Senin, 31 Desember 2007

Catatan Hukum


KRHN dan TPDI: Suram, Reformasi Hukum 2007

Jakarta, Kompas - Reformasi hukum tahun 2007 mengalami masa suram. Agenda reformasi hukum banyak "terpenjara" oleh kepentingan-kepentingan politis.

Catatan reflektif terhadap sejumlah kasus atau peristiwa yang terjadi pada tahun 2007 itu disampaikan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). "Yang berjalan bukan rule of law, tetapi rule by policians," ucap Firmansyah Arifin, Ketua Badan Pengurus KRHN, Minggu (30/12).

Periode terburuk

Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menilai pelaksanaan hukum tahun 2007 termasuk dalam kategori paling buruk di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Salah satu indikatornya adalah sangat minimnya respons seluruh institusi penegak hukum pada laporan masyarakat terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Sejumlah kasus memang mendapat respons, tetapi pola tebang pilih kasus atau pilah-pilah orang oleh penegak hukum pun masih juga terjadi.

"Kasus korupsi dana siluman Departemen Kelautan dan Perikanan dalam kampanye pilpres hanya Rokhmin Dahuri dan bawahannya saja yang dijadikan tersangka kemudian dipenjara. Padahal, sejumlah bukti yang terungkap dalam persidangan maupun yang mengaku di luar persidangan, seperti Amien Rais, Wiranto-Solahuddin, tim sukses SBY-JK, Mega Center, baik KPK maupun kejaksaan dan Polri, tidak punya nyali bahkan jadi mandul," demikian tertulis dalam siaran pers yang ditandatangani Petrus Selestinus, Robert B Keytimu, Martin Erwan, Didi Supriyanto, Terkelin Brahmana, Sigit Binaji, dan Haris Hutabarat yang diterima Redaksi Kompas, Minggu kemarin.

Pemerintahan SBY-JK juga diindikasikan mengabaikan penegakan hukum di bidang HAM. Indikasinya antara lain pembatalan secara keseluruhan UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi tanpa ada upaya lagi untuk menyusun kembali UU tersebut. Indikasi lainnya adalah pemerintah juga mengabaikan hak asasi di bidang sosial dan ekonomi para korban semburan Lumpur Lapindo serta lambannya pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang seharusnya sudah terbentuk enam bulan lalu.

Tidak jelas

Dalam bidang legislasi, KRHN mencatat, sedikitnya ada 13 rancangan undang-undang bidang hukum yang penting segera dibahas tetapi tidak jelas nasibnya atau tidak kunjung selesai. RUU itu antara lain tentang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Peradilan Militer, Keterbukaan Informasi Publik, RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pengadilan Tipikor, serta RUU KUHP dan KUHAP. (SUT)

Senin, 24 Desember 2007

Laporan Akhir Tahun 2007


Penegakan Hukum yang Masih Redup


Suwardiman


Menyimak berbagai drama penegakan hukum sepanjang tahun 2007, lagi-lagi publik dibuat kecewa. Proses hukum sering kali harus tunduk pada arus kepentingan elite penguasa dan tersamarkan dalam spekulasi politik serta kepentingan pemilik kapital.

Banyak kasus yang berlangsung dari tahun-tahun sebelumnya tak kunjung juga selesai tertangani tahun ini. Penyelesaian kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir, sepertinya buntu mengungkapkan aktor intelektual di baliknya. Hiruk-pikuk penanganan korupsi pun masih banyak mewarnai wacana penegakan hukum dengan berbagai spekulasi politik di belakangnya. Bahkan, penghujung tahun ini pun ditutup dengan kontroversi proses pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dituding sarat dengan kepentingan politik menjelang Pemilu 2009.

Selain itu, proses penyelesaian kasus luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, yang berlangsung lebih dari tiga tahun pun masih menjadi sorotan dalam wacana hukum tahun 2007. Hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 12-13 Desember menunjukkan kekecewaan mayoritas publik atas kinerja lembaga hukum di negeri ini.

Kosmetik

Semangat pemberantasan korupsi sering kali dituding hanya dijadikan sebagai kosmetik penegakan hukum. Upaya yang dilakukan lembaga penegak hukum tak dapat memuaskan harapan masyarakat ketika hukum harus dihadapkan pada kekuatan politik. Drama penyelesaian perkara korupsi kasus pengumpulan dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), misalnya, terhenti pada aktor di jajaran DKP.

Klimaks dari kasus itu terhenti melalui vonis terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri. Rokhmin dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Sejumlah aktor politik, seperti mantan calon presiden pada Pemilu 2004, sejumlah anggota DPR, serta sejumlah mantan menteri, yang terseret dalam skandal kasus ini bisa bebas dari penyidikan.

Mantan Ketua MPR Amien Rais mengakui menerima kucuran dana itu. Dia bahkan menyatakan siap menjadi tersangka dan dihukum. Saat itu Amien mengimbau calon presiden dari partai lain pada Pemilu 2004 agar jangan berkelit karena mereka juga menerima dana tersebut. Ini tentu saja menyulut kegelisahan elite, termasuk Presiden Yudhoyono yang langsung menolak tuduhan Amien itu.

Alih-alih penyidikan lebih lanjut, kasus ini justru menjadi perselisihan antarindividu yang terselesaikan dalam pertemuan 12 menit di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, akhir Mei lalu. Amien dan Yudhoyono pun sepakat untuk mengakhiri konflik politik dan meneruskan silaturahim.

Kasus lain adalah perkara korupsi alat sidik jari di Departemen Hukum dan HAM. Reaksi mantan Menhuk dan HAM Yusril Ihza Mahendra atas kasus yang menyeret namanya itu adalah dengan melakukan serangan balik terhadap KPK. Yusril berargumen, jika ia dinilai korupsi dalam skandal alat sidik jari, proyek pengadaan alat sadap oleh KPK pun dianggap korupsi.

Kasus ini pun tuntas di ruang lobi ketika Presiden Yudhoyono mempertemukan Yusril dengan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam rapat kabinet koordinasi terbatas. Penyelesaian hukum atas kasus itu berakhir dengan vonis dua tahun penjara terhadap mantan Sekjen Dephuk dan HAM Zulkarnain Yunus dan Pemimpin Proyek Apendi yang divonis tiga tahun.

Upaya penyelesaian dengan memanfaatkan ruang politik telah mencabut substansi permasalahan, yaitu penuntasan perkara korupsi. Perjuangan menegakkan hukum seolah pupus di tengah lobi politik antarelite yang bekerja demi pelanggengan kekuasaan. Kepentingan kekuasaan seolah-olah menjadi lebih utama ketimbang pembuktian hukum atas berbagai kasus itu.

Ini seolah menguatkan paradigma, politik cenderung memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elite dengan memonopoli alat kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan politik mereka. Tak heran jika kemudian terjadi penyelewengan prinsip hukum dalam proses mencapai dan mewujudkan kepentingan politik.

Masalah korupsi yang menggurita di negeri ini memang membuat frustrasi sebagian pihak. Nyaris sepuluh tahun setelah reformasi, upaya modernisasi dan pelengkapan lembaga hukum terbukti tidak mampu memberantas korupsi. Pencurian uang negara bukannya dapat ditebang habis, tetapi malah semakin parah.

Masih banyak lagi drama politik yang melingkupi upaya penyidikan kasus korupsi yang melibatkan elite yang memegang kekuasaan. Kasus itu tidak jelas akhir penyelesaiannya, di antaranya skandal aliran dana Bank Indonesia (BI) ke sejumlah anggota DPR dan kasus korupsi dana ASABRI yang diduga melibatkan sejumlah mantan perwira tinggi TNI.

Menyaksikan berbagai drama penyelesaian kasus korupsi menggiring apatisme masyarakat atas kinerja penegak hukum. Dalam jajak pendapat Kompas, tercatat 70,2 persen menyatakan tidak puas dengan upaya pemerintah dalam menangani kasus korupsi.

Empati semu

Pada 24 Juni 2007 Presiden Yudhoyono menangis saat mendengar paparan mengenai masalah yang dialami korban lumpur Lapindo. Saking terharunya, Presiden berjanji untuk turun gunung. Dua hari kemudian, janji ini ditepati dengan memindahkan ruang kerjanya ke Wisma Perwira Pangkalan Udara Angkatan Laut Juanda, Surabaya. Alasan Presiden saat itu adalah agar bisa meninjau langsung lokasi lumpur panas.

Pertunjukan empati Presiden kepada korban seolah tak bermakna apa-apa jika dihadapkan pada realitas keputusan hukum atas kasus ini berseberangan dengan harapan mereka yang telah tercerabut hak hidupnya.

Dalam kasus Lapindo, terbit Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. Dalam peraturan itu, korban Lapindo dipaksa menerima 20 persen pembayaran transaksi jual beli harta dan sisanya dibayarkan dua tahun kemudian tanpa bunga. Melalui peraturan ini juga ditegaskan, biaya penanggulangan dibebankan pada negara. Namun, dalam kasus ini negara dianggap gagal menegakkan supremasi hukum dengan tidak menyeret aktor korporat yang menjadi sumber bencana di Sidoarjo itu.

Sekali lagi masyarakat harus menghadapi empati semu dari elite politik tatkala interpelasi yang awalnya diusung 226 anggota dari sembilan fraksi di DPR gagal dalam rapat Badan Musyawarah DPR. Di akhir sidang tinggal fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) yang tetap bersikukuh mengajukan interpelasi.

Begitulah, publik masih belum bisa berharap banyak. Penegakan hukum sepanjang tahun ini tersamar di ruang gelap politik. (Litbang Kompas)

Sabtu, 22 Desember 2007

RUU Tipikor


Sinkronisasi Draf RUU tentang Korupsi Dinilai Positif


JAKARTA, KOMPAS - Rencana sinkronisasi dua draf Rancangan Undang-Undang atau RUU terkait korupsi, yakni RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor dan RUU Tindak Pidana Korupsi, dinilai sebagai langkah positif.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho berpendapat, sinkronisasi itu akan memperjelas penanganan kasus korupsi. "Selama ini kan tidak jelas pemerintah itu maunya apa. Apakah penanganan kasus korupsi akan dilakukan di Pengadilan Tipikor atau pengadilan umum. Kalau ada kesepakatan dari tim perumus dua RUU, itu berarti positif," katanya, Jumat (21/12) di Jakarta.

Selama ini isi draf RUU Pengadilan Tipikor dan RUU Tipikor dinilai tumpang tindih. Pasalnya, draf RUU Tipikor tidak mengatur penanganan kasus korupsi oleh Pengadilan Tipikor.

Firmansyah Arifin dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) juga menilai positif langkah sinkronisasi tersebut.

"Sinkronisasi itu penting sebelum draf RUU itu diajukan ke DPR," katanya.

Pengadilan tipikor

Terkait dengan keberadaan Pengadilan Tipikor di tingkat kabupaten/kota, seperti yang dirumuskan dalam RUU Pengadilan Tipikor, Emerson mengatakan, pengadilan tipikor memiliki arti penting dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Dengan demikian, tidak ada lagi pengadilan kasus korupsi di pengadilan umum," ungkapnya. (A09)

Kembalikan Kepastian Hukum


Secepatnya KPU Sulsel Ajukan PK

Jakarta, Kompas - Perintah pengulangan Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Selatan di empat kabupaten oleh Mahkamah Agung merisaukan. Aturan pilkada mulai diintervensi oleh lembaga yang menggunakan wewenangnya di luar batas kewenangan yang diberikan undang-undang.

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto di Jakarta, Jumat (21/12), mengatakan, ratusan pilkada kabupaten, kota, dan provinsi yang diselenggarakan sejak Juni 2005 hingga pertengahan 2007 tidak menimbulkan masalah berarti. Konflik dan sengketa yang menyertai pilkada mampu diselesaikan dengan baik. Itu berarti, konflik bukan disebabkan oleh aturan pelaksanaan pilkada yang kurang lengkap.

Kasus Pilkada Sulsel telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena para penyelenggara pilkada mulai khawatir akan intervensi MA. "Aturan penyelenggaraan pilkada dan penyelesaian sengketa pilkada justru dilanggar oleh lembaga yang berwenang," kata Didik.

Karena itu, ia mendesak agar pelaksanaan pilkada dikembalikan pada aturan hukum yang ada. Itu berarti, MA harus berani membatalkan keputusannya.

MA persilakan PK

MA mempersilakan KPU Sulsel untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MA yang memerintahkan pelaksanaan pilkada ulang di empat kabupaten di Provinsi Sulsel. Meskipun secara yuridis PK tidak diperbolehkan, sudah ada yurisprudensi yang mengabulkan permohonan PK sengketa pilkada.

Hal itu diungkapkan juru bicara MA, Djoko Sarwoko. "Kalau berpegang pada Pasal 106 UU Pemda, memang putusan MA sudah final dan mengikat. Tapi, kan, ada yurisprudensi, berulang kali MA menerima permohonan PK. Tetapi yang dikabulkan memang baru satu, yaitu PK terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat soal Pilkada Depok," ujar Djoko, yang juga anggota majelis hakim Pilkada Sulsel.

Menurut Djoko, MA memang meminta KPUD mengulang semua tahapan pilkada, mulai dari proses awal seperti pendataan pemilih, kampanye, hingga pemungutan suara. Sidang dapat membuktikan adanya kecurangan dalam pelaksanaan tahapan-tahapan pilkada tersebut.

Djoko juga menjelaskan mengapa MA memerintahkan pelaksanaan pilkada ulang di empat kabupaten, padahal permohonan yang diajukan hanya tiga kabupaten. Menurut dia, selama proses persidangan berjalan, tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan-perubahan.

Kotak pandora

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, mengatakan, setelah pilkada ulang dilaksanakan, tidak ada jaminan bahwa hasilnya tidak dipersoalkan oleh pihak yang kecewa. Pihak yang kecewa dipastikan akan mengajukan sengketa pilkada yang sama.

Putusan itu, jelas Denny, membuka kotak pandora yang memungkinkan nantinya semua pihak yang kecewa dengan hasil pilkada akan mengajukan permohonan pelaksanaan pilkada ulang.

Pakar hukum dari Universitas Andalas, Saldi Isra, di Padang juga menyebutkan, KPU Provinsi Sulsel harus segera mengajukan PK atas putusan MA. Hal itu merupakan langkah terbaik sebagai "perlawanan" terhadap putusan MA yang dinilainya aneh.

Semakin cepat upaya PK diajukan, diharapkan putusannya pun akan cepat keluar untuk memberikan kepastian. Bagi Saldi, dengan putusan yang melampaui kewenangan, sah-sah saja jika ada yang menilai putusan MA dilatarbelakangi intervensi politik. Hal itu merisaukan karena relasi politik yang kuat di pengadilan memungkinkan calon kepala daerah terpilih bukan berdasarkan kepercayaan rakyat. "Harus dicegah orang menjadi kepala daerah melalui tangan pengadilan," ujar Saldi.

Secara terpisah, Elza Syarief yang merupakan pengacara pasangan Amin Syam-Mansyur Ramly menilai putusan MA dalam perkara Pilkada Sulsel tidak melebihi wewenang karena sesuai dengan tuntutan pemohon. "Dalam gugatan subsider, kami meminta pilkada ulang untuk enam daerah tingkat dua, yaitu Bone, Gowa, Tana Toraja, Bantaeng, Makassar, dan Takalar. Yang dikabulkan hanya empat daerah, berarti tidak ada yang melebihi wewenang," kata Elza.

Departemen Dalam Negeri menyatakan tidak campur tangan dalam proses hukum Pilkada Sulsel. Namun, apabila sampai tanggal 20 Januari 2008, ketika masa jabatan Gubernur Sulsel Amin Syam dan Wakil Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo habis, Depdagri akan menunjuk penjabat Gubernur Sulsel.

Menurut juru bicara Depdagri, Saut Situmorang, Depdagri berkepentingan agar penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terhenti, pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan, dan stabilitas daerah juga tetap terjaga.

Reaksi massa

Serangkaian aksi unjuk rasa menolak putusan MA mewarnai Kota Makassar, Jumat. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya gangguan stabilitas, Kepolisian Wilayah Kota Besar Makassar menetapkan status siaga satu.

Unjuk rasa yang diikuti ratusan orang itu bukan saja mendatangi Kantor KPU Sulsel, tetapi juga rumah pribadi Ketua Umum DPP Partai Golkar Muhammad Jusuf Kalla di Jalan Haji Bau. Massa menyatakan menolak putusan MA yang dinilai sarat muatan politis.

"Kami minta seluruh masyarakat di Kabupaten Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja menolak pilkada ulang karena selain melanggar ketentuan, juga dapat memecah belah persatuan rakyat di Sulsel," ujar Adri Lairing, salah satu pemimpin aksi.

Ketua KPU Mappinawang di hadapan massa di Kantor KPU Sulsel menegaskan, ketetapan KPU tentang kemenangan pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang tetap sah. "Majelis hakim tidak membatalkan ketetapan itu karena gugatan primer untuk membatalkan hasil penetapan KPU tidak dikabulkan. Artinya, ketetapan KPU tetap berlaku," kata Mappinawang.

Syahrul, gubernur terpilih sesuai ketetapan KPU Sulsel, mengecam putusan MA yang dinilainya cacat hukum. "Pihak kami yang sangat dirugikan. Banyak yang aneh dan janggal dalam putusan MA ini yang tidak sesuai undang-undang," katanya. (MZW/DIK/ANA/SIE/ REN/NAR/NWO)

Senin, 17 Desember 2007

Terpidana Boleh Jadi Pejabat


Pidana akibat Kealpaan Ringan


Jakarta, Kompas - Mantan narapidana, khususnya narapidana yang dihukum karena kealpaan dan kejahatan politik, berpeluang untuk menduduki jabatan pemerintahan/publik.

Ketentuan sejumlah undang- undang yang mensyaratkan bahwa seorang calon pejabat tidak pernah dipidana akibat tindak pidana yang memiliki ancaman hukuman lima tahun, tidak berlaku untuk dua jenis tindak pidana di atas.

Hal itu terungkap di dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal sejumlah UU yang menyatakan pejabat publik (kepala daerah, wakil kepala daerah, Presiden dan Wakil Presiden, hakim konstitusi, hakim agung, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan/BPK) tidak boleh pernah dijatuhi pidana penjara yang ancaman hukumannya lima tahun. Putusan itu dibacakan Selasa (11/12).

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan masih memandang perlu adanya standar moral bagi setiap calon pejabat publik. Karena itu, syarat bahwa seorang calon pejabat belum pernah dipidana dianggap wajar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, rumusan pasal mengenai standar moral itu konstitusional bersyarat.

Artinya, syarat itu tidak berlaku untuk semua jenis tindak pidana. Menurut MK, pengecualian terhadap ketentuan itu perlu diberlakukan bagi orang yang dipidana karena kealpaan ringan. Pasalnya, pemidanaan karena kealpaan ringan tidak menggambarkan adanya moralitas kriminal dalam diri orang tersebut. Tindak pidana itu lebih disebabkan faktor kekuranghati-hatian.

Selain itu, MK juga memandang perlu adanya pengecualian untuk kejahatan karena alasan politik. Atau, perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi sikap politik (politieke overtuiging). Negara hukum yang demokratis menjamin hal tersebut. Hanya saja oleh hukum positif, tindakan itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda pandangan politik dengan rezim yang berkuasa.

"Apabila rumusan pasal itu diartikan mencakup kejahatan politik dalam pengertian di atas, maka rumusan demikian jelas mengandung unsur diskriminasi. Jika demikian halnya, ketentuan tersebut berarti telah membuat perbedaan perlakuan yang didasarkan atas pandangan politik yang dianut seseorang, sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945," ujar salah satu hakim konstitusi, I Dewa Gde Palguna.

Salah satu hakim konstitusi, Abdul Mukthie Fadjar, mengajukan pendapat yang berbeda. Menurut dia, MK seharusnya menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Ia melihat adanya ketidakkonsistenan dalam pengaturan syarat tersebut di dalam sejumlah UU.

Ia menengarai adanya penggunaan standar moral yang ganda antarpejabat publik. Ketidakkonsistenan dan penggunaan standar moral ganda itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, orang yang telah menjalani pidana pada hakikatnya sudah menjalani proses penyucian kembali. Dengan demikian, orang tersebut tidak layak diperlakukan sebagai orang berdosa seumur hidup.

Uji materi itu diajukan oleh Muhlis Matu (anggota DPRD Kabupaten Talakar, Sulawesi Selatan), Henry Yosodiningrat (pengacara yang pernah dijatuhi pidana penjara karena menabrak orang), Budiman Sudjatmiko (pengurus DPP PDI-P yang pernah dipenjara karena dakwaan tindak pidana subversif), dan Ahmad Taufik (wartawan yang pernah dipidana karena tuduhan penghinaan terhadap pemerintah).

Muhlis Matu gagal mengikuti pemilihan kepala daerah karena pernah dipenjara. (ANA)

Lawan Kekerasan dengan Hidup Adil


Komnas HAM Nilai Infrastruktur Hukum Masih Kurang


Jakarta, Kompas - Budaya hidup adil dan damai adalah tandingan dari budaya kekerasan yang merebak dewasa ini. Budaya adil dan damai tak saja menjamin terciptanya upaya penyelesaian konflik tanpa kekerasan, tetapi juga memberi andil dalam memperkokoh demokrasi.

Demikian dikatakan Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace Integrity of Creation/JPIC) Keuskupan Agung Ende (KAE), Ronny Neto Wuli Pr pada road show perdamaian di kawasan Tugu Pancasila, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (10/12).

"Budaya hidup adil dan damai tanpa kekerasan adalah suatu tindakan mendesak untuk melawan budaya kekerasan yang merebak dewasa ini. Budaya adil mutlak perlu dilaksanakan pribadi, lembaga yang cinta damai, bahkan seluruh manusia," kata Wuli.

JPIC KAE dan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan (GATK) Kevikepan Ende, Senin, menggelar road show perdamaian memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, yang diperingati tiap 10 Desember. Kegiatan itu pertama kali digelar di Ende.

Pendeta OR Taruli Waja dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Ende pun menambahkan, "Dalam kehidupan ini tak boleh ada pihak yang berperan sebagai allah kecil terhadap sesama yang seolah mempunyai kekuasaan tak terbatas. Sebaliknya, juga tak boleh ada pihak yang diperlakukan seperti allah kecil."

Pimpinan Cabang Muhammadiyah Ende, Agil Parera Ambuwaru, menilai, di Ende terjadi pelanggaran HAM, antara lain dilakukan oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenang.

Komitmen pemerintah

Peringatan Hari HAM Sedunia juga dilakukan di Palembang (Sumatera Selatan), Jakarta, dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, sekitar 200 orang yang tergabung Aliansi Rakyat untuk Demokrasi dan HAM berunjuk rasa menuntut komitmen pemerintah menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi setiap warga. Mereka menilai pelanggaran HAM masih sering terjadi dan belum mendapat perhatian serius.

Tuntutan serupa dilakukan sekitar 1.000 orang yang tergabung dalam Komite Rakyat Bangkit Melawan di depan lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Senin.

Dalam diskusi nasional HAM, anggota Komisi Nasional HAM, Kabul Supriyadi, Senin, mengingatkan, berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu sulit diungkap akibat tidak lengkapnya perangkat hukum yang ada. Besarnya pengaruh politik juga membuat semakin rendahnya keinginan elite mengusut kasus-kasus tersebut hingga tuntas.

Pengadilan HAM Ad Hoc, katanya, kini menjadi satu-satunya alat untuk mengungkapkan hingga tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Karena, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi.(sem/wad/wer/rwn/jos/a09/nwo)