Senin, 31 Desember 2007

Catatan Hukum


KRHN dan TPDI: Suram, Reformasi Hukum 2007

Jakarta, Kompas - Reformasi hukum tahun 2007 mengalami masa suram. Agenda reformasi hukum banyak "terpenjara" oleh kepentingan-kepentingan politis.

Catatan reflektif terhadap sejumlah kasus atau peristiwa yang terjadi pada tahun 2007 itu disampaikan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). "Yang berjalan bukan rule of law, tetapi rule by policians," ucap Firmansyah Arifin, Ketua Badan Pengurus KRHN, Minggu (30/12).

Periode terburuk

Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai pelaksanaan hukum tahun 2007 termasuk dalam kategori paling buruk di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Salah satu indikatornya adalah sangat minimnya respons seluruh institusi penegak hukum pada laporan masyarakat terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Sejumlah kasus memang mendapat respons, tetapi pola tebang pilih kasus atau pilah-pilah orang oleh penegak hukum pun masih juga terjadi.

"Kasus korupsi dana siluman Departemen Kelautan dan Perikanan dalam kampanye pilpres hanya Rokhmin Dahuri dan bawahannya saja yang dijadikan tersangka kemudian dipenjara. Padahal, sejumlah bukti yang terungkap dalam persidangan maupun yang mengaku di luar persidangan, seperti Amien Rais, Wiranto-Solahuddin, tim sukses SBY-JK, Mega Center, baik KPK maupun kejaksaan dan Polri, tidak punya nyali bahkan jadi mandul," demikian tertulis dalam siaran pers yang ditandatangani Petrus Selestinus, Robert B Keytimu, Martin Erwan, Didi Supriyanto, Terkelin Brahmana, Sigit Binaji, dan Haris Hutabarat yang diterima Redaksi Kompas, Minggu kemarin.

Pemerintahan SBY-JK juga diindikasikan mengabaikan penegakan hukum di bidang HAM. Indikasinya antara lain pembatalan secara keseluruhan UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi tanpa ada upaya lagi untuk menyusun kembali UU tersebut. Indikasi lainnya adalah pemerintah juga mengabaikan hak asasi di bidang sosial dan ekonomi para korban semburan Lumpur Lapindo serta lambannya pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang seharusnya sudah terbentuk enam bulan lalu.

Tidak jelas

Dalam bidang legislasi, KRHN mencatat, sedikitnya ada 13 rancangan undang-undang bidang hukum yang penting segera dibahas tetapi tidak jelas nasibnya atau tidak kunjung selesai. RUU itu antara lain tentang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Peradilan Militer, Keterbukaan Informasi Publik, RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pengadilan Tipikor, serta RUU KUHP dan KUHAP. (SUT)

Senin, 24 Desember 2007

Laporan Akhir Tahun 2007


Penegakan Hukum yang Masih Redup


Suwardiman


Menyimak berbagai drama penegakan hukum sepanjang tahun 2007, lagi-lagi publik dibuat kecewa. Proses hukum sering kali harus tunduk pada arus kepentingan elite penguasa dan tersamarkan dalam spekulasi politik serta kepentingan pemilik kapital.

Banyak kasus yang berlangsung dari tahun-tahun sebelumnya tak kunjung juga selesai tertangani tahun ini. Penyelesaian kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir, sepertinya buntu mengungkapkan aktor intelektual di baliknya. Hiruk-pikuk penanganan korupsi pun masih banyak mewarnai wacana penegakan hukum dengan berbagai spekulasi politik di belakangnya. Bahkan, penghujung tahun ini pun ditutup dengan kontroversi proses pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dituding sarat dengan kepentingan politik menjelang Pemilu 2009.

Selain itu, proses penyelesaian kasus luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, yang berlangsung lebih dari tiga tahun pun masih menjadi sorotan dalam wacana hukum tahun 2007. Hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 12-13 Desember menunjukkan kekecewaan mayoritas publik atas kinerja lembaga hukum di negeri ini.

Kosmetik

Semangat pemberantasan korupsi sering kali dituding hanya dijadikan sebagai kosmetik penegakan hukum. Upaya yang dilakukan lembaga penegak hukum tak dapat memuaskan harapan masyarakat ketika hukum harus dihadapkan pada kekuatan politik. Drama penyelesaian perkara korupsi kasus pengumpulan dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), misalnya, terhenti pada aktor di jajaran DKP.

Klimaks dari kasus itu terhenti melalui vonis terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Rokhmin dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Sejumlah aktor politik, seperti mantan calon presiden pada Pemilu 2004, sejumlah anggota DPR, serta sejumlah mantan menteri, yang terseret dalam skandal kasus ini bisa bebas dari penyidikan.

Mantan Ketua MPR Amien Rais mengakui menerima kucuran dana itu. Dia bahkan menyatakan siap menjadi tersangka dan dihukum. Saat itu Amien mengimbau calon presiden dari partai lain pada Pemilu 2004 agar jangan berkelit karena mereka juga menerima dana tersebut. Ini tentu saja menyulut kegelisahan elite, termasuk Presiden Yudhoyono yang langsung menolak tuduhan Amien itu.

Alih-alih penyidikan lebih lanjut, kasus ini justru menjadi perselisihan antarindividu yang terselesaikan dalam pertemuan 12 menit di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, akhir Mei lalu. Amien dan Yudhoyono pun sepakat untuk mengakhiri konflik politik dan meneruskan silaturahim.

Kasus lain adalah perkara korupsi alat sidik jari di Departemen Hukum dan HAM. Reaksi mantan Menhuk dan HAM Yusril Ihza Mahendra atas kasus yang menyeret namanya itu adalah dengan melakukan serangan balik terhadap KPK. Yusril berargumen, jika ia dinilai korupsi dalam skandal alat sidik jari, proyek pengadaan alat sadap oleh KPK pun dianggap korupsi.

Kasus ini pun tuntas di ruang lobi ketika Presiden Yudhoyono mempertemukan Yusril dengan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam rapat kabinet koordinasi terbatas. Penyelesaian hukum atas kasus itu berakhir dengan vonis dua tahun penjara terhadap mantan Sekjen Dephuk dan HAM Zulkarnain Yunus dan Pemimpin Proyek Apendi yang divonis tiga tahun.

Upaya penyelesaian dengan memanfaatkan ruang politik telah mencabut substansi permasalahan, yaitu penuntasan perkara korupsi. Perjuangan menegakkan hukum seolah pupus di tengah lobi politik antarelite yang bekerja demi pelanggengan kekuasaan. Kepentingan kekuasaan seolah-olah menjadi lebih utama ketimbang pembuktian hukum atas berbagai kasus itu.

Ini seolah menguatkan paradigma, politik cenderung memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elite dengan memonopoli alat kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan politik mereka. Tak heran jika kemudian terjadi penyelewengan prinsip hukum dalam proses mencapai dan mewujudkan kepentingan politik.

Masalah korupsi yang menggurita di negeri ini memang membuat frustrasi sebagian pihak. Nyaris sepuluh tahun setelah reformasi, upaya modernisasi dan pelengkapan lembaga hukum terbukti tidak mampu memberantas korupsi. Pencurian uang negara bukannya dapat ditebang habis, tetapi malah semakin parah.

Masih banyak lagi drama politik yang melingkupi upaya penyidikan kasus korupsi yang melibatkan elite yang memegang kekuasaan. Kasus itu tidak jelas akhir penyelesaiannya, di antaranya skandal aliran dana Bank Indonesia (BI) ke sejumlah anggota DPR dan kasus korupsi dana ASABRI yang diduga melibatkan sejumlah mantan perwira tinggi TNI.

Menyaksikan berbagai drama penyelesaian kasus korupsi menggiring apatisme masyarakat atas kinerja penegak hukum. Dalam jajak pendapat Kompas, tercatat 70,2 persen menyatakan tidak puas dengan upaya pemerintah dalam menangani kasus korupsi.

Empati semu

Pada 24 Juni 2007 Presiden Yudhoyono menangis saat mendengar paparan mengenai masalah yang dialami korban lumpur Lapindo. Saking terharunya, Presiden berjanji untuk turun gunung. Dua hari kemudian, janji ini ditepati dengan memindahkan ruang kerjanya ke Wisma Perwira Pangkalan Udara Angkatan Laut Juanda, Surabaya. Alasan Presiden saat itu adalah agar bisa meninjau langsung lokasi lumpur panas.

Pertunjukan empati Presiden kepada korban seolah tak bermakna apa-apa jika dihadapkan pada realitas keputusan hukum atas kasus ini berseberangan dengan harapan mereka yang telah tercerabut hak hidupnya.

Dalam kasus Lapindo, terbit Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Dalam peraturan itu, korban Lapindo dipaksa menerima 20 persen pembayaran transaksi jual beli harta dan sisanya dibayarkan dua tahun kemudian tanpa bunga. Melalui peraturan ini juga ditegaskan, biaya penanggulangan dibebankan pada negara. Namun, dalam kasus ini negara dianggap gagal menegakkan supremasi hukum dengan tidak menyeret aktor korporat yang menjadi sumber bencana di Sidoarjo itu.

Sekali lagi masyarakat harus menghadapi empati semu dari elite politik tatkala interpelasi yang awalnya diusung 226 anggota dari sembilan fraksi di DPR gagal dalam rapat Badan Musyawarah DPR. Di akhir sidang tinggal fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) yang tetap bersikukuh mengajukan interpelasi.

Begitulah, publik masih belum bisa berharap banyak. Penegakan hukum sepanjang tahun ini tersamar di ruang gelap politik. (Litbang Kompas)

Sabtu, 22 Desember 2007

RUU Tipikor


Sinkronisasi Draf RUU tentang Korupsi Dinilai Positif


JAKARTA, KOMPAS - Rencana sinkronisasi dua draf Rancangan Undang-Undang atau RUU terkait korupsi, yakni RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor dan RUU Tindak Pidana Korupsi, dinilai sebagai langkah positif.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho berpendapat, sinkronisasi itu akan memperjelas penanganan kasus korupsi. "Selama ini kan tidak jelas pemerintah itu maunya apa. Apakah penanganan kasus korupsi akan dilakukan di Pengadilan Tipikor atau pengadilan umum. Kalau ada kesepakatan dari tim perumus dua RUU, itu berarti positif," katanya, Jumat (21/12) di Jakarta.

Selama ini isi draf RUU Pengadilan Tipikor dan RUU Tipikor dinilai tumpang tindih. Pasalnya, draf RUU Tipikor tidak mengatur penanganan kasus korupsi oleh Pengadilan Tipikor.

Firmansyah Arifin dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) juga menilai positif langkah sinkronisasi tersebut.

"Sinkronisasi itu penting sebelum draf RUU itu diajukan ke DPR," katanya.

Pengadilan tipikor

Terkait dengan keberadaan Pengadilan Tipikor di tingkat kabupaten/kota, seperti yang dirumuskan dalam RUU Pengadilan Tipikor, Emerson mengatakan, pengadilan tipikor memiliki arti penting dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Dengan demikian, tidak ada lagi pengadilan kasus korupsi di pengadilan umum," ungkapnya. (A09)

Kembalikan Kepastian Hukum


Secepatnya KPU Sulsel Ajukan PK

Jakarta, Kompas - Perintah pengulangan Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan di empat kabupaten oleh Mahkamah Agung merisaukan. Aturan pilkada mulai diintervensi oleh lembaga yang menggunakan wewenangnya di luar batas kewenangan yang diberikan undang-undang.

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto di Jakarta, Jumat (21/12), mengatakan, ratusan pilkada kabupaten, kota, dan provinsi yang diselenggarakan sejak Juni 2005 hingga pertengahan 2007 tidak menimbulkan masalah berarti. Konflik dan sengketa yang menyertai pilkada mampu diselesaikan dengan baik. Itu berarti, konflik bukan disebabkan oleh aturan pelaksanaan pilkada yang kurang lengkap.

Kasus Pilkada Sulsel telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena para penyelenggara pilkada mulai khawatir akan intervensi MA. "Aturan penyelenggaraan pilkada dan penyelesaian sengketa pilkada justru dilanggar oleh lembaga yang berwenang," kata Didik.

Karena itu, ia mendesak agar pelaksanaan pilkada dikembalikan pada aturan hukum yang ada. Itu berarti, MA harus berani membatalkan keputusannya.

MA persilakan PK

MA mempersilakan KPU Sulsel untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MA yang memerintahkan pelaksanaan pilkada ulang di empat kabupaten di Provinsi Sulsel. Meskipun secara yuridis PK tidak diperbolehkan, sudah ada yurisprudensi yang mengabulkan permohonan PK sengketa pilkada.

Hal itu diungkapkan juru bicara MA, Djoko Sarwoko. "Kalau berpegang pada Pasal 106 UU Pemda, memang putusan MA sudah final dan mengikat. Tapi, kan, ada yurisprudensi, berulang kali MA menerima permohonan PK. Tetapi yang dikabulkan memang baru satu, yaitu PK terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat soal Pilkada Depok," ujar Djoko, yang juga anggota majelis hakim Pilkada Sulsel.

Menurut Djoko, MA memang meminta KPUD mengulang semua tahapan pilkada, mulai dari proses awal seperti pendataan pemilih, kampanye, hingga pemungutan suara. Sidang dapat membuktikan adanya kecurangan dalam pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada tersebut.

Djoko juga menjelaskan mengapa MA memerintahkan pelaksanaan pilkada ulang di empat kabupaten, padahal permohonan yang diajukan hanya tiga kabupaten. Menurut dia, selama proses persidangan berjalan, tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan-perubahan.

Kotak pandora

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, mengatakan, setelah pilkada ulang dilaksanakan, tidak ada jaminan bahwa hasilnya tidak dipersoalkan oleh pihak yang kecewa. Pihak yang kecewa dipastikan akan mengajukan sengketa pilkada yang sama.

Putusan itu, jelas Denny, membuka kotak pandora yang memungkinkan nantinya semua pihak yang kecewa dengan hasil pilkada akan mengajukan permohonan pelaksanaan pilkada ulang.

Pakar hukum dari Universitas Andalas, Saldi Isra, di Padang juga menyebutkan, KPU Provinsi Sulsel harus segera mengajukan PK atas putusan MA. Hal itu merupakan langkah terbaik sebagai "perlawanan" terhadap putusan MA yang dinilainya aneh.

Semakin cepat upaya PK diajukan, diharapkan putusannya pun akan cepat keluar untuk memberikan kepastian. Bagi Saldi, dengan putusan yang melampaui kewenangan, sah-sah saja jika ada yang menilai putusan MA dilatarbelakangi intervensi politik. Hal itu merisaukan karena relasi politik yang kuat di pengadilan memungkinkan calon kepala daerah terpilih bukan berdasarkan kepercayaan rakyat. "Harus dicegah orang menjadi kepala daerah melalui tangan pengadilan," ujar Saldi.

Secara terpisah, Elza Syarief yang merupakan pengacara pasangan Amin Syam-Mansyur Ramly menilai putusan MA dalam perkara Pilkada Sulsel tidak melebihi wewenang karena sesuai dengan tuntutan pemohon. "Dalam gugatan subsider, kami meminta pilkada ulang untuk enam daerah tingkat dua, yaitu Bone, Gowa, Tana Toraja, Bantaeng, Makassar, dan Takalar. Yang dikabulkan hanya empat daerah, berarti tidak ada yang melebihi wewenang," kata Elza.

Departemen Dalam Negeri menyatakan tidak campur tangan dalam proses hukum Pilkada Sulsel. Namun, apabila sampai tanggal 20 Januari 2008, ketika masa jabatan Gubernur Sulsel Amin Syam dan Wakil Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo habis, Depdagri akan menunjuk penjabat Gubernur Sulsel.

Menurut juru bicara Depdagri, Saut Situmorang, Depdagri berkepentingan agar penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terhenti, pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan, dan stabilitas daerah juga tetap terjaga.

Reaksi massa

Serangkaian aksi unjuk rasa menolak putusan MA mewarnai Kota Makassar, Jumat. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya gangguan stabilitas, Kepolisian Wilayah Kota Besar Makassar menetapkan status siaga satu.

Unjuk rasa yang diikuti ratusan orang itu bukan saja mendatangi Kantor KPU Sulsel, tetapi juga rumah pribadi Ketua Umum DPP Partai Golkar Muhammad Jusuf Kalla di Jalan Haji Bau. Massa menyatakan menolak putusan MA yang dinilai sarat muatan politis.

"Kami minta seluruh masyarakat di Kabupaten Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja menolak pilkada ulang karena selain melanggar ketentuan, juga dapat memecah belah persatuan rakyat di Sulsel," ujar Adri Lairing, salah satu pemimpin aksi.

Ketua KPU Mappinawang di hadapan massa di Kantor KPU Sulsel menegaskan, ketetapan KPU tentang kemenangan pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang tetap sah. "Majelis hakim tidak membatalkan ketetapan itu karena gugatan primer untuk membatalkan hasil penetapan KPU tidak dikabulkan. Artinya, ketetapan KPU tetap berlaku," kata Mappinawang.

Syahrul, gubernur terpilih sesuai ketetapan KPU Sulsel, mengecam putusan MA yang dinilainya cacat hukum. "Pihak kami yang sangat dirugikan. Banyak yang aneh dan janggal dalam putusan MA ini yang tidak sesuai undang-undang," katanya. (MZW/DIK/ANA/SIE/ REN/NAR/NWO)

Senin, 17 Desember 2007

Terpidana Boleh Jadi Pejabat


Pidana akibat Kealpaan Ringan


Jakarta, Kompas - Mantan narapidana, khususnya narapidana yang dihukum karena kealpaan dan kejahatan politik, berpeluang untuk menduduki jabatan pemerintahan/publik.

Ketentuan sejumlah undang- undang yang mensyaratkan bahwa seorang calon pejabat tidak pernah dipidana akibat tindak pidana yang memiliki ancaman hukuman lima tahun, tidak berlaku untuk dua jenis tindak pidana di atas.

Hal itu terungkap di dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal sejumlah UU yang menyatakan pejabat publik (kepala daerah, wakil kepala daerah, Presiden dan Wakil Presiden, hakim konstitusi, hakim agung, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan/BPK) tidak boleh pernah dijatuhi pidana penjara yang ancaman hukumannya lima tahun. Putusan itu dibacakan Selasa (11/12).

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan masih memandang perlu adanya standar moral bagi setiap calon pejabat publik. Karena itu, syarat bahwa seorang calon pejabat belum pernah dipidana dianggap wajar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, rumusan pasal mengenai standar moral itu konstitusional bersyarat.

Artinya, syarat itu tidak berlaku untuk semua jenis tindak pidana. Menurut MK, pengecualian terhadap ketentuan itu perlu diberlakukan bagi orang yang dipidana karena kealpaan ringan. Pasalnya, pemidanaan karena kealpaan ringan tidak menggambarkan adanya moralitas kriminal dalam diri orang tersebut. Tindak pidana itu lebih disebabkan faktor kekuranghati-hatian.

Selain itu, MK juga memandang perlu adanya pengecualian untuk kejahatan karena alasan politik. Atau, perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi sikap politik (politieke overtuiging). Negara hukum yang demokratis menjamin hal tersebut. Hanya saja oleh hukum positif, tindakan itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda pandangan politik dengan rezim yang berkuasa.

"Apabila rumusan pasal itu diartikan mencakup kejahatan politik dalam pengertian di atas, maka rumusan demikian jelas mengandung unsur diskriminasi. Jika demikian halnya, ketentuan tersebut berarti telah membuat perbedaan perlakuan yang didasarkan atas pandangan politik yang dianut seseorang, sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945," ujar salah satu hakim konstitusi, I Dewa Gde Palguna.

Salah satu hakim konstitusi, Abdul Mukthie Fadjar, mengajukan pendapat yang berbeda. Menurut dia, MK seharusnya menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Ia melihat adanya ketidakkonsistenan dalam pengaturan syarat tersebut di dalam sejumlah UU.

Ia menengarai adanya penggunaan standar moral yang ganda antarpejabat publik. Ketidakkonsistenan dan penggunaan standar moral ganda itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, orang yang telah menjalani pidana pada hakikatnya sudah menjalani proses penyucian kembali. Dengan demikian, orang tersebut tidak layak diperlakukan sebagai orang berdosa seumur hidup.

Uji materi itu diajukan oleh Muhlis Matu (anggota DPRD Kabupaten Talakar, Sulawesi Selatan), Henry Yosodiningrat (pengacara yang pernah dijatuhi pidana penjara karena menabrak orang), Budiman Sudjatmiko (pengurus DPP PDI-P yang pernah dipenjara karena dakwaan tindak pidana subversif), dan Ahmad Taufik (wartawan yang pernah dipidana karena tuduhan penghinaan terhadap pemerintah).

Muhlis Matu gagal mengikuti pemilihan kepala daerah karena pernah dipenjara. (ANA)

Lawan Kekerasan dengan Hidup Adil


Komnas HAM Nilai Infrastruktur Hukum Masih Kurang


Jakarta, Kompas - Budaya hidup adil dan damai adalah tandingan dari budaya kekerasan yang merebak dewasa ini. Budaya adil dan damai tak saja menjamin terciptanya upaya penyelesaian konflik tanpa kekerasan, tetapi juga memberi andil dalam memperkokoh demokrasi.

Demikian dikatakan Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace Integrity of Creation/JPIC) Keuskupan Agung Ende (KAE), Ronny Neto Wuli Pr pada road show perdamaian di kawasan Tugu Pancasila, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (10/12).

"Budaya hidup adil dan damai tanpa kekerasan adalah suatu tindakan mendesak untuk melawan budaya kekerasan yang merebak dewasa ini. Budaya adil mutlak perlu dilaksanakan pribadi, lembaga yang cinta damai, bahkan seluruh manusia," kata Wuli.

JPIC KAE dan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (GATK) Kevikepan Ende, Senin, menggelar road show perdamaian memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, yang diperingati tiap 10 Desember. Kegiatan itu pertama kali digelar di Ende.

Pendeta OR Taruli Waja dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Ende pun menambahkan, "Dalam kehidupan ini tak boleh ada pihak yang berperan sebagai allah kecil terhadap sesama yang seolah mempunyai kekuasaan tak terbatas. Sebaliknya, juga tak boleh ada pihak yang diperlakukan seperti allah kecil."

Pimpinan Cabang Muhammadiyah Ende, Agil Parera Ambuwaru, menilai, di Ende terjadi pelanggaran HAM, antara lain dilakukan oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenang.

Komitmen pemerintah

Peringatan Hari HAM Sedunia juga dilakukan di Palembang (Sumatera Selatan), Jakarta, dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, sekitar 200 orang yang tergabung Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dan HAM berunjuk rasa menuntut komitmen pemerintah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi setiap warga. Mereka menilai pelanggaran HAM masih sering terjadi dan belum mendapat perhatian serius.

Tuntutan serupa dilakukan sekitar 1.000 orang yang tergabung dalam Komite Rakyat Bangkit Melawan di depan lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Senin.

Dalam diskusi nasional HAM, anggota Komisi Nasional HAM, Kabul Supriyadi, Senin, mengingatkan, berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu sulit diungkap akibat tidak lengkapnya perangkat hukum yang ada. Besarnya pengaruh politik juga membuat semakin rendahnya keinginan elite mengusut kasus-kasus tersebut hingga tuntas.

Pengadilan HAM Ad Hoc, katanya, kini menjadi satu-satunya alat untuk mengungkapkan hingga tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Karena, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi.(sem/wad/wer/rwn/jos/a09/nwo)

Sabtu, 24 November 2007

Aliran Dana Diduga Lewat Perantara Mafia Peradilan


Jakarta, Kompas - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution menyatakan, dana bantuan hukum Bank Indonesia yang berasal dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia untuk para mantan gubernur, deputi gubernur, dan direksi BI, yang menghadapi persoalan hukum, diduga disalurkan kepada oknum penegak hukum melalui sejumlah perantara.

Perantara itu merupakan bagian dari mafia peradilan. Penegasan itu disampaikan Anwar Nasution kepada Kompas dan tiga media lain di ruang kerjanya di Gedung BPK Jakarta, Jumat (23/11).

"Menurut pengakuan Rusli Simanjuntak kepada auditor BPK, dana itu disalurkan lewat perantara. Perantara itu bagian dari mafia peradilan. Dana-dana tersebut ada yang disalurkan lewat pengacara, ada yang diserahkan ke mantan-mantan. Lalu, diserahkan ke perantara. Itulah yang seharusnya ditelusuri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," kata Anwar.

Mengenai apakah auditor BPK mengetahui siapa oknum perantara itu, Anwar mengatakan tidak tahu. Dua auditor BPK yang menemani wawancara, Nyoman Wara dan Novi, juga menggelengkan kepalanya. "Penyidik yang harus menelusuri. Kita ini hanya auditor, yang hanya bisa memverifikasi. Kalau mengaku, dicatat. Jika tidak mengaku, mau bilang apa? Apa bisa ditempeleng si Rusli Simanjuntak itu? Kan, tidak bisa," kata Anwar.

Namun, saat ditanya bahwa tuduhan BPK itu kurang kuat, bahkan seorang mantan anggota DPR menyebut tuduhan tersebut konyol, Anwar mengatakan, tokoh kunci yang mengetahui siapa-siapa saja oknum di aparat penegak hukum dan anggota DPR yang menerima dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp 100 miliar itu ada pada dua orang, yaitu Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong.

Sebagaimana diketahui, dana YPPI itu sebanyak Rp 68,5 miliar untuk bantuan hukum, sisanya sebesar Rp 31,5 miliar untuk dana diseminasi anggota DPR.

"Kuncinya itu ada pada dua orang. Yang pertama, Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong. Mereka yang tahu siapa yang memberikan perintah kepada mereka. Mereka juga tahu siapa saja yang menerima dana dari BI," katanya.

Berdasarkan surat Anwar yang dikirimkan kepada KPK, 14 November 2006, nama Rusli Simanjuntak disebut-sebut sebagai Kepala Biro Gubernur waktu itu dan Oey Hoey Tiong sebagai Deputi Direktur Direktorat Hukum BI.

Disebutkan dalam surat Anwar, "Selanjutnya pengurus YPPI memberikan dana tersebut pada pejabat BI yang bertindak sebagai koordinator, yaitu Sdr Oey Hoey Tiong untuk dana bantuan hukum serta Sdr Rusli Simanjuntak dan Sdr Asnar Ashari untuk bagian dana yang diserahkan kepada Panitia Perbankan Komisi IX DPR periode tahun 2003."

Menurut Anwar, dana sebesar Rp 100 miliar yang dikeluarkan dari YPPI untuk bantuan hukum para mantan gubernur, deputi, dan direksi BI dikategorikan salah. "Dua-duanya salah. Satu, uang yang berasal dari YPPI dan, kedua, penggunaan dana itu,"kata Anwar.

Anwar menjelaskan, itulah latar belakang mengapa ia mengirimkan surat kepada KPK, agar pada masa datang tidak terjadi kesalahan serupa di BI. "BI perlu dibenahi. Kalau bank sentral kayak begitu, siapa yang percaya kepada Indonesia? Pembukuan BI sudah lebih baik. Jangan main-main dengan uang negara seperti dulu. Sudah lewat masa main-main seperti itu," tuturnya.

Senin diperiksa KPK

Anwar membantah upaya membongkar dugaan penyimpangan dana itu dilandasi motif lain di luar kepentingan mengungkapkan hasil audit BPK. "(Jadi calon Gubernur BI) Saat ini tidak ada tujuan ke sana. Pangkat saya lebih tinggi daripada Gubernur BI, apalagi menteri. Itu (Burhanuddin Abdullah) bukan saingan saya. Saya ini guru besar. Bukan doktor yang tak jelas. Bukan doktor yang sogok sana-sini. Jadi, tak ada hubungan dengan itu (pencalonan Gubernur BI tahun depan)," kata Anwar.

Lebih jauh, terkait dengan keikutsertaannya menghadiri rapat Dewan Gubernur BI pada 22 Juli 2003 serta keikutsertaannya menandatangani risalah rapat Dewan Gubernur BI yang menyetujui dana bantuan bagi mantan gubernur, deputi gubernur, dan direksi BI itu, Anwar mengaku dirinya akan diperiksa KPK Senin mendatang. "Saya akan diperiksa dalam kapasitas sebagai mantan Deputi Gubernur Senior BI," ujarnya. (HAR)

Senin, 19 November 2007

PEMBALAKN LIAR


Hotman Paris: Adelin Tak Akan Kembali ke Indonesia

Kotabumi, Kompas - Terdakwa bebas pada kasus pembalakan liar dari Medan, Sumatera Utara, Adelin Lis yang namanya masuk dalam daftar pencarian orang, dipastikan tidak akan kembali ke Indonesia untuk menyerahkan diri.

"Ia hanyalah anak waris yang ingin menyelamatkan warisan orangtuanya, tetapi malah kena rekayasa hukum ketika pemerintah ingin membabat illegal logging. Ia tidak akan kembali karena ia sudah tidak percaya lagi pada sistem hukum Indonesia," kata Ketua Tim Pengacara Adelin Lis, Hotman Paris Hutapea, saat jeda persidangan di Pengadilan Negeri Kotabumi, Lampung Utara, Senin (12/11).

Hotman Paris rencananya akan bertemu dengan Komisi Yudisial hari Rabu besok. Dalam pertemuan itu, Hotman Paris akan menjelaskan semua hal yang terkait kasus Adelin.

Di Medan, Menteri Kehutanan MS Kaban menyatakan dirinya menghormati hukum yang berlaku dan mendukung langkah kasasi terhadap kasus Adelin Lis.

Sebelumnya, 21 lembaga swadaya masyarakat di Medan menyatakan pembebasan Adelin oleh Pengadilan Negeri Medan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Apalagi, Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan dunia tentang Perubahan Iklim Global di Bali, Desember 2007.

Kelompok LSM di Sumut mencatat, selama tahun 2006- 2007 sudah 11 kasus perambahan hutan yang pelakunya dinyatakan bebas di Sumatera Utara.

Kemarin, majelis hakim yang memberikan vonis bebas terhadap Adelin kembali diperiksa. Kali ini giliran Ketua Majelis Hakim Arwan Byrin, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Medan, dan hakim anggota Robinson Tarigan, yang diperiksa Pengadilan Tinggi Sumut.

Sementara itu, di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, tim dari Kejaksaan Agung memeriksa tujuh jaksa penuntut umum.

Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin mengatakan, Kejagung belum mengambil sikap karena pemeriksaan masih berlangsung.

(HLN/NW0/BIL/CHE/WSI)

Advokat Tak Tahu Aliran Dana



Soal BI Jangan Diselesaikan "Adat"

Jakarta, Kompas - Sejumlah advokat, yang pernah mendampingi petinggi Bank Indonesia yang disangka melakukan korupsi, mengaku tidak mengetahui adanya dana yang diduga disalurkan kepada penegak hukum. Mereka hanya menerima honor bantuan hukum, sesuai kontrak resmi dengan BI, dan tak tahu ada dana lainnya.

Advokat Indriyanto Seno Adji dan Luhut MP Pangaribuan yang dihubungi terpisah, Senin (12/11) di Jakarta, mengaku hanya menerima dana sesuai dengan kontrak untuk memberikan bantuan hukum kepada (mantan) petinggi BI. Tak ada dana lain yang dialirkan melalui mereka.

"Saya, seperti kontrak bantuan hukum resmi BI, menerima Rp 1,43 miliar. Saya satu tim dengan Albert Hasibuan dan Pradjoto. Dana yang kami terima dari BI, ya, sesuai kontrak," ujar Luhut.

Selain dirinya, kata Luhut, Albert menerima Rp 1,43 miliar dan Pradjoto menerima Rp 551,1 juta sebagai honor mendampingi mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono. Ia tidak mengetahui bahwa ada Rp 25 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) bagi kliennya itu. "Jika ada Rp 25 miliar, kami tak tahu dan tak pernah menerimanya pula," kata Luhut lagi.

Indriyanto mengakui firma hukumnya mendampingi mantan Direktur BI Paul Sutopo, Heru Supraptomo, dan Hendrobudianto di tingkat banding dan kasasi. Sesuai kontrak dengan BI, firma hukumnya menerima honor Rp 3,314 miliar. "Yang saya terima >kern 502m<>h 9737m,0<>w 9737mkern 251m<>h 9738m,0<>w 9738m<

Namun, Indriyanto mengaku tidak tahu-menahu YPPI yang dimiliki BI mengeluarkan dana Rp 30 miliar untuk membantu penanganan perkara ketiga mantan direktur itu. "Kami menerima sesuai kontrak saja," katanya. Indriyanto dan Luhut juga tak tahu dana YPPI untuk apa dan siapa.

Advokat Maiyasyak Johan juga membenarkan firma hukumnya, Maiyasyak, Rahardjo, and Partnerts, pernah memberikan bantuan hukum kepada Paul Sutopo. Namun, ia tak mau mengungkapkan honor yang diterimanya.

"Berapa saya dibayar BI, itu rahasia hubungan pengacara dengan klien. Saya kira tidak patut dijelaskan. Yang pasti hubungan kantor saya dengan BI bersifat kontraktual antara pemberi jasa dan penerima jasa," ujarnya.

Maiyasyak, yang kini anggota Komisi III DPR, menegaskan, ia ketika itu tidak hanya mendampingi Paul, tetapi juga Gubernur BI Syahril Sabirin. Untuk itu, ia menerima kontrak kerja dan surat kuasa dari BI.

Dalam surat Ketua BPK Anwar Nasution kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertanggal 14 November 2006, saat mendampingi Paul, firma hukum Maiyasyak menerima honor Rp 6,748 miliar. Dana itu dari anggaran BI. Namun, YPPI juga mengeluarkan dana Rp 10 miliar.

Penyelesaian adat

Secara terpisah, Senin, Wakil Ketua MPR AM Fatwa meminta Presiden tidak menyelesaikan secara "adat" dugaan penyelewengan dana BI, yang mengalir lewat sejumlah pejabat dan mantan pejabat BI kepada penegak hukum atau anggota DPR periode 1999-2004. "Hentikan penyelesaian ’adat’. Kuncinya di KPK," ujarnya.

Fatwa juga mengingatkan anggota KPK yang masa jabatannya akan segera berakhir agar bekerja konsisten dan tidak pilih-pilih. "Ini ujian bagi KPK. Momen terakhir ini akan menunjukkan karakter dan konsistensi KPK. Manusia juga yang paling banyak dinilai justru di masa akhir hidupnya," ujarnya mengingatkan.

Sebagai Wakil Ketua DPR periode 1999-2004, Fatwa juga menegaskan, Dewan terbuka untuk diperiksa. Ia berharap lembaga lain pun membuka diri.

Mantan Wakil Ketua Komisi IX DPR Ali Masykur Musa, yang ditemui terpisah, mengakui adanya uang dari BI untuk diseminasi pembahasan undang-undang (UU). Namun, hal itu harus dibedakan dengan gratifikasi.

Ia mencontohkan, BI sering mengadakan seminar untuk sosialisasi UU dan hampir semua anggota Komisi IX yang dianggap memahami persoalan diundang sebagai pembicara. Mereka disetarakan dengan ahli. Kalau ada pemberian uang, itu sebatas tiket pesawat kelas bisnis dan honor.

"Honor pun tidak lebih dari Rp 5 juta," papar Ali Masykur. Menurut dia, yang harus dikejar adalah pihak BI karena dalam laporan BPK angkanya menjadi luar biasa besar, yaitu mencapai Rp 31,5 miliar yang diduga dialirkan kepada anggota DPR. "Dana itu fantastis," katanya.

Mantan anggota Komisi IX DPR Agus Condro Prayitno juga mengaku tidak tahu-menahu adanya dana Rp 31,5 miliar dari BI. Ia baru masuk Komisi IX pada akhir tahun 2003. "Usut saja yang tuntas. Kalau terbukti, kenai tindakan hukum," ucapnya.

Sekitar 20 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 kini masih aktif menjadi anggota DPR. Ada juga yang kini duduk di kabinet, yaitu Paskah Suzetta, Baharuddin Aritonang menjadi Wakil Ketua BPK, serta Antony Zeidra Abidin yang kini Wakil Gubernur Jambi. (SUT/VIN/TRA)

Perundang-undangan


"Indonesiakan" Hukum, Peralihan Harus Dibatasi

Bandung, Kompas - Sistem yang mandiri dan kontekstual merupakan kunci reformasi hukum. Maka, produk hukum warisan kolonial seyogianya tidak lagi digunakan. Untuk itu, masa transisi yang diatur di dalam aturan peralihan amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 perlu dibatasi secara tegas.

Pendapat itu disampaikan pakar hukum Universitas Hasanudin, Prof Achmad Ali, dalam Diskusi Nasional "Rekonstruksi Kehidupan Bernegara di Indonesia", Sabtu (10/11) di Balai Pertemuan Ilmiah Institut Teknologi Bandung.

Aturan hukum warisan kolonial yang dikritisinya salah satunya adalah wetboek van strafrecht (KUHP). "Wetboek (KUHP) ini kan seluruhnya dikutip dari produk Belanda (wetboek van strafrecht for Netherland Indie). Bahkan, hingga titik koma. Padahal, di negara asalnya, KUHP sudah sejak 100 tahun lalu tidak lagi dipakai sehingga banyak sekali aturan yang tidak lagi sesuai, tidak bisa diterapkan. Misal delik pemerkosaan," ujarnya.

Dalam perkembangannya, kodifikasi (wetboek) hukum pidana ini juga tidak lagi bisa mengikuti perkembangan zaman, terutama pada era abad ke-21 ini. Delik pidana dunia maya salah satunya. Maka, sudah sewajarnya jika dilakukan pembaruan terhadap aturan ini. Tentunya hal itu disesuaikan dengan kondisi nasional.

Mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini juga mengkritisi sistem hukum Indonesia yang kaku.

"Terlalu mendewakan aspek legalitas. Padahal, di dunia modern aspek hukum positif mulai ditinggalkan. Merebaknya pranata hukum baru, yaitu nonlitigasi melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrasi, menjadi tren baru. Bangsa ini menjadi bangsa gado-gado, Barat tidak jadi, Timur pun tidak terlihat," ucapnya. (JON)

Rabu, 31 Oktober 2007

Pengadilan Putri Diana


Misteri Mobil Warna Putih

Pengadilan kematian Putri Diana, Senin (29/10) di London, menampilkan saksi pasangan Perancis yang mengaku melihat sebuah Fiat Uno warna putih muncul dari terowongan tempat mobil Putri Diana dan Dodi Al Fayed mengalami kecelakaan 10 tahun lalu. Pasangan ini juga mengidentifikasi pengemudi dari Fiat Uno tadi.

Fiat Uno tersebut adalah potongan yang hilang dari teka-teki dalam kecelakaan yang menewaskan Diana, kekasihnya Dodi Al Fayed, dan pengemudi Henri Paul pada 31 Agustus 1997. Polisi menyimpulkan bahwa Mercedes mereka telah bertabrakan dengan sebuah Fiat Uno putih, tetapi tidak pernah menemukan mobil itu dan tidak pasti apakah tabrakan itu merupakan sebuah faktor dalam kecelakaan fatal itu.

Georges dan Sabine Dauzonne, yang memberi kesaksian melalui hubungan video dari Paris pada pemeriksaan sebab kematian di London, mengatakan, mereka mengira pengemudi mobil yang berjalan perlahan dan berbelok-belok itu mabuk. Saat mereka menyalip Fiat itu, mereka memerhatikan bahwa pengemudi itu sedang memandang dengan serius ke kaca spion dalam dan sisi kirinya.

"Ketika kami mendengar kematian Diana, kami pikir kemungkinan besar dia (pengemudi itu) sedang melihat ke kaca spionnya untuk melihat apa yang telah terjadi di terowongan itu," kata Sabine Dauzonne.

Rolls Royce pasangan itu tidak lewat di jalur arah ke barat dari terowongan itu, di mana mobil Diana mengalami kecelakaan. Mereka melewati jalur ekspres di sebelah terowongan, di mana mereka bertemu dengan Fiat itu.

Dauzonne mengatakan, dia mengemudi dengan kecepatan sekitar 30 km per jam ketika dia memerhatikan Fiat itu, yang berjalan lebih lambat lagi. Dia dan istrinya sama-sama menggambarkan mobil itu pertama mengarah ke kanan ke arah mobil pasangan itu, lalu ke kiri, kemudian kembali ke kanan.

Dauzonne dan istrinya mengatakan, mereka tidak mendengar sebuah tabrakan atau melihat apa pun di terowongan itu.

Mohamed Al Fayed, ayah Dodi, mengatakan, putranya dan Diana merupakan korban dari sebuah konspirasi yang didalangi Pangeran Philip, suami Ratu Elizabeth II. Dia menyebutkan bahwa sebuah Fiat putih yang dimiliki oleh fotografer James Andanson mungkin saja menjadi bagian dari konspirasi itu.

Andanson meninggal tahun 2000. Polisi Perancis memeriksa mobilnya dan menyimpulkan, kendaraan itu tidak pernah terlibat dalam sebuah tabrakan dengan sebuah Mercedes Benz.

Ditanyai secara terpisah, baik Georges maupun Sabine Dauzonne memilih foto dari orang yang sama sebagai orang yang mungkin merupakan pengemudi Fiat Uno itu dari lima foto yang diperlihatkan. Foto yang mereka pilih adalah dari Le Van Thanh, seorang mantan satpam. Namun, investigasi kepolisian Perancis telah menyingkirkan kemungkinan keterlibatannya.

Serangkaian foto yang diperlihatkan itu termasuk juga foto Andanson. Namun, baik Dauzonne maupun istrinya tidak memilihnya.

Stephane Darmon, pengemudi sebuah sepeda motor bagi seorang paparazzi yang mengejar Mercedes yang ditumpangi pasangan Diana-Dodi setelah meninggalkan Hotel Ritz, Paris, juga memberikan kesaksian, hari Senin. Darmon memberi kesaksian dari Paris bahwa dia tidak melihat motor atau mobil selain Mercedes yang tabrakan itu kala mereka mencapai terowongan maut tersebut.

"Tak ada seorang pun di depan saya atau di samping saya," kata Darmon, yang waktu itu bekerja bagi agensi foto Gamma.

Saksi-saksi lain telah melaporkan melihat motor dekat belakang atau samping Mercedes itu saat memasuki terowongan. (AFP/AP/Reuters/DI)

Hukuman Mati Tetap Berlaku


MK Meminta Eksekusi Bisa Segera Dilaksanakan

Jakarta, Kompas - Hukuman mati masih tetap berlaku di Indonesia. Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan, hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pencantuman pidana mati dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat.

Putusan itu dibacakan pada sidang MK, Selasa (30/10) di Jakarta. Sidang pembacaan putusan itu berlangsung 4,5 jam.

Permohonan pengujian pasal hukuman mati dalam UU Narkotika diajukan dua warga negara Indonesia, Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia, serta tiga warga negara Australia, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Anthony Rush. Warga Australia itu, yang termasuk kelompok Bali Nine, tertangkap dan dihukum mati karena menyelundupkan heroin.

Sidang dihadiri kuasa hukum pemohon, antara lain Denny Kailimang dan Todung Mulya Lubis, sejumlah pejabat, serta Ketua Badan Narkotika Nasional I Made Mangku Pastika.

Putusan MK dalam perkara ini terbelah dua. Enam hakim konstitusi menilai hukuman mati tetap berlaku, sedangkan tiga hakim lainnya, yakni Laica Marzuki, Achmad Roestandi, dan Maruarar Siahaan, mengabulkan permohonan agar pasal hukuman mati itu dicabut.

Dalam putusannya, MK mempersoalkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon sebagai warga negara asing dan substansi hukuman mati. Mayoritas hakim konstitusi menilai warga negara asing tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian atas UU terhadap UUD.

Namun, tiga hakim konstitusi, yakni Harjono, Maruarar, dan Laica, berpendapat warga negara asing berhak mengajukan pengujian UU di Indonesia. Ini berlandaskan pada frasa "setiap orang berhak..." yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945. Seharusnya tak ada pembedaan antara hak asasi warga negara Indonesia dan warga negara asing.

Maruarar juga mencantumkan praktik di negara lain yang memperbolehkan warga negara asing memperoleh perlindungan hak asasi yang dilanggar UU negara yang menerimanya. Misalnya, gugatan Asakura (warga negara Jepang pemilik rumah gadai di Seattle, Amerika Serikat). Ia menguji peraturan kota Seattle, yang melarang orang asing berusaha di bidang pegadaian. Kasus lainnya adalah Cabell versus Chavez-Salido, Salim Ahmed Hamdan versus Donald H Rumsfeld (Sekretaris Pertahanan), dan Konstitusi Dominika tahun 1978.

Tentang pokok perkara, enam hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Jimly Asshiddiqie selaku ketua majelis hakim, menyatakan, penjatuhan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, hakim tidak boleh sewenang-wenang menjatuhkan hukuman mati karena harus sesuai dengan ketentuan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Jimly pun menjelaskan, pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan, perumusan, penerapan, dan pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus benar-benar memerhatikan bahwa hukuman mati bukan merupakan pidana pokok. Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh.

MK meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah Bambang Winahyo menyambut baik putusan MK yang melegalkan hukuman mati. Hal itu diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan eksekusi terpidana mati.

Di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kini terdapat 54 terpidana mati, termasuk terpidana kasus peledakan bom di Bali tahun 2003. (VIN/HAN/MDN)

Senin, 22 Oktober 2007

MA, Mahkamah Ajaib


Saldi Isra

Gila! Begitu reaksi yang muncul saat seorang wartawan sebuah harian di Padang menyampaikan bahwa permohonan kasasi 10 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat periode 1999-2004 diterima Mahkamah Agung.

Ketika si wartawan membacakan kutipan putusan kasasi MA itu, berulang-ulang saya mengucapkan kata "gila", "kacau", dan "aneh". Penutup dari rangkaian kata itu, saya berujar kepada si wartawan, "putusan ini merupakan alat pembunuh massal gerakan antikorupsi terutama di daerah".

Sambil menyebarkan berita duka, via pesan singkat, ini kepada sejumlah penggiat antikorupsi, saya teringat putusan kasasi majalah Tempo dan kasus korupsi dana nonbudgeter Bulog yang melibatkan Akbar Tandjung. Putusan majalah Tempo dan dana nonbudgeter Bulog menjadi dekat, seperti baru terjadi kemarin.

Meski kasus majalah Tempo dan dana nonbudgeter Bulog sering disebut sebagai tragedi penegakan hukum yang memilukan, putusan kasasi 10 anggota DPRD Sumbar itu jauh lebih tragis. Tidak sekadar mempertontonkan kegilaan sekaligus kekacauan dan inkonsistensi MA dalam memutus perkara, putusan kasasi itu juga menjungkirbalikkan logika hukum.

Berbeda 180 derajat

Karena melibatkan 43 anggota DPRD, Pengadilan Negeri Padang membagi kasus ini menjadi lima berkas perkara. Satu berkas perkara terdiri dari tiga pimpinan dewan. Sementara itu, 40 orang lain dibagi menjadi empat berkas perkara, masing-masing 10 anggota dewan. Meski dipisah, semua berkas tetap menjadi satu kesatuan. Untuk menghindari disparitas putusan, pengadilan negeri dan pengadilan tinggi memutus semua berkas perkara secara bersamaan.

Di tingkat kasasi, sepertinya, pola yang dilakukan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tidak terjadi. Selain majelisnya berbeda, pengambilan keputusan juga tidak dilakukan secara bersamaan. Buktinya, empat berkas perkara (33 orang), dengan majelis hakim yang dipimpin Parman Suparman anggota Arbijoto dan Abbas Said, sudah diputus sejak 2 Agustus 2005. Adapun satu berkas lain (10 orang), dengan majelis yang dipimpin Bagir Manan anggota Iskandar Kamil dan Djoko Sarwoko, baru diputus 10 Oktober 2007, tiga hari menjelang Idul Fitri lalu.

Meskipun demikian, diduga ada tiga skenario yang terjadi di MA. Pertama, semua berkas dipegang satu majelis dan pada 2 Agustus 2005 sudah ada putusan final dalam bentuk menolak permohonan kasasi.

Kedua, dari awal berkas perkara memang dipegang lebih dari satu majelis dan pada 2 Agustus 2005 majelis yang dipimpin Bagir Manan berbeda pendapat dengan majelis lain.

Ketiga, majelis terpisah dan masing-masing menganggap berkas perkara yang mereka pegang terpisah dengan berkas perkara yang lain.

Dari semua skenario itu, skenario ketiga jauh dari logika hukum. Apalagi sejak di pengadilan negeri, hakim yang menangani kasus ini bukan merupakan majelis yang terpisah. Meski ada lima berkas perkara, sejak proses penyidikan sampai persidangan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, kasus korupsi 43 anggota DPRD Sumbar merupakan satu perkara. Karena itu, patut diduga, pada 2 Agustus 2005 lima berkas perkara sudah diputus MA.

Sepanjang tidak terjadi disparitas, perbedaan waktu menyampaikan putusan masih dapat dipahami. Namun, ketika majelis Bagir Manan memutus berbeda 180 derajat dari putusan majelis Parman Suparman dua tahun lalu, putusan itu sulit dicerna akal sehat. Sebagaimana diberitakan Kompas (19/10), majelis Parman Suparman menolak permohonan kasasi empat berkas perkara alias menghukum 33 anggota DPRD. Sementara itu, majelis yang dipimpin Bagir Manan mengabulkan kasasi alias membebaskan 10 anggota DPRD.

Tekanan politik

Mencermati perbedaan yang terjadi, saya kian percaya, logika hukum hanya berlaku pada kasus-kasus kecil. Untuk itu, menarik menyimak kembali pendapat peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego, hanya sedikit kasus besar di Indonesia yang ditentukan logika hukum. Banyak pelaku kasus besar yang akhirnya lepas setelah melakukan lobi, negosiasi, dan deal-deal tertentu (Kompas, 14/1/2004).

Barangkali, dari jumlah kerugian yang ditimbulkan, kasus korupsi 43 anggota DPRD Sumbar secara relatif tidak masuk kategori kasus besar seperti dikatakan Indria Samego. Namun, jika dilihat dari spektrum politik yang mengitarinya, kasus itu dapat dimasukkan menjadi salah satu kasus besar negeri ini. Spektrum politik itu kemudian memberi bobot dan tekanan politik besar terhadap kasus ini.

Bisa jadi, karena tekanan politik yang tinggi, satu berkas perkara sengaja (by design) dipisah. Agar tetap terasa dalam bingkai hukum, satu berkas yang tersisa didalilkan belum diputus. Celakanya, satu berkas yang tersisa juga dijadikan alasan kejaksaan untuk tidak mengeksekusi empat berkas perkara yang sudah ditolak kasasinya oleh majelis Parman Suparman. Pada titik itu, penundaan satu berkas bisa jadi merupakan exit-strategy berbagai pihak agar penyelesaian kasus ini tidak pernah sampai ke titik kulminasi.

Dalam hal ini, manuver sejumlah elite politik dalam tenggat 2005-2006 cukup menjadi bukti. Misalnya, saat satu berkas perkara yang tersisa di MA masih menggantung, Komisi II dan III DPR merekomendasikan untuk menghentikan semua kasus korupsi di daerah terutama yang terkait penggunaan APBD (Kompas, 4/10/2006). Akibatnya, penegak hukum menjadi gagap melanjutkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD.

Karena itu, tidak perlu merasa aneh dengan putusan aneh kasasi MA itu. Melihat spektrum politik di sekitar kasus korupsi di daerah, putusan itu sudah dirancang menjadi putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika hukum, dan tidak konsisten. Yang jelas, ini bukan hasil karya sebuah mahkamah yang agung, tetapi hasil kreasi sebuah Mahkamah Ajaib.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; Mantan Koordinator Forum Peduli Sumatera Barat

Selasa, 09 Oktober 2007

Rasa Keadilan


Robert Bala

Sulitnya menemukan fakta untuk menyeret Pak Harto, yang juga dijadikan MA alasan menuntut Rp 1 triliun kepada majalah Time dan penemuan fakta yang (kelihatan) begitu jelas dalam kasus Irawady Joenoes, menarik disimak.

Lalu muncul pertanyaan, apakah fakta menjadi satu-satunya acuan?

Kebaikan umum

Action in factum atau aksi nyata sebagai bukti konkret amat diperlukan dalam proses hukum. Dengannya, seseorang yang pada awalnya hanya sebagai saksi dapat menjadi tersangka saat aksi-aksi faktual cukup jelas. Sebaliknya tuduhan bisa dianggap "angin lalu" saat tidak terbukti. Pemulihan nama baik atau tuntutan balik pun dilakukan.

Konsep seperti ini dapat dipahami. Lembaga peradilan dipahami (sekadar) sebagai penguji kadar kebenaran (verum) sebuah perkara. Mereka mencari persesuaian antara pikiran dan realitas, darinya dihasilkan kebenaran.

Bagaimana mengukurnya? Aneka cara pandang, perjuangan dengan motivasi terselubung, dan keengganan untuk menguji dalam forum lebih kompeten membuat kebenaran bersifat parsial dan ambivalen. Maka, filsuf seperti Aristoteles menekankan unum kesatuan (konsep). Tanpa kesepahaman, mustahil tercapai tujuan karena kekuatan diperlemah oleh keceraiberaian.

Namun, verum dan unum masih pada tataran metafisis. Ia perlu dukungan etika, dengan memberi tempat terhadap kebaikan umum, bonum comunae. Itu berarti keberhasilan sebuah tugas publik dilihat dari manfaatnya untuk kepentingan umum dan sejauh mana kebaikan itu dirasakan. Manusia, demikian Zubiri, Xavier, Sobre el sentimiento y la volición: 1992, memiliki tugas bukan hanya mewujudkan dirinya secara internal, tetapi juga terpanggil untuk mengadakan transformasi terhadap realitas sosial.

Merajut kebersamaan

Aneka elemen warisan filsafat klasik seperti ini dapat dijadikan acuan dalam menilai aneka peristiwa yang terjadi. Tuntutan terhadap Time, kesangsian terhadap laporan PBB dan Bank Dunia, serta masih kaburnya "duduk perkara" kasus Irawady Joenoes adalah contoh tentang proses hukum kita yang masih berkutat mencari kebenaran. Argumen sendiri dianggap paling benar. Anggapan tentang tuduhan tanpa bukti, jebakan, tebang pilih, diskriminasi adalah kesan yang selalu muncul.

Akibatnya sudah pasti. Yang sering terjadi dalam proses hukum adalah adu argumentasi mencapai kebenaran yang parsial dan versial. Dan ketika ide itu tidak diterima, aneka tindakan anarkis muncul sebagai reaksi. Ada kesan, kekuatan uang masih menjadi penentu "kebenaran" yudisial. Tuntutan pengembalian aset negara pun menjadi tersendat karena masih ada usaha meloloskan diri dari jeratan hukum. Lebih jauh lagi, harapan tercapainya kebaikan bersama menjadi kendur karena kian merosotnya rasa bersalah.

Keadaan seperti ini kadang memunculkan rasa jenuh dan pesimistis sehingga bisa menghadirkan tindak korupsi baru. Sialnya, banyak orang tidak tahu bahwa untuk dapat korupsi yang "aman" di negeri ini, dibutuhkan "strategi" dan "kelihaian". Hanya dengan cara demikian seseorang dapat lolos atau tidak bisa terjerat oleh tafsiran faktual yang kerap digunakan aparat hukum.

Rasa jenuh masyarakat tidak hanya terjadi karena korupsi. Aneka kebijakan yang kontradiktoris dengan dambaan rakyat tak kurang dampaknya. Hal ini kerap terjadi dengan proyek pertambangan di daerah (seperti di Lembata, NTT). Rakyat yang memiliki kearifan lokal dengan pandangan kosmologis yang utuh demi menjaga keutuhan ciptaan, merawat warisan sosial, kultural, dan ekologis kian merasa aneh. Sementara itu, para "pengayom" masyarakat lebih terpana pada aneka royalti menyulap daerahnya.

Kehadiran peristiwa-peristiwa kejahatan, korupsi, dan melebarnya jarak rakyat dan pemimpin pada Ramadhan seperti ini amat disayangkan.

Namun, di tengah kepincangan seperti ini, ada imperatif moral. Manusia yang religius dan sanggup mewujudkan diri, kata Aristoteles dalam Ética a Nicómaco, pada saat bersamaan tersapa untuk menjadi epeidè fúsei politikón o ánthropos. Ia terpanggil untuk membarui realitas sosialnya yang tidak becus. Di sinilah perpaduan harmonis antara pembaruan diri dan transformasi sosial akan melahirkan sebuah keindahan (pulchrum), yang juga merupakan impian semua orang. Kesejahteraan bersama, kebaikan umum, kebenaran tanpa kondisi, dan kesatuan yang kian kokoh diharapkan lahir dari penerapan hukum yang utuh. Hanya dengan demikian akan tercipta rasa keadilan sebagai basis melanjutkan tugas reformasi yang belum tuntas.

Harapan seperti inilah yang ingin dicapai bangsa ini.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid Spanyol

Minggu, 07 Oktober 2007

Menyikapi Tantangan Perubahan Iklim

Cameron R Hume

Pada 27-28 September di Washington DC, Amerika Serikat, digelar Pertemuan Pertama Negara-negara Ekonomi Utama tentang Keamanan Energi dan Perubahan Iklim. Prakarsa ini didasarkan pemikiran fundamental, perubahan iklim adalah tantangan generasi kita yang memerlukan tanggapan global.

Pertemuan ini melibatkan 17 negara ekonomi utama, negara maju, negara berkembang, dan PBB. Peserta mewakili 85 persen ekonomi global dan 80 persen emiten karbon dioksida global.

Prakarsa ini didukung pemimpin G-8 pada Juni, 21 pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, Australia awal bulan ini. Pertemuan Negara-negara Ekonomi Utama di Washington akhir pekan lalu menindaklanjuti prakarsa itu.

Pertemuan Negara-negara Ekonomi Utama akan mendukung pembicaraan iklim yang dilaksanakan PBB dengan mempertemukan negara-negara ekonomi utama untuk menghasilkan konsensus tentang unsur-unsur penting dari kerangka kerja perubahan iklim. Kesepakatan di antara negara-negara ekonomi utama akan bermanfaat bagi semua negara dan memberi sumbangan kepada kesepakatan global yang baru di bawah Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 2009.

Partisipasi Indonesia dalam Pertemuan Negara-negara Ekonomi Utama disambut baik, juga sebagai tuan rumah Konferensi Ke-13 Negara Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (COP Ke-13 UNFCCC) di Bali Desember mendatang.

Pertemuan Negara-negara Ekonomi Utama dinilai memberi kontribusi dalam COP Ke-13. Kami memuji upaya Indonesia untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam perubahan iklim, dengan merangkul negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis untuk membahas isu-isu penggunaan lahan dan kehutanan, serta menekankan konservasi terumbu karang melalui Coral Triangle Initiative.

Ada kesepakatan internasional bahwa menangani perubahan iklim memerlukan perpaduan kegiatan melindungi lingkungan, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan menjamin keamanan energi. Juga ada kesepahaman antarbangsa bahwa perubahan iklim merupakan tantangan jangka panjang yang kompleks. Bangsa-bangsa di seluruh dunia telah menjalin kemitraan untuk menemukan solusi teknologis yang menjadi kunci untuk mengurangi gas rumah kaca di atmosfer kita.

Kerangka kerja 2013

Sasaran pertemuan pertama, sebelum akhir 2008, meluncurkan proses di mana negara-negara ekonomi utama dunia akan menyetujui unsur-unsur kunci kerangka kerja pasca-2012, mencakup sasaran global jangka panjang dan sasaran menengah yang bersifat nasional.

Untuk memberi tekanan khusus tentang bagaimana negara ekonomi utama, yang bekerja sama dengan sektor swasta, bisa mempercepat pengembangan dan penggunaan teknologi bersih—komponen penting pendekatan global—untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Akan disusun program kerja untuk sektor-sektor utama seperti pemanfaatan batu bara dan transportasi secara lebih maju, disepakati pentingnya pelaporan emisi, dan menyelaraskan cara mengukur besarnya pengurangan di tingkat korporat.

Pertemuan juga membahas kegiatan tiap negara, terkait keamanan energi dan perubahan iklim, mencari peluang dan prioritas bagi kemajuan setelah 2012, mengidentifikasi kebutuhan riset, pengembangan teknologi energi bersih, dan menentukan bidang-bidang kerja sama.

Sektor swasta dan LSM akan mengikuti pertemuan ini. Diharapkan akan diketahui tantangan yang sedang dihadapi, teknologi yang tersedia, teknologi yang sedang berkembang, dan bagaimana menghadapi pendanaan.

Sebuah kerangka kerja pasca-2012 harus mampu merangkul semua negara dan mengakui beragamnya solusi dan pendekatan yang dilakukan semua bangsa berdasar kebutuhan dan sumber daya mereka dalam mengatasi perubahan iklim. Ketimbang pendekatan "satu ukuran untuk semua", kami menganjurkan fleksibilitas, inovasi, dan kerja kelompok pada skala global.

Jika negara-negara ekonomi utama dapat mencapai kesepakatan untuk melangkah ke depan, kesepakatan itu dapat mempercepat prospek perjanjian lebih luas melalui PBB dan dukungan global yang dibutuhkan—dari negara maju dan berkembang—untuk melindungi dan mengelola keseimbangan planet Bumi yang rapuh bagi generasi masa kini dan masa datang.

Cameron R Hume Duta Besar AS untuk Indonesia

Selasa, 18 September 2007

Seputar G30S 1965



G30S (1)

Oleh Harsutejo

Pada dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965 sekelompok militer yang kemudian menamakan diri sebagai Gerakan 30 September melakukan penculikan 7 orang jenderal AD. Jenderal Nasution dapat meloloskan diri, sedang yang ditangkap ialah pengawalnya. Lolosnya jenderal ini telah dibayar dengan nyawa putrinya yang kemudian tewas diterjang peluru. Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan kemudian dibunuh itu terdiri dari: Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Haryono MT (Deputi III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD).

Pada pagi-pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Kolonel Yoga Sugomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen serta merta menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI, ketika pengumuman RRI Jakarta pada jam 07.00 menyampaikan tentang Gerakan 30 September di bawah Letkol Untung. Maka Yoga pun memerintahkan, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak”. Jangan-jangan Kolonel Yoga, Kostrad, dan - siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto – telah mengantongi skenario jalannya drama tragedi yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya. Tentu saja pertanyaan ini amat mengggoda karena dokumen-dokumen rahasia CIA pun mengungkapkan berbagai skenario semacam itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai babak penutup.

Menurut tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin Gerakan 30 September, para jenderal tersebut menjadi anggota apa yang disebut Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang sah pada 5 Oktober 1965. Karena itu Letkol Untung sebagai insan revolusi sesuai dengan ajaran resmi yang didengungkan ketika itu, mengambil tindakan dengan menangkap mereka guna dihadapkan kepada Presiden. Dalam kenyataannya mereka dibunuh ketika diculik atau di Lubang Buaya, Jakarta.

Tentang pembunuhan yang tidak patut ini terjadi sejumlah kontroversi. Menurut pengakuan Letkol Untung hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini telah timbul berbagai macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan intelijen berbagai pihak, pihak intelijen militer Indonesia, Syam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus (BC) PKI, intelijen asing, utamanya CIA, dalam arena perang dingin yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok Uni Soviet dengan Blok RRT yang anti AS maupun Uni Soviet. Menurut pengakuan Syam, pembunuhan itu atas perintah Aidit, Ketua PKI. Pembunuhan demikian sangat tidak menguntungkan pihak PKI yang dituduh sebagai dalang G30S, akan dengan mudahnya menyulut emosi korps AD melawan PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto, maka pengakuan Syam yang berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan segala macam sampah yang dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke keranjang sampah bernama DN Aidit.

Banyak pihak menafsirkan bahwa Syam ini merupakan agen intelijen kepala dua (double agent), atau bahkan tiga atau lebih. Hal ini di antaranya ditengarai dari pengakuannya yang terus-menerus merugikan PKI dan Aidit. Ini berarti dia yang posisinya sebagai Ketua BC CC PKI, pada saat itu menjadi agen yang sedang mengabdi pada musuh PKI. Dari riwayat Syam ada bayang-bayang buram misterius yang rupanya berujung pada pihak AD, khususnya Jenderal Suharto. Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S yang seharusnya dikorek keterangannya di depan pengadilan segera dibungkam karena keterangan dirinya tidak akan menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah Jenderal Suharto sebagaimana yang telah dimainkan oleh Syam atas nama Ketua PKI Aidit.

Keterangan Syam mengenai perintah Aidit tentang pembunuhan para jenderal tidak dapat diuji kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di Mahmillub menyebutnya perintah itu dari Syam, tetapi siapa yang memerintahkan dirinya? Pertanyaan ini mau-tidak-mau perlu dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu? Bung Karno tidak, Nasution tidak, Aidit pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan: Jenderal Suharto! Jika Jenderal Yani tidak ada maka menurut tradisi AD Suharto-lah yang menggantikannya. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa ketika Presiden Sukarno menunjuk Jenderal Pranoto sebagai pengganti sementara pada 1 Oktober 1965, maka Jenderal Suharto menentang keras. Jelas dia berambisi menjadi satu-satunya pengganti yang akan memanjat lebih jauh ke atas, padahal ketika itu nasib Jenderal Yani cs belum diketahui jelas.

Perlu ditambahkan bahwa rencana pengambilan [penculikan] para jenderal telah diketahui beberapa hari sebelumnya serta beberapa jam sebelum kejadian berdasarkan laporan Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi salah seorang penting dalam G30S. Jenderal Suharto sebagai Panglima Kostrad tidak mengambil langkah apa pun, justru hanya menunggu. Kenyataan ini membuat kecewa dan dipertanyakan salah seorang bekas tangan kanan Suharto yang telah berjasa mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, Letjen (Purn) Kemal Idris. Masih dapat ditambahkan lagi bahwa keenam jenderal yang dibunuh tersebut memiliki riwayat permusuhan internal dengan Suharto karena Suharto melakukan korupsi sebagai Pangdam Diponegoro.

Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan Jatim yang didatangkan ke Jakarta dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang kemudian mendukung pasukan G30S, semua itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto yang diinspeksinya pada 30 September 1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan tersebut beserta jejaring intelijennya, di samping adanya tali-temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki, jika dilakukan hal itu dapat membuka kedok Suharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD ketika itu. Mungkin saja jejaring Suharto yang telah melumpuhkan logistik kedua batalion tersebut, hingga Yon 530 dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan Letkol Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah sejumlah indikasi kuat keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu yang dia hadapkan dengan mengorbankan 6 jenderal.

Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit? PKI dan Bung Karno pasti tidak, lawan-lawan politik PKI jelas senang (meski ada juga yang kemudian menyesalkan, kenapa tidak dikorek keterangannya di depan pengadilan), di puncaknya ialah Jenderal Suharto yang memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi kesempatan bicara di pengadilan, maka dia akan mempunyai kesempatan membeberkan peran dirinya dalam G30S yang sebenarnya, bukan sekedar menelan keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan kepentingan Suharto cs. Jika ini berlaku maka skenario yang telah tersusun akan kacau.

Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Suharto tentang penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai “pelacur bejat moral”. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama.

Setelah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain berjalan tanpa henti, ketika emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai puncaknya dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan manusia anti-agama dan anti-Tuhan, kafir dst yang darahnya halal, maka situasi telah matang dan tiba waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan massal. Dan itulah yang terjadi di Jawa Tengah setelah kedatangan pasukan RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sesudah minggu ketiga Oktober 1965, selanjutnya di Jawa Timur pada minggu berikutnya dan Bali pada Desember 1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal pengakuan Jenderal Sarwo Edhie yang membanggakan telah membasmi 3 juta jiwa manusia.

Dalam khasanah sejarah G30S ada gambaran yang disesatkan bahwa situasinya seolah waktu itu “dibunuh atau membunuh” seperti dalam perang saudara. Ini sama sekali tidak benar, tidak ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai dengan kepentingan rezim militer Suharto guna melegitimasi kekejaman mereka. Situasi telah dimatangkan oleh propaganda hitam pihak militer di bawah Jenderal Suharto beserta segala peralatannya yang menyinggung nilai-nilai moral dan agama tentang perempuan sundal Gerwani sebagai yang digambarkan dalam dongeng horor Lubang Buaya. Emosi ketersinggungan kaum agama beserta nilai-nilai moralnya ditingkatkan sampai ke puncaknya untuk menyulut dan memuluskan pembantaian anggota PKI dan kaum kiri lainnya yang disebut sebagai kaum kafir yang dilakukan pihak militer dengan memperalat sebagian rakyat yang telah terbakar emosinya.

Setelah seluruh organisasi kiri, utamanya PKI dihancurlumatkan, sisa-sisa anggotanya dipenjara, maka datang waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden Sukarno yang kini dalam keadaan terpencil diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka oleh pasukan AD di bawah pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang memimpin rapat kabinet yang tidak dihadiri Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966 yang ujungnya telah kita ketahui bersama berupa Supersemar. Kudeta merangkak ini dilanjutkan dengan pengukuhan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden (sesuatu yang menyimpang dari UUD 1945, tak satu pun pakar yang berani buka mulut ketika itu), selanjutnya sebagai Presiden RI. Maka berlanjutlah pemerintahan diktator militer selama lebih dari tiga dekade yang menjungkirbalikkan segalanya, sampai akhirnya Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia dengan utang sampai ke ubun-ubun.

G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dirancang untuk gagal, artinya ada rancangan lain yang tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap di balik layar dengan dalang-dalang yang penuh perhitungan untuk melaksanakan adegan yang satu dengan yang lain. Maka tidak aneh jika mantan pejabat CIA Ralph McGehee berdasar dokumen rahasia CIA menyatakan sukses operasi CIA di Indonesia sebagai contoh soal, “supaya metode yang dipakai CIA dalam kudeta di Indonesia yang dianggap sebagai penuh kepiawaian sehingga ia digunakan sebagai suatu tipe rancangan atau denah operasi-operasi terselubung di masa yang akan datang”. Itulah kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto sejak pembunuhan para jenderal, pengusiran BK dari Halim, pembunuhan massal, pengepunngan Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, akhirnya dijatuhkannya Presiden Sukarno. Keberhasilan operasi AS di Indonesia disebut Presiden Nixon sebagai hadiah paling besar di wilayah Asia Tenggara

Untuk melegitimasi segala tindakann dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer Orba menamakan gerakan Letkol Untung tersebut dengan G30S/PKI, pendeknya nama keduanya saling dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain. Di sepanjang kekuasannya rezim ini terus-menerus tiada henti mengindoktrinasi dan menjejali otak kita semua, kaum muda dan anak-anak sekolah dengan kampanye ini. Ketika studi sejarah di Indonesia tak lagi bisa dikekang, maka banyak pakar menolak kesahihan penyebutan tersebut. Studi netral hanya menyebut Gerakan 30 September sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman gerakan di RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965, atau disingkat untuk keperluan praktis sebagai G30S. Masih ada arus balik riak yang membakari buku dalam tahun ini karena berbeda dengan kepentingan rezim atau pejabat rezim sebagai bagian dari vandalisme masa lampau.

Gestapu, Gestok (2)

Gerakan 30 September merupakan nama “resmi” gerakan sesuai dengan apa yang telah diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965. Nama ini untuk keperluan praktis media massa kemudian ditulis dengan G-30-S atau G30S. Sedang Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) suatu nama yang dipaksakan agar berkonotasi dengan Gestapo-nya Hitler yang tersohor keganasannya itu. Rupanya sang konseptor, Brigjen Sugandhi, pimpinan koran Angkatan Bersenjata, telah banyak belajar dari sejarah dan jargon nazi Jerman. Jelas nama ini merupakan pemaksaan dengan memperkosa kaidah bahasa Indonesia (dengan hukum DM), kepentingan politik menghalalkan segala cara. Nama Gestapu digalakkan secara luas melalui media massa, sedang dalam buku tulisan Nugroho Notosusanto maupun Buku Putih digunakan istilah G30S/PKI. Barangkali ini merupakan standar ganda yang dengan sengaja dilakukan; yang pertama untuk menggalakkan konotasi jahat Gestapo dengan Gestapu/PKI, sementara buku yang ditulis oleh pakar sejarah itu bernuansa “lebih ilmiah” bahwa G30S ya PKI.

Sementara itu sejumlah pakar asing dalam karya-karyanya menggunakan istilah Gestapu ciptaan Orde Baru ini. Mungkin ada di antara mereka sekedar mengutip istilah yang digunakan begitu luas dan gencar oleh media massa Orba secara membebek tidak kritis. Dengan demikian dari istilah yang digunakan saja tulisan itu sudah memulai sesuatu dengan berpihak secara politik kepada rezim Orba yang berkuasa. Di antara pakar ini, Prof Dr Victor M Fic, seorang sejarawan Kanada, telah menulis buku yang “menghebohkan” itu karena secara murahan menuduh Bung Karno sebagai dalang G30S. Di seluruh bukunya ia menggunakan istilah Gestapu, ketika dia menggunakan istilah netral ‘Gerakan 30 September’ selalu diikuti dalam kurung (GESTAPU).

Sementara orang mengartikan penamaan Gestok (Gerakan 1 Oktober) hanya untuk gerakan yang dilakukan oleh Mayjen Suharto pada tanggal tersebut daripada gerakan Letkol Untung. Tetapi mungkin saja bahwa yang dimaksud Bung Karno adalah gerakan yang dilakukan Letkol Untung menculik sejumlah jenderal dan kemudian membunuhnya (terlepas dari adanya komplotan lain dalam gerakan yang melakukan pembunuhan itu). Penamaan itu juga terhadap gerakan Mayjen Suharto yang dilakukan menghadapi gerakan Untung serta mencegah kepergian Jendral Pranoto dan Umar Wirahadikusuma menghadap Presiden ke PAU Halim, sekaligus mengambilalih wewenang Men/Pangad Jenderal Yani yang sudah dipegang oleh Presiden Sukarno serta membangkang terhadap perintah-perintah Presiden untuk tidak melakukan gerakan militer.

Tentu saja penamaan Gestok tidak disukai oleh rezim Orba. Dalam pidatonya pada 21 Oktober 1965 di depan KAMI di Istora Senayan, Presiden Sukarno menyebutkan, “..Orang yang tersangkut pada Gestok harus diadili, harus dihukum, kalau perlu ditembak mati... Tetapi marilah kita adili pula terhadap pada golongan yang telah mengalami peruncingan seperti Gestok itu tadi”. Mungkin sekali ini maksudnya setelah pelaku peristiwa 1 Oktober (Untung cs) yang hanya berumur sehari itu diadili, maka juga terhadap pelaku yang membuat runcing persoalan sesudah itu, siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto cs. Dalam pidato Pelengkap Nawaksara di Istana Merdeka pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno dengan jelas menyebut pembunuhan para jenderal itu dengan Gestok lalu dilanjutkan dengan bertemunya tiga sebab (a) keblingernya pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi Nekolim, (c) adanya oknum “yang tidak benar”.

Dalam dokumen yang disebut “Dokumen Slipi” yang berisi hasil pemeriksaan Bung Karno sebagai saksi ahli dalam perkara Subandrio dan merupakan kesaksian terakhir BK (1968), “...1 Oktober 1965 bagi saya adalah malapetaka, karena gerakan yang melawan G30S pada 1 Oktober 1965 itu telah melakukan pembangkangan terhadap diri saya, sejak saat itu gerakan yang melawan G30S tidak tunduk pada perintah saya, maka saya berpendapat G30S lawannya Gestok...”. Jika dokumen ini memang benar adanya, hal itu sesuai dengan seluruh perkembangan kejadian serta analisis BK tentang G30S tersebut di atas. Brigjen Suparjo segera menghentikan gerakan G30S sementara Mayjen Suharto meneruskan Gestok-nya. Tetapi sejarah juga menunjukkan bahwa Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa pun terhadap jenderal yang satu ini, justru melegitimasi dengan mengukuhkan kedudukannya.

Sebenarnyalah peristiwa G30S di Jakarta hanya berlangsung selama satu hari, sementara di Jawa Tengah yang tertinggal itu berlangsung beberapa hari (sesuatu yang aneh dan perlu dikaji lebih lanjut). Gerakan selanjutnya, yang disebut BK Gestok, dilakukan oleh Mayjen Suharto dengan menentang dan menantang perintah Presiden dengan menindas PKI dan gerakan kiri lainnya, membantai rakyat dan pendukung BK, ujungnya menjatuhkan Presiden Sukarno. Inilah tragedi sebenarnya dengan pembukaan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama oleh pihak militer sendiri.

Lubang Buaya (3)

Pada 1 Oktober 1965 telah terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama AD yang kemudian dimasukkan ke sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede oleh pasukan militer G30S. Pasukan ini berada di bawah pimpinan Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden.

Pada 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, Mayjen Suharto, Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang disiarkan luas yang menyatakan bahwa para jenderal telah dianiaya sangat kejam dan biadab sebelum ditembak. Dikatakan olehnya bahwa hal itu terbukti dari bilur-bilur luka di seluruh tubuh para korban. Di samping itu Suharto juga menuduh, Lubang Buaya berada di kawasan PAU Halim Perdanakusuma, tempat latihan sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani. Perlu disebutkan bahwa Lubang Buaya terletak di wilayah milik Kodam Jaya. Di samping itu disiarkan secara luas foto-foto dan film jenazah yang telah rusak yang begitu mudah menimbulkan kepercayaan tentang penganiayaan biadab itu. Hal itu diliput oleh media massa yang telah dikuasai AD, yakni RRI dan TVRI serta koran milik AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Sementara seluruh media massa lain dilarang terbit sejak 2 Oktober.

Jadi sudah pada 4 Oktober itu Suharto menuduh AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani bersangkutan dengan kejadian di Lubang Buaya. Selanjutnya telah dipersiapkan skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI secara besar-besaran dan serentak. Dilukiskan terdapat kerjasama erat dan serasi antara Pemuda Rakyat dan Gerwani serta anggota ormas PKI lainnya dalam melakukan penyiksaan para jenderal dengan menyeret, menendang, memukul, mengepruk, meludahi, menghina, menusuk-nusuk dengan pisau, menoreh silet ke mukanya. Dan puncaknya kaum perempuan Gerwani itu dilukiskan sebagai telah kerasukan setan, menari-nari telanjang yang disebut tarian harum bunga, sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer, lalu mecungkil mata korban, menyilet kemaluan mereka, dan memasukkan potongan kemaluan itu ke mulutnya....

Maaf pembaca, itu semua bukan lukisan saya tapi hal itu bisa kita baca dalam koran-koran Orba milik AD yang kemudian dikutip oleh media massa lain yang boleh terbit lagi pada 6 Oktober dengan catatan harus membebek sang penguasa serta buku-buku Orba. Lukisan itu pun bisa kita dapati dalam buku Soegiarso Soerojo, pendiri koran AB, yang diterbitkan sudah pada 1988, .Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Anda juga dapat menikmatinya dalam buku Arswendo Atmowiloto yang direstui oleh pihak AD, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipuji sebagai transkrip novel yang bagus dari film skenario Arifin C Noer dengan judul yang sama yang wajib ditonton oleh rakyat dan anak sekolah khususnya selama bertahun-tahun. Dan jangan lupa, fitnah ini diabadikan dalam diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Meski monumen ini berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai dihancurkan, tambahkanlah satu plakat yang mudah dibaca khalayak: “Di sini berdiri monumen kebohongan perzinahan politik”, agar kita semua belajar bahwa pernah terjadi suatu rezim menghalalkan segala cara untuk menopang kekuasaannya dengan fitnah paling kotor dan keji pun. Penghormatan terhadap para jenderal yang dibunuh itu ditunggangi Suharto dengan fitnah demikian.

Fitnah hitam dongeng horor itu semua bertentangan dengan hasil visum et repertum tim dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965, bahwa tidak ada tanda-tanda penyiksaan biadab, mata dan kemaluan korban dalam keadaan utuh. Laporan resmi tim dokter itu sama sekali diabaikan dan tak pernah diumumkan. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan selama bertahun-tahun tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan bahwa kebohongan yang terus-menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai kebenaran. Bahkan sampai dewasa ini pun, ketika informasi sudah dapat diperloleh secara bebas terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta informasi.

Apa tujuan kampanye hitam fitnah itu? Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan situasi, membangkitkan emosi rakyat umumnya dan kaum agama khususnya menuju ke pembantaian massal para anggota PKI dan yang dituduh PKI sesuai dengan doktrin membasmi sampai ke akar-akarnya. Dengan gencarnya kampanye hitam itu, maka telah berkembang biak dengan berbagai peristiwa di daerah dengan kreatifitas dan imajinasi para penguasa setempat. Selama kurun waktu 1965-1966 jika di pekarangan rumah seseorang ada lubang, misalnya untuk dipersiapkan menanam sesuatu atau sumur tua tak terpakai, apalagi jika si pemilik dicurigai sebagai orang PKI, maka serta-merta ia dapat ditangkap, ditahan dan bahkan dibunuh dengan tuduhan telah mempersiapkan “lubang buaya” untuk mengubur jenderal, ulama atau dan tokoh-tokoh lawan politik PKI setempat. Dongeng tersebut masih dihidup-hidupkan sampai saat ini.

Segala macam dongeng fitnah busuk berupa temuan “lubang buaya” yang dipersiapkan PKI dan konco-konconya untuk mengubur lawan-lawan politiknya ini bertaburan di banyak berita koran 1965-1966 dan terekam juga dalam sejumlah buku termasuk buku yang ditulis Jenderal Nasution, yang dianggap sebagai peristiwa dan fakta sejarah, bahkan selalu dilengkapi dengan apa yang disebut “daftar maut” meskipun keduanya tak pernah dibuktikan sebagai kejadian sejarah maupun bukti di pengadilan.

Seorang petani bernama Slamet, anggota BTI yang tinggal di pelosok dusun di Jawa Tengah yang jauh dari jangkauan warta berita suatu kali mempersiapkan enam lubang untuk menanam pisang di pekarangannya. Suatu siang datang sejumlah polisi dan tentara dengan serombongan pemuda yang menggelandang dirinya ketika ia sedang menggali lubang keenam. Tuduhannya ia tertangkap basah sedang mempersiapkan lubang untuk mengubur Pak Lurah dan para pejabat setempat. Dalam interogasi terjadi percakapan seperti di bawah.

“Kamu sedang mempersiapkan lubang buaya untuk mengubur musuh-musuhmu!”
Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak?” [saya sedang hendak menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak?]
Lubang boyo iku yo lubange boyo sing ana boyone PKI!” [lubang buaya itu lubang yang ada buaya milik PKI]. Baik pesakitan yang bernama Slamet maupun polisi yang memeriksanya tidak tahu apa sebenarnya lubang buaya itu, mereka tidak tahu bahwa Lubang Buaya itu nama sebuah desa di Pondokgede, Jakarta. Dikiranya di situ lubang yang benar-benar ada buayanya milik PKI. Ini bukan anekdot tetapi kenyataan pahit, si Slamet akhirnya tidak selamat alias dibunuh karena adanya “bukti telak” terhadap tuduhan tak terbantahkan. Demikian rekaman yang saya sunting dari wawancara HD Haryo Sasongko dalam salah satu bukunya.

Catatan: Dari berbagai sumber, petikan naskah yang belum terbit.