Senin, 17 Desember 2007

Terpidana Boleh Jadi Pejabat


Pidana akibat Kealpaan Ringan


Jakarta, Kompas - Mantan narapidana, khususnya narapidana yang dihukum karena kealpaan dan kejahatan politik, berpeluang untuk menduduki jabatan pemerintahan/publik.

Ketentuan sejumlah undang- undang yang mensyaratkan bahwa seorang calon pejabat tidak pernah dipidana akibat tindak pidana yang memiliki ancaman hukuman lima tahun, tidak berlaku untuk dua jenis tindak pidana di atas.

Hal itu terungkap di dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal sejumlah UU yang menyatakan pejabat publik (kepala daerah, wakil kepala daerah, Presiden dan Wakil Presiden, hakim konstitusi, hakim agung, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan/BPK) tidak boleh pernah dijatuhi pidana penjara yang ancaman hukumannya lima tahun. Putusan itu dibacakan Selasa (11/12).

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan masih memandang perlu adanya standar moral bagi setiap calon pejabat publik. Karena itu, syarat bahwa seorang calon pejabat belum pernah dipidana dianggap wajar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, rumusan pasal mengenai standar moral itu konstitusional bersyarat.

Artinya, syarat itu tidak berlaku untuk semua jenis tindak pidana. Menurut MK, pengecualian terhadap ketentuan itu perlu diberlakukan bagi orang yang dipidana karena kealpaan ringan. Pasalnya, pemidanaan karena kealpaan ringan tidak menggambarkan adanya moralitas kriminal dalam diri orang tersebut. Tindak pidana itu lebih disebabkan faktor kekuranghati-hatian.

Selain itu, MK juga memandang perlu adanya pengecualian untuk kejahatan karena alasan politik. Atau, perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi sikap politik (politieke overtuiging). Negara hukum yang demokratis menjamin hal tersebut. Hanya saja oleh hukum positif, tindakan itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda pandangan politik dengan rezim yang berkuasa.

"Apabila rumusan pasal itu diartikan mencakup kejahatan politik dalam pengertian di atas, maka rumusan demikian jelas mengandung unsur diskriminasi. Jika demikian halnya, ketentuan tersebut berarti telah membuat perbedaan perlakuan yang didasarkan atas pandangan politik yang dianut seseorang, sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945," ujar salah satu hakim konstitusi, I Dewa Gde Palguna.

Salah satu hakim konstitusi, Abdul Mukthie Fadjar, mengajukan pendapat yang berbeda. Menurut dia, MK seharusnya menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Ia melihat adanya ketidakkonsistenan dalam pengaturan syarat tersebut di dalam sejumlah UU.

Ia menengarai adanya penggunaan standar moral yang ganda antarpejabat publik. Ketidakkonsistenan dan penggunaan standar moral ganda itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, orang yang telah menjalani pidana pada hakikatnya sudah menjalani proses penyucian kembali. Dengan demikian, orang tersebut tidak layak diperlakukan sebagai orang berdosa seumur hidup.

Uji materi itu diajukan oleh Muhlis Matu (anggota DPRD Kabupaten Talakar, Sulawesi Selatan), Henry Yosodiningrat (pengacara yang pernah dijatuhi pidana penjara karena menabrak orang), Budiman Sudjatmiko (pengurus DPP PDI-P yang pernah dipenjara karena dakwaan tindak pidana subversif), dan Ahmad Taufik (wartawan yang pernah dipidana karena tuduhan penghinaan terhadap pemerintah).

Muhlis Matu gagal mengikuti pemilihan kepala daerah karena pernah dipenjara. (ANA)

Tidak ada komentar: