasus BLBI.

Namun, sejak kasus Urip mencuat, Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto mengatakan, KPK siap mengambil alih kasus BLBI yang selama ini ditangani Kejagung asalkan ada aturan yang memerintahkan pengambilalihan itu (Kompas, 13/3).

BLBI sudah selesai?

Bagi Adnan Buyung Nasution, kasus BLBI tak mungkin dibuka kembali. Apalagi, kasus mantan kliennya itu dianggap sudah selesai dengan adanya surat keterangan lunas (SKL) dan penghentian perkara oleh Kejagung.

Pengacara non-aktif, yang pernah mendampingi Sjamsul Nursalim saat di Kejagung dan melakukan negosiasi dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), itu mengingatkan agar kasus Urip yang sekarang tengah diperiksa KPK harus dibedakan dengan kasus BLBI secara menyeluruh.

Menurut Adnan, BDNI sudah menyelesaikan pemenuhan kewajibannya kepada pemerintah dengan membayar lunas Rp 1 triliun dan sejumlah aset senilai Rp 28 triliun. Penyelesaian itu dibuktikan dengan adanya SKL yang dikeluarkan BPPN. Selanjutnya, dengan SKL tersebut, Kejagung menghentikan kasusnya dengan surat penghentian penyidikan perkara (SP3).

Tentang kaitan Urip dengan Artalyta, Adnan mengaku dirinya sama sekali tidak mengetahuinya. Ia, kini, tidak lagi menjadi penasihat hukum Sjamsul. Bahkan, untuk mengetahui kasus tersebut dan peranan Artalyta, Buyung mengaku sudah menugaskan anak buahnya untuk menemui Sjamsul Nursalim, tetapi belum juga berhasil.

”Jadi, saya belum tahu apakah eks klien saya melakukan hal yang tidak patut seperti itu. Saya juga belum tahu peranan apa dan siapa yang menyuruh Artalyta membayar kepada Urip,” katanya.

Namun, Adnan mengakui kasus BLBI memang sangat sulit untuk dibuka lagi dan dilematis. Oleh sebab itu, katanya, dalam kasus BLBI ini pemerintah harus menjelaskan secara rinci, termasuk pilihan pemerintah menyelesaikan perkara itu secara perdata dan di luar pengadilan (out of court settlement). Penyelesaian itu didasari dengan perjanjian master of settlement and acquisition agreement/ MSAA (perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan jaminan aset), juga master of refinancing and note issuance agreement/ MRNIA (perjanjian penyelesaian BLBI dengan tambahan jaminan pribadi), serta perjanjian akta pengakuan utang (APU).

Dalam klausul MSAA dan MRNIA terdapat pemberian pelepasan hukum (release and discharge/R&D) untuk pelanggaran batas maksimum pemberian modal (BMPK) bagi debitor yang sudah memenuhi kewajiban utang BLBI-nya.

Pemerintah, kata Buyung, harus menjelaskan kepada masyarakat bahwa masalahnya sudah diselesaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Mulai dari pelaksanaan Ketetapan MPR hingga Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian R&D bagi Debitor dan Obligor BPPN yang Selesai Memenuhi Kewajiban Utangnya.

”Hanky panky” BLBI

Luhut MP Pangaribuan, pengacara yang pernah bergabung dalam Tim Pengarah Bantuan Hukum yang dibentuk pemerintah, menyatakan, kasus BLBI sudah diselesaikan dengan proses negosiasi secara per- data dan proses hukum yang panjang.

Namun, ia sependapat jika memang terdapat hanky panky (tipu muslihat) dalam penyelesaian kewajiban BLBI, khususnya pembayaran utang. Aparat penegak hukum dapat diminta untuk melakukan pemeriksaan kembali kasus-kasus BLBI.

Adapun mantan kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Lukman Bachmid, yang pernah menangani perkara BLBI Bank Asia Pacific (Aspac) dan Bank Harapan sentosa (BHS) hingga putusan di Mahkamah Agung, menyatakan perjanjian MSAA dan MRNIA yang menjadi ”payung” dalam penyelesaian perdata sudah dilanggar oleh para debitor BLBI.

Selain waktu 3,5 tahun untuk memenuhi kewajiban yang sudah terlewati, juga aset-aset yang diserahkan kepada BPPN nilainya tidak sebanding dengan kewajiban utangnya yang harus dibayar. Karena itu, beralasan jika kasus BLBI harus dibuka lagi.

Membandingkan dengan kasus yang ditanganinya, yaitu kasus Bank Aspac dan BHS, Lukman menyatakan, saat itu tidak ada persoalan yang bisa meloloskan mereka dari jeratan hukum. Pemegang saham utama Aspac dan BHS, Hendrawan cs dan Hendra Rahardja, dinyatakan bersalah. ”Saya heran mengapa pada kasus BDNI dan BCA bisa seperti itu?”

Kini mungkin saatnya KPK unjuk gigi. Tak ada alasan kuat untuk menampik rasa keadilan masyarakat. Waktunya sudah datang. Kita menunggu.

Jelaga di Wajah Lembaga Penegak Hukum

Senin, 17 Maret 2008 | 00:14 WIB

SUWARDIMAN

Tertangkapnya Kepala Tim Jaksa Pemeriksa Kasus BLBI Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memperkuat keyakinan publik bahwa tidak ada lembaga yang bersih dari korupsi. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi alat pemberantas korupsi makin memperlihatkan citra sebagai lembaga yang terbelit korupsi.

Kekecewaan publik terhadap jajaran lembaga penegak hukum tampak menonjol. Demikian kesimpulan dalam jajak pendapat yang dilakukan pada 12-13 Maret 2008 terhadap 867 responden di 13 kota di Indonesia.

Sebanyak 73,2 persen responden menyatakan tidak ada lembaga negara yang bebas dari perilaku korupsi aparatnya.

Dari lembaga-lembaga penegak hukum yang ada, kejaksaan dan kepolisian disebut sebagai lembaga yang belum bebas dari perilaku korupsi oleh paling banyak responden. Masing-masing lembaga itu disebut oleh 95,4 persen dan 95,2 persen responden. Bahkan, KPK pun dinilai oleh 73,4 persen responden tidak bebas dari korupsi.

Tertangkap dan diadilinya penyidik KPK, Ajun Komisaris Suparman, dalam perkara pemerasan saksi kasus PT Sandang beberapa waktu lalu menjadi titik balik yang menurunkan kepercayaan pada lembaga ini.

Peran lembaga negara sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan Mahkamah Agung, selama ini semakin jauh dari harapan publik.

Lembaga kejaksaan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. UU ini merupakan pembaruan atas UU No 5/1991 tentang Kejaksaan. Pembaruan UU ini diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peran lembaga kejaksaan.

Lembaga negara ini diharapkan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Alih-alih melakukan penguatan lembaga, citra lembaga kejaksaan malah semakin tersungkur. Kejaksaan tertampar oleh skandal uang Rp 6,1 miliar yang diduga diterima Urip dari Artalyta Suryani di sekitar kediaman pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim.

Uang itu diduga terkait dengan kasus BLBI, khususnya yang diterima BDNI. Citra Kejaksaan Agung pun menurun cukup drastis, dari dinilai baik oleh 29,3 persen responden Februari tahun lalu menjadi hanya oleh 22,3 persen responden saat ini.

Kasus suap aparat hukum seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, jaksa yang ditengarai terkait suap tercatat, antara lain, Cecep Sunarto dan Burdju Ronni. Mereka menerima uang Rp 550 juta dari Ahmad Djunaidi, terdakwa korupsi PT Jamsostek. Keduanya divonis satu tahun delapan bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Februari tahun lalu.

Kasus suap dalam proses pengadilan korupsi memang bukan barang baru. Sederet kasus suap dalam pengungkapan korupsi juga banyak melibatkan aparat hukum (lihat tabel).

Ini menggiring kegamangan publik dalam menyikapi keseriusan pemerintah dalam membabat habis korupsi di negeri ini. Lebih dari separuh responden (55,2 persen) menilai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak serius. Sebagian lain (42,7 persen) menilai ada keseriusan dalam penanganan persoalan korupsi di negeri ini.

Mayoritas responden (74,4 persen) menyatakan tidak percaya pada sistem pengadilan di Indonesia. Hanya dua dari 10 responden yang berpendapat sebaliknya. Sejumlah aturan hukum yang dibuat sejak tahun 1998 seharusnya mampu menekan praktik korupsi di negeri ini. Produk perundang-undangan yang lahir selama 10 tahun terakhir secara substansial sudah lebih baik jika dibandingkan dengan produk hukum pada era sebelum reformasi. Namun, instrumen hukum yang diciptakan dalam praktiknya tidak sejalan dengan realitas di lapangan.

Penguatan lembaga penegakan hukum di negeri ini seolah tidak bermakna apa-apa jika dalam praktiknya tidak dibarengi dengan sumber daya manusia yang kredibel. Ironis! Aparat yang seharusnya menjadi ujung pedang menebas endemik korupsi justru terseret menjadi pelaku korupsi. Menumpas habis korupsi di negeri ini tampaknya masih akan melalui perjalanan panjang.... (Litbang Kompas)

Pelaku Korupsi Tidak Akan Jera

Putusan MA Ikut Tak Mendidik Masyarakat
Senin, 17 Maret 2008 | 00:12 WIB

Jakarta, Kompas - Aksi pemberantasan korupsi dengan teknik menangkap tangan pelaku suap ternyata tidak pernah bisa memberikan efek jera. Ini terbukti, semakin hari transaksi suap-menyuap selalu terjadi dengan nominal yang semakin besar. Pelaku korupsi pun tak jera karena hukuman yang diterima juga ringan.

Demikian dikemukakan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satriyo, dan anggota Komisi III DPR, T Gayus Lumbuun, secara terpisah, Minggu (16/3).

Seperti diwartakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap jaksa Urip Tri Gunawan, yang diduga menerima suap terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada bulan ini. Sebelumnya, KPK juga menangkap anggota Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, dan anggota Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W Kusumah.

Menurut Rudy, salah satu faktor yang membuat pelaku korupsi tak jera adalah ancaman hukuman terhadap mereka tak pernah dimaksimalkan hakim. Rendahnya hukuman kepada koruptor membuat orang lain yang hendak melakukan korupsi atau menerima suap tak merasa takut.

Rudy mengatakan, memang di dalam hukum, pemidanaan bukanlah sebuah bentuk balas dendam negara, tetapi menjadi pembelajaran. ”Namun, untuk tindak pidana tertentu, seperti korupsi, rasa takut calon pelaku tetap harus dilakukan,” katanya.

Rudy menjelaskan perlu ada solusi untuk menciptakan ketakutan bagi koruptor, yaitu dengan menciptakan efek jera kepada penegak hukum yang melakukan penyimpangan. ”Aparat penegak hukum ini harus menjadi target KPK, dan hukuman kepada mereka harus diperberat,” ujarnya.

Secara khusus, Gayus menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman bagi terpidana kasus korupsi BLBI David Nusa Wijaya, dari delapan tahun jadi empat tahun penjara di tingkat peninjauan kembali (PK), tak mendidik masyarakat dan tak menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.

Lebih parah lagi, Gayus menjelaskan, putusan MA itu dapat mengakibatkan patahnya semangat penegak hukum mengejar pelaku korupsi. Pengurangan hukuman itu menunjukkan MA tak memerhatikan kesulitan penegak hukum dan segala risiko yang harus ditanggung saat mengejar terdakwa hingga ke luar negeri.

Menurut Gayus, MA semestinya memerhatikan asas manfaat sebuah putusan. Tak semestinya MA mengurangi atau menambah hukuman dalam putusan di tingkat PK. Seharusnya, majelis PK mendasarkan putusan pada penerapan hukum dengan amar putusan berbunyi menerima atau menolak PK saja.

Hanya di pinggiran

Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menilai, pemberantasan korupsi di Indonesia masih dilakukan di daerah pinggiran dan umumnya belum menyentuh pelaku utama. Akibatnya, meski sudah banyak orang yang diadili dan dihukum, korupsi tetap terus berlangsung.

”Jika korupsi diibaratkan sel kanker, yang selama ini diangkat hanya sel pinggiran, sedangkan sel utama tak pernah disentuh hingga kanker terus saja menyebar,” katanya.

Situasi ini, lanjut Denny, terlihat dalam pengungkapan sejumlah kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat, yang proses hukum umumnya hanya dikenakan kepada pelaku lapangan. Hanya dalam perkara korupsi di Komisi Yudisial, KPK memproses hingga ke aktor utama, yaitu Irawady Joenoes.

”Dalam perkara korupsi di KPU serta Departemen Kehakiman dan HAM, ada aktor yang diduga masih dibiarkan. Padahal, mereka ini justru merupakan aktor yang lebih penting,” kata Denny. Indikasi yang akan diproses hanya aktor lapangan juga terlihat dalam penanganan kasus aliran dana Bank Indonesia dan penyuapan yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan.

Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch menambahkan, terus terjadinya korupsi juga disebabkan lemahnya pengawasan di lingkungan penegak hukum. Akibatnya, banyak perkara penting yang justru menjadi permainan penegak hukum, seperti yang terindikasi dalam kasus suap BLBI. (vin/ana/nwo)