Senin, 17 Desember 2007

Lawan Kekerasan dengan Hidup Adil


Komnas HAM Nilai Infrastruktur Hukum Masih Kurang


Jakarta, Kompas - Budaya hidup adil dan damai adalah tandingan dari budaya kekerasan yang merebak dewasa ini. Budaya adil dan damai tak saja menjamin terciptanya upaya penyelesaian konflik tanpa kekerasan, tetapi juga memberi andil dalam memperkokoh demokrasi.

Demikian dikatakan Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace Integrity of Creation/JPIC) Keuskupan Agung Ende (KAE), Ronny Neto Wuli Pr pada road show perdamaian di kawasan Tugu Pancasila, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (10/12).

"Budaya hidup adil dan damai tanpa kekerasan adalah suatu tindakan mendesak untuk melawan budaya kekerasan yang merebak dewasa ini. Budaya adil mutlak perlu dilaksanakan pribadi, lembaga yang cinta damai, bahkan seluruh manusia," kata Wuli.

JPIC KAE dan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (GATK) Kevikepan Ende, Senin, menggelar road show perdamaian memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, yang diperingati tiap 10 Desember. Kegiatan itu pertama kali digelar di Ende.

Pendeta OR Taruli Waja dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Ende pun menambahkan, "Dalam kehidupan ini tak boleh ada pihak yang berperan sebagai allah kecil terhadap sesama yang seolah mempunyai kekuasaan tak terbatas. Sebaliknya, juga tak boleh ada pihak yang diperlakukan seperti allah kecil."

Pimpinan Cabang Muhammadiyah Ende, Agil Parera Ambuwaru, menilai, di Ende terjadi pelanggaran HAM, antara lain dilakukan oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenang.

Komitmen pemerintah

Peringatan Hari HAM Sedunia juga dilakukan di Palembang (Sumatera Selatan), Jakarta, dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, sekitar 200 orang yang tergabung Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dan HAM berunjuk rasa menuntut komitmen pemerintah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi setiap warga. Mereka menilai pelanggaran HAM masih sering terjadi dan belum mendapat perhatian serius.

Tuntutan serupa dilakukan sekitar 1.000 orang yang tergabung dalam Komite Rakyat Bangkit Melawan di depan lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Senin.

Dalam diskusi nasional HAM, anggota Komisi Nasional HAM, Kabul Supriyadi, Senin, mengingatkan, berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu sulit diungkap akibat tidak lengkapnya perangkat hukum yang ada. Besarnya pengaruh politik juga membuat semakin rendahnya keinginan elite mengusut kasus-kasus tersebut hingga tuntas.

Pengadilan HAM Ad Hoc, katanya, kini menjadi satu-satunya alat untuk mengungkapkan hingga tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Karena, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi.(sem/wad/wer/rwn/jos/a09/nwo)

Tidak ada komentar: