Jumat, 29 Februari 2008

Dimensi Politik Kasus BI



Penanganan terhadap kasus dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp127,75 miliar telah mencuatkan imajinasi-imajinasi politik pada sebagian masyarakat.

Mereka menilai kepentingan hukum bukan pertimbangan satu-satunya pengguliran persoalan yang bisa menjerat sejumlah petinggi Bank Indonesia (BI) itu. Di antara mereka bahkan ada yang beranggapan ditanganinya masalah ini beberapa bulan menjelang pengajuan calon Gubernur BI periode 2008- 2013 dimaksudkan untuk mengganjal pihak tertentu menduduki jabatan tersebut.

Pandangan itu belum tentu menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dikesampingkan karena bukan sesuatu yang tanpa preseden. Meski Indonesia secara formal dan prosedural telah tertransformasikan menjadi negara demokratis, tata laksana pemerintahan yang baik (good governance) belum sepenuhnya terlembagakan.

Akibatnya, praktik-praktik kenegaraan di masa lampau yang tidak baik masih dapat disaksikan di sepanjang kurun transisi sosial-ekonomi dan politik yang telah berlangsung sejak 1998. Penegakan hukum merupakan salah satu bidang yang masih menyisakan persoalan.

Bagi sebagian masyarakat, penegakan hukum yang bersifat tanpa pandang bulu (impartial), adil, dan objektif belum dapat diwujudkan secara mantap. Kadang-kadang, semangat untuk menegakkan hukum demi dan atas nama hukum terpancang kuat. Akan tetapi, tak jarang masyarakat juga didorong untuk mengembangkan imajinasiimajinasi lain dalam melihat sebuah kasus hukum.

Dengan kata lain, penegakan hukum belum tentu dimaksudkan untuk menegakkan hukum semata. Sesuatu yang dalam bentuk formalnya merupakan kegiatan penegakan hukum, tetapi menebarkan aroma politik yang kuat. Penanganan terhadap kasus almarhum Presiden Soeharto adalah salah satu contoh.

Sejak mundur pada Mei 1998, penguasa yang pernah mengendalikan negeri ini selama 32 tahun itu kerap dipandang sebagai pelaku tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Anehnya, tuduhan yang dikenakan kepadanya sama sekali tidak berkaitan dengan kapasitas dirinya sebagai presiden, tetapi sebagai ketua yayasan sosial.

Lagipula, meskipun Soeharto sudah dinyatakan pengadilan sebagai pihak yang tidak fit to stand trial karena sakit permanen, tetap saja kasusnya digulirkan. Menariknya, persoalan Soeharto selalu muncul ketika yang bersangkutan menjadi berita: menemui tamu penting, merayakan ulang tahun, menghadiri acara perkawinan, melakukan kegiatan sosial-keagamaan, dan sebagainya.

Penanganan seperti itu telah memunculkan pandangan kuat di masyarakat bahwa penanganan terhadap persoalan Soeharto sarat dengan kepentingan politik. Bahkan, kasus itu sendiri telah menjadi komoditas politik. Dalam tingkatan dan intensitas yang berbeda, aroma politik juga tercium dalam kasus YPPI.

Seperti telah disebutkan, sebagian masyarakat melihat penanganan hukum terhadap kasus YPPI sebagai sesuatu yang juga berdimensi politik. Salah satu alasannya terletak pada proses penanganan masalah tersebut yang tidak "tepat waktu". Jika informasi yang diberitakan berbagai media massa benar adanya, bahwa kasus ini sudah diketahui lama, mengapa penanganannya berdekatan dengan proses pencalonan Gubernur BI untuk periode 2008- 2013?

Mungkin saja hal yang demikian ini bersifat kebetulan belaka.Artinya, kedekatan waktu bukan sesuatu yang dirancang sebelumnya. Meski demikian, dengan dinamika penegakan hukum selama ini,sebagian masyarakat sulit untuk berpikir dalam kerangka "kebetulan". Situasi kejiwaan (state of mind) mereka dalam menyikapi berbagai kasus hukum sering disertai reservasi-reservasi tertentu.

Begitu pula tak jarang mereka meletakkan atau mengaitkan proses penegakan hukum dalam konteks peristiwa tertentu. Penanganan kasus YPPI yang melibatkan sejumlah pimpinan BI, yang berdekatan waktunya dengan pengajuan Gubernur BI, memberi amunisi kepada sebagian masyarakat untuk melihatnya sebagai alat untuk ikut memengaruhi proses pengajuan tersebut.

Banyak orang menilai Burhanuddin Abdullah berpeluang kuat untuk diajukan sebagai calon Gubernur BI periode 2008-2013. Ini bukan karena ia baru satu periode menduduki kursi Gubernur BI, tetapi lantaran dirinya dianggap berhasil menjalankan tugas utama bank sentral: menstabilkan nilai rupiah.

Sebagian besar karena kerja keras dirinya dan seluruh aparat BI, tampilan makro ekonomi Indonesia pun menjadi cukup baik sepanjang tiga tahun terakhir ini. Ditetapkannya Burhanuddin Abdullah oleh KPK sebagai salah seorang tersangka dalam kasus YPPI telah mengempaskan kesempatannya untuk dicalonkan kembali sebagai Gubernur BI.

Bergulirnya proses penanganan kasus YPPI yang sedemikian itulah yang dapat digunakan sebagai penjelasan mengapa sebagian masyarakat melihat kasus hukum ini sebagai sesuatu yang juga bernada politis.Penanganan yang tidak "tepat waktu" tidak hanya merugikan Burhanuddin Abdullah sebagai pribadi dan Gubernur BI, tetapi juga merugikan bank sentral sebagai sebuah lembaga.

Hal ini terlihat dari putusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak mengajukan calon gubernur dari BI. Dalam situasi normal, tidak diajukannya orang dari BI adalah peristiwa biasa.Namun, dengan adanya kasus YPPI, hal itu bisa menimbulkan anggapan bahwa seluruh jajaran pimpinan BI merupakan pihak yang tidak kredibel untuk memimpin institusi tempat mereka berkarier selama ini.

Bukan mustahil jika citra seperti ini dipelihara, bisa jadi karier kebanksentralan mereka mandek.Perasaan seperti ini potensial menghambat kegairahan mereka dalam bekerja. Kita tidak berharap imajinasi-imajinasi politik ini berkembang secara tidak terkendali.

Peringatan ini perlu dikemukakan karena pemilihan Gubernur BI kali ini juga berdekatan dengan pesta politik yang akan digelar pada 2009. Pada tahun itu, pergantian kepemimpinan nasional akan berlangsung. Karena hak prerogatif pengajuan calon gubernur ada pada Presiden, bisa saja ada yang tergoda mengaitkan pengajuan calon dengan peristiwa politik akbar yang sudah pasti memerlukan biaya besar itu.

Selalu saja tersedia pihak yang akan menilai bahwa preferensi Presiden atas calon tertentu bukan karena didorong oleh motivasi kenegarawanannya, tetapi karena harapan-harapan yang bersifat pribadi. Memang, undang-undang telah mengamanatkan bahwa BI adalah lembaga independen, bebas dari campur tangan pemerintah. Akan tetapi, masyarakat juga paham bahwa kita adalah bangsa yang sering tak bebas dari rasa ewuh pekewuh, utang budi, dan sebagainya.

Hak Presiden untuk mengajukan calon, ditambah dengan praktik tata laksana pemerintahan yang baik yang belum melembaga, dapat membuat perasaan-perasaan tersebut berkembang secara tak terukur. Inilah jeratan dan hambatan kultural ? bahkan mungkin kema-nusiaan? utama bagi kita untuk berlaku jernih dan nuchter agar bisa mem-bedakan wilayah publik dan privat; untuk mampu berlaku secara bertanggung jawab atas amanat yang tengah digenggamnya.

Jika saja penanganan terhadap kasus YPPI bersifat "tepat waktu", imajinasi-imajinasi politik sebagian masyarakat seperti dipaparkan di atas barangkali tidak akan berkembang. Memang,kita juga sadar bahwa kasus tersebut dapat mendatangkan dampak- dampak yang bersifat nonhukum (antara lain moneter dan nilai tukar rupiah). (*)

Prof Dr Bahtiar Effendy
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

Sabtu, 23 Februari 2008

Putusan MK Hambat Pendidikan


Anggaran Pendidikan Bersifat Semu
Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:07 WIB

Jakarta, Kompas - Keputusan Mahkamah Konstitusi yang berujung dimasukkannya gaji pendidik ke dalam perhitungan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN berdampak buruk terhadap pembangunan pendidikan. Anggaran tersebut terkesan semu karena sebagian besar terserap untuk biaya rutin.

Demikian terungkap dalam jumpa pers yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), Koalisi Pendidikan, dan Koalisi Pemantau Peradilan, Jumat (22/2). Pada hari yang sama, unsur aktivis pendidikan yang tergabung dalam Education Forum juga menyatakan kekecewaaan mereka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Ade Irawan dari Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi dirasa tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Pada kesempatan tersebut, pemerintah juga didesak untuk mengabaikan keputusan itu dan dalam APBN selanjutnya dianggarkan biaya pendidikan untuk program-program di luar gaji guru sebesar 20 persen.

Peneliti Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Febri Diansyah, mengatakan, dengan dihapuskannya frasa ”gaji pendidik dan”, maka Pasal 49 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi: Dana pendidikan selain biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.

”Melihat isi ayat tersebut pascaputusan Mahkamah Konstitusi, sebetulnya tidak ada larangan bagi pemerintah untuk menghitung anggaran pendidikan di luar gaji guru,” ujarnya.

Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina Utomo Dananjaya berpandangan, keengganan pemerintah membiayai pendidikan yang menjadi hak rakyat sudah terlihat sejak lama. Sangat sulit membayangkan pemerintah akan memprioritaskan kenaikan anggaran pendidikan pascaputusan itu.

Dalam kesempatan yang sama, pengajar di Universitas Negeri Jakarta dan juga anggota Education Forum, Susi Fitri, mengatakan, gaji pendidik yang dimaksud ayat tersebut adalah termasuk pendidik berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, gaji PNS sudah diatur secara khusus dalam Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.

”Keputusan ini juga memperbesar diskriminasi karena pendidik yang diperhitungkan dalam APBN itu ialah hanya pendidik berstatus PNS. Dengan dimasukannya unsur gaji pendidik sebagai bagian perhitungan anggaran pendidikan, seharusnya pendidik non-PNS juga dibayar oleh APBN,” ujarnya. (INE)


Keluarga Korban Minta Dukungan
Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:15 WIB

Jakarta, kompas - Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dinilai tidak menjamin tercapainya keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat.

”Putusan itu tidak serta-merta menghilangkan adanya proses politik, baik oleh DPR maupun Presiden, dalam proses pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc,” ujar pengamat hukum Irman Putra Sidin, Jumat (22/2).

Sehari sebelumnya, MK memutuskan, DPR tak bisa lagi menduga sendiri adanya pelanggaran HAM berat. DPR harus memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dulu dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Irman mengakui putusan MK tersebut sebuah kemajuan. Setidaknya, putusan itu mengurangi kisruh antara proses hukum dan proses politik dalam pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Sebelumnya, hasil penyelidikan Komnas HAM dapat dimentahkan oleh keputusan politik DPR. Misalnya, dalam kasus Trisakti, Komnas HAM menyatakan adanya pelanggaran HAM berat. Namun, kesimpulan Komnas HAM itu tidak dapat ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung karena DPR menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat.

Dengan adanya putusan MK, ujar Irman, penyelidikan Komnas HAM dapat langsung ditindaklanjuti oleh kejaksaan.

Meski demikian, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, Jumat, menyatakan, Pengadilan HAM Ad Hoc tetap harus ada terlebih dahulu, saat Kejaksaan Agung menyidik perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diundangkan. Pasalnya, langkah-langkah dalam penyidikan membutuhkan izin pengadilan, dalam hal ini Pengadilan HAM Ad Hoc itu.

Presiden perlu dukung

Sejumlah keluarga korban pelanggaran HAM berharap Presiden Yudhoyono memberikan dukungan politik kepada Kejaksaan Agung untuk segera menyidik sejumlah kasus yang terjadi sebelum tahun 2000, yang oleh Komnas HAM sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat.

”Ketika memberi penghargaan, Presiden berjanji kepada saya untuk mengungkap kasus Trisakti secara perlahan,” kata Karsiah, ibu Hendriawan Sie, satu dari empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tertembak pada 12 Mei 1998. Pada 9 Agustus 2005, keempat mahasiswa itu dianugerahi Bintang Jasa Pratama.

Mantan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Akil Mochtar menilai keputusan MK itu sebagai langkah maju. ”Selama ini kan saling lempar bola. Kejaksaan tak mau menyidik dengan alasan menunggu rekomendasi DPR. Begitu juga DPR. Ini bisa dihilangkan,” ujarnya. (ANA/NWO/IDR/SUT)

Rabu, 20 Februari 2008

Residu Problema Hukum Masih Dirasakan


Rabu, 20 Februari 2008 | 02:04 WIB

Jakarta, Kompas - Residu atau sisa-sisa dari problema hukum masa lalu akibatnya masih dirasakan rakyat hingga saat ini. Tidak heran kalau tunggakan penyelesaian kasus hukum semakin menumpuk. Di sisi lain, yang lebih memprihatinkan lagi, masyarakat marjinal hingga saat ini masih belum mendapat perlindungan hukum yang memadai.

Hal ini dikatakan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta, Selasa (19/2), dalam penandatanganan kerja sama antara PP Muhammadiyah dan Komisi Yudisial (KY) di Jakarta.

”Kasus semacam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) masih menjadi masalah hukum kita, begitu juga dengan problem hukum lainnya, seperti pemberantasan korupsi dan menciptakan aparat penegak hukum yang bersih. Semua masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini,” ujarnya lagi.

Menurut Din, tugas suatu bangsa tidak hanya menjaga keteraturan sosial, tetapi juga menggerakkan bangsanya ke arah kemajuan. Untuk mendorong kemajuan itu, memang dibutuhkan hukum yang berpihak kepada masyarakat kecil.

”Itu sebabnya Muhammadiyah, sebagai gerakan moral, kultural, dan keagamaan, turut menyumbang pada gerakan penyadaran dalam proses penegakan hukum untuk kaum marjinal,” ujarnya.

Kaum miskin yang terpinggirkan, menurut Din, masih belum mendapatkan perlindungan hukum meski mereka sering mengalami multilevel penindasan. Apalagi, ketika masyarakat marjinal ini harus berhadapan dengan negara, mereka semakin tak berdaya.

”Hari-hari belakangan ini, kita menyaksikan bagaimana penggusuran terjadi di Jakarta terhadap pedagang keramik dan pedagang bunga. Kasus yang sama juga terjadi di sejumlah kota lain,” ujar Din.

Muhammadiyah, lanjutnya, yang didirikan dengan misi pembelaan terhadap kaum miskin dan terpinggirkan, sudah sepantasnya terlibat dalam upaya advokasi dan perlindungan hukum bagi masyarakat marjinal.

Ketua KY M Busyro Muqoddas mengatakan, ilmu hukum ke depan bukan saja dituntut untuk melahirkan putusan hakim yang benar dan adil, tetapi juga berpihak kepada kaum tertindas dan marjinal. ”Agar reformasi melahirkan putusan hakim yang bermanfaat bagi bangsa, dengan spektrum benar, adil, dan berpihak kepada mustad’afin (kaum tertindas), KY membuat program riset putusan hakim,” ujarnya.

Apalagi, menurut Busyro, saat ini masih banyak putusan hakim yang dirasakan belum menyentuh keadilan, apalagi membela kaum miskin. (mam)

Selasa, 12 Februari 2008

Pengadilan Sang Pemenang

 

Satjipto Rahardjo

Apa yang akan terjadi di Indonesia sesudah mantan Presiden Soeharto meninggal?

Melalui pembentukan pengadilan modern, kehidupan manusia tidak lagi liar dan biadab, yang oleh Thomas Hobbes digambarkan sebagai medan pembantaian. Pengadilan mampu menggiring rakyat yang semula menyelesaikan masalah di jalan-jalan dengan ”siapa kuat akan menang” menjadi cara penyelesaian yang sopan dan beradab. Adu kekuatan dan otot diganti adu argumentasi di sidang pengadilan.

Perang

Meski demikian, pengadilan tidak pernah berhenti menjadi institut di mana terjadi perang antara keangkaramurkaan dan kebaikan-keadilan. Perang itu tidak hanya berdimensi individual, tetapi juga sosial. Di situ para ”gladiator” tidak hanya perorangan, tetapi juga kelompok atau orde. Kini kita menyaksikan hadirnya pengadilan yang disebut victor’s justice atau pengadilan Sang Pemenang. Pengadilan yang demikian dapat berlangsung dalam konteks dunia, antara suatu kelompok-negara-negara-tertentu berhadapan dengan kelompok-negara-negara-lain. Ia dapat juga berupa medan pengadilan dalam satu negara, yaitu antara kelompok, orde, atau kekuatan dalam satu negeri. Orang mencoba mendeskripsikan tipe pengadilan yang demikian sebagai suatu pengadilan di mana ”orde yang satu mengadili orde yang lain” dalam satu negara. Secara lebih umum dikatakan, ”bagian masyarakat yang satu mengadili bagian masyarakat yang lain”.

Salah satu forum pengadilan model victor’s justice, ”Sang Pemenang” mengadili ”Sang Pecundang”, muncul pada akhir Perang Dunia II, di mana pasukan negara-negara sekutu (Amerika, Inggris, Rusia, Prancis, dan lain- lain) berhasil mengalahkan negara-negara Nazi Jerman dan Jepang tahun 1945. Menyusul kekalahan itu digelar pengadilan internasional di Nuerenberg, Jerman (November 1945-Oktober 1946), dan di Tokyo, Jepang (Mei-November 1946). Di situ sekutu sebagai pemenang mengadili negara-negara Jerman dan Jepang yang kalah perang.

Di Nuerenberg, Hermann Goering bersama 20 pemimpin The Third Reich dibawa ke International Military Tribunal. Kota Nuerenberg dipilih sebagai tempat pengadilan berdasar alasan simbolik, yaitu kota yang telah menjadi benteng (citadel) Partai Nazi di mana Hitler biasa menyelenggarakan rapat raksasa setiap tahun. Dalam proses pengadilan Nuerenberg itu tampak nuansa ”pengadilan Sang Pemenang atas mereka yang kalah”, dimulai dari pemilihan tempat pengadilan.

Saat Goering diberi kesempatan mengajukan pembelaan, orang kedua sesudah Hitler itu berkata, ”Anda mengadili kami karena memenangkan perang. Andaikata kami yang memenangkan perang, Andalah yang akan kami adili.”

Di sinilah nuansa victor’s justice tampil amat kental. Dalam sidang-sidang juga ditunjukkan film-film dokumenter yang mengerikan tentang bagaimana enam juta lebih orang Yahudi dibantai dalam barak-barak konsentrasi. Para jenderal yang diadili mencoba mengelak dengan berdalih, mereka sama sekali tidak tahu kalau hal-hal yang mengerikan (hollocaust) itu terjadi. Bagaimanapun, majelis hakim berpendapat, jenderal adalah orang yang harus bertanggung-jawab, maka dalih itu tidak menjadi alasan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada 12 terdakwa. Jenderal Goering bunuh diri sebelum eksekusi dijalankan.

Di Tokyo, antara lain diadili mantan perdana menteri Jenderal Hideki Tojo ke tiang gantungan.

Akan terus terjadi

Sesudah pengadilan Nuerenberg, digelar lagi 12 pengadilan yang didasarkan peraturan yang dibuat The Allied Control Council for Germany. Majelis pengadilan ini hanya terdiri atas hakim-hakim AS. Pengadilan-pengadilan itu mengadili 185 tokoh Jerman, seperti para menteri kabinet, komandan lapangan, industrialis, duta besar, ahli hukum, dan dokter. Di antara para terdakwa itu 25 dijatuhi pidana mati. Di masa lalu, sedikit banyak kita juga pernah menggelar pengadilan model victor’s justice, saat dibentuk Pengadilan G30S atau Mahmilub, di mana ”Orde Pancasila” mengadili ”Orde Komunis”.

Pengadilan Sang Pemenang terhadap mereka yang kalah terjadi di mana pun di dunia dan akan terus terjadi. Seperti dikatakan di muka, dalam model ini, ”bagian-yang-satu-dari-satu- bangsa” mengadili ”bagian-yang- lain-dari-bangsa-yang-sama”. Tak lama lagi akankah kita menggelar ”Orde Antikorupsi” mengadili ”Orde Korupsi”? Rakyat cuma berharap, hasil ”perang” itu akan menguntungkan mereka.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro