Sabtu, 22 Desember 2007

Kembalikan Kepastian Hukum


Secepatnya KPU Sulsel Ajukan PK

Jakarta, Kompas - Perintah pengulangan Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan di empat kabupaten oleh Mahkamah Agung merisaukan. Aturan pilkada mulai diintervensi oleh lembaga yang menggunakan wewenangnya di luar batas kewenangan yang diberikan undang-undang.

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto di Jakarta, Jumat (21/12), mengatakan, ratusan pilkada kabupaten, kota, dan provinsi yang diselenggarakan sejak Juni 2005 hingga pertengahan 2007 tidak menimbulkan masalah berarti. Konflik dan sengketa yang menyertai pilkada mampu diselesaikan dengan baik. Itu berarti, konflik bukan disebabkan oleh aturan pelaksanaan pilkada yang kurang lengkap.

Kasus Pilkada Sulsel telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena para penyelenggara pilkada mulai khawatir akan intervensi MA. "Aturan penyelenggaraan pilkada dan penyelesaian sengketa pilkada justru dilanggar oleh lembaga yang berwenang," kata Didik.

Karena itu, ia mendesak agar pelaksanaan pilkada dikembalikan pada aturan hukum yang ada. Itu berarti, MA harus berani membatalkan keputusannya.

MA persilakan PK

MA mempersilakan KPU Sulsel untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MA yang memerintahkan pelaksanaan pilkada ulang di empat kabupaten di Provinsi Sulsel. Meskipun secara yuridis PK tidak diperbolehkan, sudah ada yurisprudensi yang mengabulkan permohonan PK sengketa pilkada.

Hal itu diungkapkan juru bicara MA, Djoko Sarwoko. "Kalau berpegang pada Pasal 106 UU Pemda, memang putusan MA sudah final dan mengikat. Tapi, kan, ada yurisprudensi, berulang kali MA menerima permohonan PK. Tetapi yang dikabulkan memang baru satu, yaitu PK terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat soal Pilkada Depok," ujar Djoko, yang juga anggota majelis hakim Pilkada Sulsel.

Menurut Djoko, MA memang meminta KPUD mengulang semua tahapan pilkada, mulai dari proses awal seperti pendataan pemilih, kampanye, hingga pemungutan suara. Sidang dapat membuktikan adanya kecurangan dalam pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada tersebut.

Djoko juga menjelaskan mengapa MA memerintahkan pelaksanaan pilkada ulang di empat kabupaten, padahal permohonan yang diajukan hanya tiga kabupaten. Menurut dia, selama proses persidangan berjalan, tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan-perubahan.

Kotak pandora

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, mengatakan, setelah pilkada ulang dilaksanakan, tidak ada jaminan bahwa hasilnya tidak dipersoalkan oleh pihak yang kecewa. Pihak yang kecewa dipastikan akan mengajukan sengketa pilkada yang sama.

Putusan itu, jelas Denny, membuka kotak pandora yang memungkinkan nantinya semua pihak yang kecewa dengan hasil pilkada akan mengajukan permohonan pelaksanaan pilkada ulang.

Pakar hukum dari Universitas Andalas, Saldi Isra, di Padang juga menyebutkan, KPU Provinsi Sulsel harus segera mengajukan PK atas putusan MA. Hal itu merupakan langkah terbaik sebagai "perlawanan" terhadap putusan MA yang dinilainya aneh.

Semakin cepat upaya PK diajukan, diharapkan putusannya pun akan cepat keluar untuk memberikan kepastian. Bagi Saldi, dengan putusan yang melampaui kewenangan, sah-sah saja jika ada yang menilai putusan MA dilatarbelakangi intervensi politik. Hal itu merisaukan karena relasi politik yang kuat di pengadilan memungkinkan calon kepala daerah terpilih bukan berdasarkan kepercayaan rakyat. "Harus dicegah orang menjadi kepala daerah melalui tangan pengadilan," ujar Saldi.

Secara terpisah, Elza Syarief yang merupakan pengacara pasangan Amin Syam-Mansyur Ramly menilai putusan MA dalam perkara Pilkada Sulsel tidak melebihi wewenang karena sesuai dengan tuntutan pemohon. "Dalam gugatan subsider, kami meminta pilkada ulang untuk enam daerah tingkat dua, yaitu Bone, Gowa, Tana Toraja, Bantaeng, Makassar, dan Takalar. Yang dikabulkan hanya empat daerah, berarti tidak ada yang melebihi wewenang," kata Elza.

Departemen Dalam Negeri menyatakan tidak campur tangan dalam proses hukum Pilkada Sulsel. Namun, apabila sampai tanggal 20 Januari 2008, ketika masa jabatan Gubernur Sulsel Amin Syam dan Wakil Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo habis, Depdagri akan menunjuk penjabat Gubernur Sulsel.

Menurut juru bicara Depdagri, Saut Situmorang, Depdagri berkepentingan agar penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terhenti, pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan, dan stabilitas daerah juga tetap terjaga.

Reaksi massa

Serangkaian aksi unjuk rasa menolak putusan MA mewarnai Kota Makassar, Jumat. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya gangguan stabilitas, Kepolisian Wilayah Kota Besar Makassar menetapkan status siaga satu.

Unjuk rasa yang diikuti ratusan orang itu bukan saja mendatangi Kantor KPU Sulsel, tetapi juga rumah pribadi Ketua Umum DPP Partai Golkar Muhammad Jusuf Kalla di Jalan Haji Bau. Massa menyatakan menolak putusan MA yang dinilai sarat muatan politis.

"Kami minta seluruh masyarakat di Kabupaten Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja menolak pilkada ulang karena selain melanggar ketentuan, juga dapat memecah belah persatuan rakyat di Sulsel," ujar Adri Lairing, salah satu pemimpin aksi.

Ketua KPU Mappinawang di hadapan massa di Kantor KPU Sulsel menegaskan, ketetapan KPU tentang kemenangan pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang tetap sah. "Majelis hakim tidak membatalkan ketetapan itu karena gugatan primer untuk membatalkan hasil penetapan KPU tidak dikabulkan. Artinya, ketetapan KPU tetap berlaku," kata Mappinawang.

Syahrul, gubernur terpilih sesuai ketetapan KPU Sulsel, mengecam putusan MA yang dinilainya cacat hukum. "Pihak kami yang sangat dirugikan. Banyak yang aneh dan janggal dalam putusan MA ini yang tidak sesuai undang-undang," katanya. (MZW/DIK/ANA/SIE/ REN/NAR/NWO)

Tidak ada komentar: