Senin, 31 Maret 2008

Korupsi dan Fenomena Transferensi

Jumat, 28 Maret 2008 | 00:36 WIB

Limas Sutanto

Hari-hari ini agaknya menjadi saat yang gelap penuh ketakutan bagi para tersangka koruptor Indonesia.

Sebaliknya, hari-hari ini menjadi saat yang cerah penuh sukses bagi para petugas pemberantas korupsi.

Banyak pejabat membanggakan keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeret beberapa tersangka koruptor ”besar” ke pengadilan. Mereka menyatakan, hal ini belum pernah terjadi pada masa pemerintahan sebelum SBY-JK. Inilah pergelaran paradigma penindakan represif yang mendominasi pemberantasan korupsi negeri ini. Agaknya pemerintah dan rakyat asyik dengan aneka penindakan represif itu. Maka, relevan dipertanyakan, dapatkah penindakan represif menghentikan korupsi secara bermakna?

Warga negeri ini sadar, korupsi pada bangsa ini begitu ”meresap mendalam” (pervasive). Hampir semua warga, termasuk sejumlah pejabat pemberantas korupsi, terkena korupsi. Pada perspektif ini, sekadar paradigma penindakan represif tidak akan mencukupi, sekaligus kurang rasional.

Jika semua warga tidak bebas korupsi, lalu siapa yang berhak dan memiliki kredibilitas untuk menjadi pejabat pemberantas korupsi? Siapa yang berhak dan memiliki kredibilitas menindak tersangka koruptor? Terkuaknya beberapa indikasi keterlibatan jaksa, polisi, hakim, dan pejabat KPK dalam suap dan pemerasan terkait penindakan tersangka koruptor menjadikan aneka pertanyaan itu patut direnungkan.

Persoalan psikososial

Korupsi pada bangsa ini perlu dipahami sebagai persoalan psikososial sistemik yang terjadi karena fenomena psikodinamik nirsadar. Oleh Freud, hal ini disebut “transferensi”. Makna kontekstual transferensi adalah pemindahan nirsadar pola-pola relasi masa lampau bangsa dengan penjajah ke realitas relasi antara penguasa dan rakyat di Indonesia masa kini.

Pola-pola relasi yang ”dipindahkan” secara nirsadar (ditransferensikan) itu berupa: pertama, kebiasaan bangsa penjajah (penguasa) memeras dan memalak bangsa terjajah (rakyat).

Kedua, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) menyelamatkan diri dari tekanan dan ancaman bangsa penjajah (penguasa) dengan cara apa pun, jika perlu dengan mengorbankan sesama warga terjajah (rakyat).

Ketiga, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) bertindak menjilat penjajah (penguasa) demi keselamatan diri.

Keempat, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) memberi upeti kepada penjajah (penguasa).

Kelima, kebiasaan suatu lapisan bangsa terjajah (rakyat) untuk menekan dan memeras sesama warga terjajah (rakyat) yang ada pada lapisan yang lebih rendah.

Perwujudan kelima pola relasi itu secara menyejarah membuahkan pemiskinan bangsa terjajah (rakyat). Pemiskinan itu merupakan pengalaman deprivasi (pengalaman kekurangan mendasar), yang tidak bisa tidak menimbulkan aneka tagihan di tengah perjalanan kehidupan bangsa terjajah, termasuk saat bangsa terjajah (rakyat) telah meraih kemerdekaan formal.

Tanpa sadar, transferensi itu ”dikirimkan” dua kelompok tenaga utama yang menggerakkan korupsi sistemik ke seluruh lapisan kehidupan bangsa Indonesia masa kini dan ke depan.

Pertama, kelompok tenaga yang berakar dalam pengalaman deprivasi, yang selalu memunculkan aneka letupan tagihan untuk merasakan kepemilikan dan keberlimpahan material dalam kehidupan seluruh warga hari ini dan ke depan. Kedua, kelompok tenaga yang berakar dalam kelima kebiasaan berelasi antara bangsa terjajah (rakyat) dan penjajah (penguasa).

Pendidikan bermutu

Pemahaman tentang korupsi sebagai masalah psikososial sistemik berlatar belakang fenomena transferensi, mengantar kita ke kesadaran bahwa bangsa ini tidak akan kunjung berhasil menghentikan korupsi secara bermakna hanya dengan upaya pemberantasan korupsi yang bertitikberatkan tindakan represif. Korupsi niscaya dihentikan dengan ”mengatasi transferensi” (working through the transference), yang dapat dijabarkan dalam tiga tindakan.

Pertama, tindakan bersinambung menyelesaikan pengalaman deprivasi bangsa Indonesia, dengan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan seluruh warga. Hal ini meniscayakan pemerintah benar-benar mengejawantahkan aneka program ekonomi prokesejahteraan rakyat banyak. Gegap gempita tindakan represif tanpa pengejawantahan program ekonomi pro-rakyat hanya cermin ketakrasionalan.

Kedua, pendidikan bermutu dan bersinambung bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan bermutu akan membuka dan memperluas wawasan kehidupan sehingga bangsa ini tidak terbelit otomatisme nirsadar pola-pola relasi koruptif yang berakar dalam sejarahnya. Pendidikan bermutu harus dijadikan program berprioritas tinggi.

Ketiga, kampanye sistemik bersinambung guna menumbuhkembangkan kesadaran bahwa korupsi itu keliru, merugikan, dan jahat. Kampanye ini amat diperlukan guna mematahkan pola-pola pikir otomatis nirsadar (automatic thoughts) yang membolehkan korupsi dan memandang korupsi sebagai hal biasa.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi, Pengajar Psikoterapi dan Konseling di Universitas Negeri Malang

 

Tidak ada komentar: