Rabu, 31 Oktober 2007

Pengadilan Putri Diana


Misteri Mobil Warna Putih

Pengadilan kematian Putri Diana, Senin (29/10) di London, menampilkan saksi pasangan Perancis yang mengaku melihat sebuah Fiat Uno warna putih muncul dari terowongan tempat mobil Putri Diana dan Dodi Al Fayed mengalami kecelakaan 10 tahun lalu. Pasangan ini juga mengidentifikasi pengemudi dari Fiat Uno tadi.

Fiat Uno tersebut adalah potongan yang hilang dari teka-teki dalam kecelakaan yang menewaskan Diana, kekasihnya Dodi Al Fayed, dan pengemudi Henri Paul pada 31 Agustus 1997. Polisi menyimpulkan bahwa Mercedes mereka telah bertabrakan dengan sebuah Fiat Uno putih, tetapi tidak pernah menemukan mobil itu dan tidak pasti apakah tabrakan itu merupakan sebuah faktor dalam kecelakaan fatal itu.

Georges dan Sabine Dauzonne, yang memberi kesaksian melalui hubungan video dari Paris pada pemeriksaan sebab kematian di London, mengatakan, mereka mengira pengemudi mobil yang berjalan perlahan dan berbelok-belok itu mabuk. Saat mereka menyalip Fiat itu, mereka memerhatikan bahwa pengemudi itu sedang memandang dengan serius ke kaca spion dalam dan sisi kirinya.

"Ketika kami mendengar kematian Diana, kami pikir kemungkinan besar dia (pengemudi itu) sedang melihat ke kaca spionnya untuk melihat apa yang telah terjadi di terowongan itu," kata Sabine Dauzonne.

Rolls Royce pasangan itu tidak lewat di jalur arah ke barat dari terowongan itu, di mana mobil Diana mengalami kecelakaan. Mereka melewati jalur ekspres di sebelah terowongan, di mana mereka bertemu dengan Fiat itu.

Dauzonne mengatakan, dia mengemudi dengan kecepatan sekitar 30 km per jam ketika dia memerhatikan Fiat itu, yang berjalan lebih lambat lagi. Dia dan istrinya sama-sama menggambarkan mobil itu pertama mengarah ke kanan ke arah mobil pasangan itu, lalu ke kiri, kemudian kembali ke kanan.

Dauzonne dan istrinya mengatakan, mereka tidak mendengar sebuah tabrakan atau melihat apa pun di terowongan itu.

Mohamed Al Fayed, ayah Dodi, mengatakan, putranya dan Diana merupakan korban dari sebuah konspirasi yang didalangi Pangeran Philip, suami Ratu Elizabeth II. Dia menyebutkan bahwa sebuah Fiat putih yang dimiliki oleh fotografer James Andanson mungkin saja menjadi bagian dari konspirasi itu.

Andanson meninggal tahun 2000. Polisi Perancis memeriksa mobilnya dan menyimpulkan, kendaraan itu tidak pernah terlibat dalam sebuah tabrakan dengan sebuah Mercedes Benz.

Ditanyai secara terpisah, baik Georges maupun Sabine Dauzonne memilih foto dari orang yang sama sebagai orang yang mungkin merupakan pengemudi Fiat Uno itu dari lima foto yang diperlihatkan. Foto yang mereka pilih adalah dari Le Van Thanh, seorang mantan satpam. Namun, investigasi kepolisian Perancis telah menyingkirkan kemungkinan keterlibatannya.

Serangkaian foto yang diperlihatkan itu termasuk juga foto Andanson. Namun, baik Dauzonne maupun istrinya tidak memilihnya.

Stephane Darmon, pengemudi sebuah sepeda motor bagi seorang paparazzi yang mengejar Mercedes yang ditumpangi pasangan Diana-Dodi setelah meninggalkan Hotel Ritz, Paris, juga memberikan kesaksian, hari Senin. Darmon memberi kesaksian dari Paris bahwa dia tidak melihat motor atau mobil selain Mercedes yang tabrakan itu kala mereka mencapai terowongan maut tersebut.

"Tak ada seorang pun di depan saya atau di samping saya," kata Darmon, yang waktu itu bekerja bagi agensi foto Gamma.

Saksi-saksi lain telah melaporkan melihat motor dekat belakang atau samping Mercedes itu saat memasuki terowongan. (AFP/AP/Reuters/DI)

Hukuman Mati Tetap Berlaku


MK Meminta Eksekusi Bisa Segera Dilaksanakan

Jakarta, Kompas - Hukuman mati masih tetap berlaku di Indonesia. Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan, hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pencantuman pidana mati dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika telah dirumuskan dengan hati-hati dan cermat.

Putusan itu dibacakan pada sidang MK, Selasa (30/10) di Jakarta. Sidang pembacaan putusan itu berlangsung 4,5 jam.

Permohonan pengujian pasal hukuman mati dalam UU Narkotika diajukan dua warga negara Indonesia, Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia, serta tiga warga negara Australia, Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Anthony Rush. Warga Australia itu, yang termasuk kelompok Bali Nine, tertangkap dan dihukum mati karena menyelundupkan heroin.

Sidang dihadiri kuasa hukum pemohon, antara lain Denny Kailimang dan Todung Mulya Lubis, sejumlah pejabat, serta Ketua Badan Narkotika Nasional I Made Mangku Pastika.

Putusan MK dalam perkara ini terbelah dua. Enam hakim konstitusi menilai hukuman mati tetap berlaku, sedangkan tiga hakim lainnya, yakni Laica Marzuki, Achmad Roestandi, dan Maruarar Siahaan, mengabulkan permohonan agar pasal hukuman mati itu dicabut.

Dalam putusannya, MK mempersoalkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon sebagai warga negara asing dan substansi hukuman mati. Mayoritas hakim konstitusi menilai warga negara asing tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian atas UU terhadap UUD.

Namun, tiga hakim konstitusi, yakni Harjono, Maruarar, dan Laica, berpendapat warga negara asing berhak mengajukan pengujian UU di Indonesia. Ini berlandaskan pada frasa "setiap orang berhak..." yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945. Seharusnya tak ada pembedaan antara hak asasi warga negara Indonesia dan warga negara asing.

Maruarar juga mencantumkan praktik di negara lain yang memperbolehkan warga negara asing memperoleh perlindungan hak asasi yang dilanggar UU negara yang menerimanya. Misalnya, gugatan Asakura (warga negara Jepang pemilik rumah gadai di Seattle, Amerika Serikat). Ia menguji peraturan kota Seattle, yang melarang orang asing berusaha di bidang pegadaian. Kasus lainnya adalah Cabell versus Chavez-Salido, Salim Ahmed Hamdan versus Donald H Rumsfeld (Sekretaris Pertahanan), dan Konstitusi Dominika tahun 1978.

Tentang pokok perkara, enam hakim konstitusi, termasuk Ketua MK Jimly Asshiddiqie selaku ketua majelis hakim, menyatakan, penjatuhan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Namun, hakim tidak boleh sewenang-wenang menjatuhkan hukuman mati karena harus sesuai dengan ketentuan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

Jimly pun menjelaskan, pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan, perumusan, penerapan, dan pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus benar-benar memerhatikan bahwa hukuman mati bukan merupakan pidana pokok. Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh.

MK meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah Bambang Winahyo menyambut baik putusan MK yang melegalkan hukuman mati. Hal itu diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan eksekusi terpidana mati.

Di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, kini terdapat 54 terpidana mati, termasuk terpidana kasus peledakan bom di Bali tahun 2003. (VIN/HAN/MDN)

Senin, 22 Oktober 2007

MA, Mahkamah Ajaib


Saldi Isra

Gila! Begitu reaksi yang muncul saat seorang wartawan sebuah harian di Padang menyampaikan bahwa permohonan kasasi 10 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat periode 1999-2004 diterima Mahkamah Agung.

Ketika si wartawan membacakan kutipan putusan kasasi MA itu, berulang-ulang saya mengucapkan kata "gila", "kacau", dan "aneh". Penutup dari rangkaian kata itu, saya berujar kepada si wartawan, "putusan ini merupakan alat pembunuh massal gerakan antikorupsi terutama di daerah".

Sambil menyebarkan berita duka, via pesan singkat, ini kepada sejumlah penggiat antikorupsi, saya teringat putusan kasasi majalah Tempo dan kasus korupsi dana nonbudgeter Bulog yang melibatkan Akbar Tandjung. Putusan majalah Tempo dan dana nonbudgeter Bulog menjadi dekat, seperti baru terjadi kemarin.

Meski kasus majalah Tempo dan dana nonbudgeter Bulog sering disebut sebagai tragedi penegakan hukum yang memilukan, putusan kasasi 10 anggota DPRD Sumbar itu jauh lebih tragis. Tidak sekadar mempertontonkan kegilaan sekaligus kekacauan dan inkonsistensi MA dalam memutus perkara, putusan kasasi itu juga menjungkirbalikkan logika hukum.

Berbeda 180 derajat

Karena melibatkan 43 anggota DPRD, Pengadilan Negeri Padang membagi kasus ini menjadi lima berkas perkara. Satu berkas perkara terdiri dari tiga pimpinan dewan. Sementara itu, 40 orang lain dibagi menjadi empat berkas perkara, masing-masing 10 anggota dewan. Meski dipisah, semua berkas tetap menjadi satu kesatuan. Untuk menghindari disparitas putusan, pengadilan negeri dan pengadilan tinggi memutus semua berkas perkara secara bersamaan.

Di tingkat kasasi, sepertinya, pola yang dilakukan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tidak terjadi. Selain majelisnya berbeda, pengambilan keputusan juga tidak dilakukan secara bersamaan. Buktinya, empat berkas perkara (33 orang), dengan majelis hakim yang dipimpin Parman Suparman anggota Arbijoto dan Abbas Said, sudah diputus sejak 2 Agustus 2005. Adapun satu berkas lain (10 orang), dengan majelis yang dipimpin Bagir Manan anggota Iskandar Kamil dan Djoko Sarwoko, baru diputus 10 Oktober 2007, tiga hari menjelang Idul Fitri lalu.

Meskipun demikian, diduga ada tiga skenario yang terjadi di MA. Pertama, semua berkas dipegang satu majelis dan pada 2 Agustus 2005 sudah ada putusan final dalam bentuk menolak permohonan kasasi.

Kedua, dari awal berkas perkara memang dipegang lebih dari satu majelis dan pada 2 Agustus 2005 majelis yang dipimpin Bagir Manan berbeda pendapat dengan majelis lain.

Ketiga, majelis terpisah dan masing-masing menganggap berkas perkara yang mereka pegang terpisah dengan berkas perkara yang lain.

Dari semua skenario itu, skenario ketiga jauh dari logika hukum. Apalagi sejak di pengadilan negeri, hakim yang menangani kasus ini bukan merupakan majelis yang terpisah. Meski ada lima berkas perkara, sejak proses penyidikan sampai persidangan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, kasus korupsi 43 anggota DPRD Sumbar merupakan satu perkara. Karena itu, patut diduga, pada 2 Agustus 2005 lima berkas perkara sudah diputus MA.

Sepanjang tidak terjadi disparitas, perbedaan waktu menyampaikan putusan masih dapat dipahami. Namun, ketika majelis Bagir Manan memutus berbeda 180 derajat dari putusan majelis Parman Suparman dua tahun lalu, putusan itu sulit dicerna akal sehat. Sebagaimana diberitakan Kompas (19/10), majelis Parman Suparman menolak permohonan kasasi empat berkas perkara alias menghukum 33 anggota DPRD. Sementara itu, majelis yang dipimpin Bagir Manan mengabulkan kasasi alias membebaskan 10 anggota DPRD.

Tekanan politik

Mencermati perbedaan yang terjadi, saya kian percaya, logika hukum hanya berlaku pada kasus-kasus kecil. Untuk itu, menarik menyimak kembali pendapat peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego, hanya sedikit kasus besar di Indonesia yang ditentukan logika hukum. Banyak pelaku kasus besar yang akhirnya lepas setelah melakukan lobi, negosiasi, dan deal-deal tertentu (Kompas, 14/1/2004).

Barangkali, dari jumlah kerugian yang ditimbulkan, kasus korupsi 43 anggota DPRD Sumbar secara relatif tidak masuk kategori kasus besar seperti dikatakan Indria Samego. Namun, jika dilihat dari spektrum politik yang mengitarinya, kasus itu dapat dimasukkan menjadi salah satu kasus besar negeri ini. Spektrum politik itu kemudian memberi bobot dan tekanan politik besar terhadap kasus ini.

Bisa jadi, karena tekanan politik yang tinggi, satu berkas perkara sengaja (by design) dipisah. Agar tetap terasa dalam bingkai hukum, satu berkas yang tersisa didalilkan belum diputus. Celakanya, satu berkas yang tersisa juga dijadikan alasan kejaksaan untuk tidak mengeksekusi empat berkas perkara yang sudah ditolak kasasinya oleh majelis Parman Suparman. Pada titik itu, penundaan satu berkas bisa jadi merupakan exit-strategy berbagai pihak agar penyelesaian kasus ini tidak pernah sampai ke titik kulminasi.

Dalam hal ini, manuver sejumlah elite politik dalam tenggat 2005-2006 cukup menjadi bukti. Misalnya, saat satu berkas perkara yang tersisa di MA masih menggantung, Komisi II dan III DPR merekomendasikan untuk menghentikan semua kasus korupsi di daerah terutama yang terkait penggunaan APBD (Kompas, 4/10/2006). Akibatnya, penegak hukum menjadi gagap melanjutkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD.

Karena itu, tidak perlu merasa aneh dengan putusan aneh kasasi MA itu. Melihat spektrum politik di sekitar kasus korupsi di daerah, putusan itu sudah dirancang menjadi putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika hukum, dan tidak konsisten. Yang jelas, ini bukan hasil karya sebuah mahkamah yang agung, tetapi hasil kreasi sebuah Mahkamah Ajaib.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; Mantan Koordinator Forum Peduli Sumatera Barat

Selasa, 09 Oktober 2007

Rasa Keadilan


Robert Bala

Sulitnya menemukan fakta untuk menyeret Pak Harto, yang juga dijadikan MA alasan menuntut Rp 1 triliun kepada majalah Time dan penemuan fakta yang (kelihatan) begitu jelas dalam kasus Irawady Joenoes, menarik disimak.

Lalu muncul pertanyaan, apakah fakta menjadi satu-satunya acuan?

Kebaikan umum

Action in factum atau aksi nyata sebagai bukti konkret amat diperlukan dalam proses hukum. Dengannya, seseorang yang pada awalnya hanya sebagai saksi dapat menjadi tersangka saat aksi-aksi faktual cukup jelas. Sebaliknya tuduhan bisa dianggap "angin lalu" saat tidak terbukti. Pemulihan nama baik atau tuntutan balik pun dilakukan.

Konsep seperti ini dapat dipahami. Lembaga peradilan dipahami (sekadar) sebagai penguji kadar kebenaran (verum) sebuah perkara. Mereka mencari persesuaian antara pikiran dan realitas, darinya dihasilkan kebenaran.

Bagaimana mengukurnya? Aneka cara pandang, perjuangan dengan motivasi terselubung, dan keengganan untuk menguji dalam forum lebih kompeten membuat kebenaran bersifat parsial dan ambivalen. Maka, filsuf seperti Aristoteles menekankan unum kesatuan (konsep). Tanpa kesepahaman, mustahil tercapai tujuan karena kekuatan diperlemah oleh keceraiberaian.

Namun, verum dan unum masih pada tataran metafisis. Ia perlu dukungan etika, dengan memberi tempat terhadap kebaikan umum, bonum comunae. Itu berarti keberhasilan sebuah tugas publik dilihat dari manfaatnya untuk kepentingan umum dan sejauh mana kebaikan itu dirasakan. Manusia, demikian Zubiri, Xavier, Sobre el sentimiento y la volición: 1992, memiliki tugas bukan hanya mewujudkan dirinya secara internal, tetapi juga terpanggil untuk mengadakan transformasi terhadap realitas sosial.

Merajut kebersamaan

Aneka elemen warisan filsafat klasik seperti ini dapat dijadikan acuan dalam menilai aneka peristiwa yang terjadi. Tuntutan terhadap Time, kesangsian terhadap laporan PBB dan Bank Dunia, serta masih kaburnya "duduk perkara" kasus Irawady Joenoes adalah contoh tentang proses hukum kita yang masih berkutat mencari kebenaran. Argumen sendiri dianggap paling benar. Anggapan tentang tuduhan tanpa bukti, jebakan, tebang pilih, diskriminasi adalah kesan yang selalu muncul.

Akibatnya sudah pasti. Yang sering terjadi dalam proses hukum adalah adu argumentasi mencapai kebenaran yang parsial dan versial. Dan ketika ide itu tidak diterima, aneka tindakan anarkis muncul sebagai reaksi. Ada kesan, kekuatan uang masih menjadi penentu "kebenaran" yudisial. Tuntutan pengembalian aset negara pun menjadi tersendat karena masih ada usaha meloloskan diri dari jeratan hukum. Lebih jauh lagi, harapan tercapainya kebaikan bersama menjadi kendur karena kian merosotnya rasa bersalah.

Keadaan seperti ini kadang memunculkan rasa jenuh dan pesimistis sehingga bisa menghadirkan tindak korupsi baru. Sialnya, banyak orang tidak tahu bahwa untuk dapat korupsi yang "aman" di negeri ini, dibutuhkan "strategi" dan "kelihaian". Hanya dengan cara demikian seseorang dapat lolos atau tidak bisa terjerat oleh tafsiran faktual yang kerap digunakan aparat hukum.

Rasa jenuh masyarakat tidak hanya terjadi karena korupsi. Aneka kebijakan yang kontradiktoris dengan dambaan rakyat tak kurang dampaknya. Hal ini kerap terjadi dengan proyek pertambangan di daerah (seperti di Lembata, NTT). Rakyat yang memiliki kearifan lokal dengan pandangan kosmologis yang utuh demi menjaga keutuhan ciptaan, merawat warisan sosial, kultural, dan ekologis kian merasa aneh. Sementara itu, para "pengayom" masyarakat lebih terpana pada aneka royalti menyulap daerahnya.

Kehadiran peristiwa-peristiwa kejahatan, korupsi, dan melebarnya jarak rakyat dan pemimpin pada Ramadhan seperti ini amat disayangkan.

Namun, di tengah kepincangan seperti ini, ada imperatif moral. Manusia yang religius dan sanggup mewujudkan diri, kata Aristoteles dalam Ética a Nicómaco, pada saat bersamaan tersapa untuk menjadi epeidè fúsei politikón o ánthropos. Ia terpanggil untuk membarui realitas sosialnya yang tidak becus. Di sinilah perpaduan harmonis antara pembaruan diri dan transformasi sosial akan melahirkan sebuah keindahan (pulchrum), yang juga merupakan impian semua orang. Kesejahteraan bersama, kebaikan umum, kebenaran tanpa kondisi, dan kesatuan yang kian kokoh diharapkan lahir dari penerapan hukum yang utuh. Hanya dengan demikian akan tercipta rasa keadilan sebagai basis melanjutkan tugas reformasi yang belum tuntas.

Harapan seperti inilah yang ingin dicapai bangsa ini.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid Spanyol

Minggu, 07 Oktober 2007

Menyikapi Tantangan Perubahan Iklim

Cameron R Hume

Pada 27-28 September di Washington DC, Amerika Serikat, digelar Pertemuan Pertama Negara-negara Ekonomi Utama tentang Keamanan Energi dan Perubahan Iklim. Prakarsa ini didasarkan pemikiran fundamental, perubahan iklim adalah tantangan generasi kita yang memerlukan tanggapan global.

Pertemuan ini melibatkan 17 negara ekonomi utama, negara maju, negara berkembang, dan PBB. Peserta mewakili 85 persen ekonomi global dan 80 persen emiten karbon dioksida global.

Prakarsa ini didukung pemimpin G-8 pada Juni, 21 pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, Australia awal bulan ini. Pertemuan Negara-negara Ekonomi Utama di Washington akhir pekan lalu menindaklanjuti prakarsa itu.

Pertemuan Negara-negara Ekonomi Utama akan mendukung pembicaraan iklim yang dilaksanakan PBB dengan mempertemukan negara-negara ekonomi utama untuk menghasilkan konsensus tentang unsur-unsur penting dari kerangka kerja perubahan iklim. Kesepakatan di antara negara-negara ekonomi utama akan bermanfaat bagi semua negara dan memberi sumbangan kepada kesepakatan global yang baru di bawah Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 2009.

Partisipasi Indonesia dalam Pertemuan Negara-negara Ekonomi Utama disambut baik, juga sebagai tuan rumah Konferensi Ke-13 Negara Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (COP Ke-13 UNFCCC) di Bali Desember mendatang.

Pertemuan Negara-negara Ekonomi Utama dinilai memberi kontribusi dalam COP Ke-13. Kami memuji upaya Indonesia untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam perubahan iklim, dengan merangkul negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis untuk membahas isu-isu penggunaan lahan dan kehutanan, serta menekankan konservasi terumbu karang melalui Coral Triangle Initiative.

Ada kesepakatan internasional bahwa menangani perubahan iklim memerlukan perpaduan kegiatan melindungi lingkungan, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan menjamin keamanan energi. Juga ada kesepahaman antarbangsa bahwa perubahan iklim merupakan tantangan jangka panjang yang kompleks. Bangsa-bangsa di seluruh dunia telah menjalin kemitraan untuk menemukan solusi teknologis yang menjadi kunci untuk mengurangi gas rumah kaca di atmosfer kita.

Kerangka kerja 2013

Sasaran pertemuan pertama, sebelum akhir 2008, meluncurkan proses di mana negara-negara ekonomi utama dunia akan menyetujui unsur-unsur kunci kerangka kerja pasca-2012, mencakup sasaran global jangka panjang dan sasaran menengah yang bersifat nasional.

Untuk memberi tekanan khusus tentang bagaimana negara ekonomi utama, yang bekerja sama dengan sektor swasta, bisa mempercepat pengembangan dan penggunaan teknologi bersih—komponen penting pendekatan global—untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Akan disusun program kerja untuk sektor-sektor utama seperti pemanfaatan batu bara dan transportasi secara lebih maju, disepakati pentingnya pelaporan emisi, dan menyelaraskan cara mengukur besarnya pengurangan di tingkat korporat.

Pertemuan juga membahas kegiatan tiap negara, terkait keamanan energi dan perubahan iklim, mencari peluang dan prioritas bagi kemajuan setelah 2012, mengidentifikasi kebutuhan riset, pengembangan teknologi energi bersih, dan menentukan bidang-bidang kerja sama.

Sektor swasta dan LSM akan mengikuti pertemuan ini. Diharapkan akan diketahui tantangan yang sedang dihadapi, teknologi yang tersedia, teknologi yang sedang berkembang, dan bagaimana menghadapi pendanaan.

Sebuah kerangka kerja pasca-2012 harus mampu merangkul semua negara dan mengakui beragamnya solusi dan pendekatan yang dilakukan semua bangsa berdasar kebutuhan dan sumber daya mereka dalam mengatasi perubahan iklim. Ketimbang pendekatan "satu ukuran untuk semua", kami menganjurkan fleksibilitas, inovasi, dan kerja kelompok pada skala global.

Jika negara-negara ekonomi utama dapat mencapai kesepakatan untuk melangkah ke depan, kesepakatan itu dapat mempercepat prospek perjanjian lebih luas melalui PBB dan dukungan global yang dibutuhkan—dari negara maju dan berkembang—untuk melindungi dan mengelola keseimbangan planet Bumi yang rapuh bagi generasi masa kini dan masa datang.

Cameron R Hume Duta Besar AS untuk Indonesia