Rabu, 09 Januari 2008

Kasus Mantan Presiden Soeharto


ROMLI ATMASASMITA


Di tengah mantan Presiden Soeharto menjalani perawatan intensif, muncul pro dan kontra diadili-tidaknya mantan orang terkuat ini.

Namun, tuntutan untuk mengadili orang yang dalam keadaan sakit bisa dikatakan tidak etis. Apalagi, pembicaraan itu muncul ketika yang bersangkutan sedang dalam kondisi tidak sehat, bahkan sedang dalam perawatan intensif.

Sungguh aneh masalah hukum yang terkait mantan presiden ini karena dari sisi hukum, tuntutan pidana telah dihentikan dengan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SKPP) oleh Jaksa Agung Abdulrahman Saleh dengan alasan sakit permanen.

Arti sakit permanen dalam SKPP tidak ada penjelasan. Dan sepanjang diketahui, belum ada pertanggungjawaban Jaksa Agung ke DPR sesuai ketentuan Pasal 37 Ayat 2 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Namun, yang pasti, hal itu sudah dipertanggungjawabkan kepada presiden karena Jaksa Agung adalah pejabat negara setingkat menteri.

Langkah ganjil

Lebih ganjil lagi langkah Kejaksaan Agung yang melakukan gugatan perdata terhadap mantan Presiden Soeharto dan seluruh yayasannya. Alasannya, seluruh harta yayasan adalah milik negara, bahkan telah merugikan negara sekitar Rp 3 triliun. UU No 20 Tahun 2001, yang mengubah UU No 31 Tahun 1999, Pasal 38 C menegaskan, jika terbukti ada dugaan kuat masih ada harta kekayaan terpidana yang berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dirampas setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, negara dapat melakukan gugatan perdata.

Ketentuan Pasal 38 C merujuk Pasal 38 B Ayat 2 yang menganut pembuktian terbalik. Tetapi, semua mengetahui, mantan Presiden Soeharto telah memperoleh SKPP dari Jaksa Agung (saat itu) Abdulrahman Saleh berdasar Pasal 140 Ayat 2 a Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan alasan "sakit permanen", meski alasan "sakit permanen" tidak terdapat dalam ketentuan pasal itu.

Diskresi Jaksa Agung

Tampaknya hal itu hanya merupakan diskresi Jaksa Agung. Sebenarnya lebih elegan jika dikeluarkan ketetapan "penundaan" proses penyidikan sampai yang bersangkutan sembuh karena hal ini lebih aspiratif terhadap perasaan keadilan masyarakat sekaligus menjunjung tinggi Tap MPR I Tahun 2003 yang memperkuat Tap MPR XI Tahun 1998.

Bertolak dari langkah hukum itu, tampaknya kasus ini sulit dilaksanakan sungguh-sungguh karena sarat dengan berbagai kepentingan masa lampau selain masalah kemanusiaan semata-mata.

Meski demikian, kita dapat melihat bagaimana langkah hukum di negara lain dalam kasus yang sama. Terakhir kita saksikan, sejumlah presiden dan calon presiden harus diperiksa tim penyelidik independen. Lihat apa yang terjadi terhadap mantan Presiden Marcos (Filipina), Sani Abacha (Nigeria), dan Fujimori (Peru).

Langkah hukum dan politik

Perlu diingat, salah satu tujuan gerakan reformasi tahun 1998 adalah menuntaskan kasus mantan Presiden Soeharto. Sejalan adagium, "meski langit akan runtuh tetapi hukum tetap harus ditegakkan", maka masih ada banyak jalan ke Roma. Solusi untuk mengatasi masalah pro-kontra ini secara hukum adalah, pertama, langkah hukum maupun langkah politik harus dilakukan bersamaan karena yang menjadi obyek tersidik adalah mantan presiden yang telah banyak berjasa terhadap bangsa dan negara. Dengan demikian, keputusan politik dan hukum harus bijaksana dan mencerminkan jiwa negarawan.

Usulan amnesti pun tampaknya bernuansa "penghormatan", tetapi tidak tepat karena usulan itu hanya berlaku untuk kejahatan politik (pemberontakan).

Usulan deponeering vide Pasal 35 huruf c UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan juga tidak tepat karena status hukum mantan Presiden Soeharto sudah di-SKPP oleh Kejaksaan Agung, sedangkan deponeering hanya untuk kasus pidana, bukan perdata, di mana kini sedang dilakukan gugatan perdata.

Dua langkah

Untuk mengatasinya, diusulkan dua langkah. Pertama, agar dibentuk tim penyidik independen, terdiri dari unsur ahli hukum, ahli kedokteran, ahli lain yang relevan; politisi; dan birokrat termasuk penegak hukum, guna secara menyeluruh meneliti kembali kasus mantan Presiden Soeharto.

Langkah kedua, dilaksanakan peradilan in absentia sebagai terobosan hukum karena tidak dapat dihadirkan dalam persidangan dan merupakan solusi aspiratif serta tetap menjunjung tinggi due process of law dan keadilan. Kemudian, jika putusan memutuskan Pak Harto bersalah, kesempatan pemberian grasi merupakan langkah elegan.

Solusi terakhir, perlu ada kesepakatan politik untuk mencabut Tap MPR sebagaimana disebutkan di atas karena Tap MPR itu merupakan payung politik untuk dilaksanakannya penuntutan hukum terhadap Pak Harto. Selama Tap MPR itu belum dicabut, solusi hukum apa pun yang ditawarkan, kecuali penuntasan secara hukum, akan tetap "mengambang" karena langkah dan keputusan hukum yang diharapkan rakyat Indonesia melalui perwakilannya di MPR adalah penuntasan kasus mantan Presiden Soeharto, baik secara pidana maupun perdata.

Masalahnya, apakah kita berani menuntaskan gerakan dan cita reformasi 1998 atau "menusuk" gerakan reformasi 1998 yang telah mengakibatkan pergantian Orde Baru kepada Orde Reformasi?

Romli Atmasasmita Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung

Kejati Didesak Proaktif ke KPK


Langkah Polda Jateng dalam

Kasus Hendy Boedoro Bisa Ditiru

Semarang, Kompas - Perwakilan Aliansi Masyarakat untuk Penegakan Hukum atau Ampuh Jawa Tengah kembali mendatangi kantor Kejaksaan Tinggi Jateng, Senin (7/1). Mereka mendesak agar Kejati Jateng meminta Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengambil alih pengusutan kasus dugaan korupsi dana tak tersangka Kota Semarang 2004.

Belasan perwakilan Ampuh diterima Asisten Intelijen Kejati Jateng Pudji Basuki yang didampingi Kepala Seksi Ekonomi dan Moneter Pipuk Firman Priyadi, dan Kasi Sosial Politik Suwanda di ruang intelijen. Sempat terjadi ketegangan antara para pejabat Kejati Jateng dengan perwakilan Ampuh. Hal ini karena semula perwakilan Ampuh hanya bersedia bertemu dengan Kepala Kejati Jateng Kadir Sitanggang. Namun, Kadir tak bersedia ditemui.

Koordinator Ampuh Rahmulyo Adiwibowo menyampaikan, agar Kepala Kejati mau meniru langkah Kepolisian Daerah Jateng yang pernah meminta pimpinan KPK mengambil alih kasus korupsi oleh Bupati Kendal (nonaktif) Hendy Boedoro. Akhirnya, KPK mengambil alih kasus yang penanganannya di Polda berlarut-larut itu.

"Oleh karena itu, dengan ini kami menyampaikan surat terbuka kepada Kejati Jateng atas tuntutan kami ini," kata Rahmulyo dalam audiensi dengan Asintel Kejati Jateng tersebut.

Perwakilan Ampuh lainnya, Wijayanto, mengatakan, Kepala Kejati Jateng seharusnya tidak pasif.

"Kalau kejaksaan punya beban, semestinya Kepala Kejati Jateng proaktif melayangkan surat kepada KPK agar mengambil alih kasus tersebut," kata Wijayanto yang juga dikenal sebagai Koordinator Gerakan Masyarakat Peduli Amanat Rakyat (Gempar) Jateng ini.

Menanggapi desakan tersebut, Pudji mengatakan, dia berjanji untuk menyampaikan hal-hal yang dikemukakan perwakilan Ampuh kepada Kepala Kejati Jateng. Lebih jauh, Pudji menyampaikan, secara undang- undang KPK mempunyai kewenangan untuk mengambil alih setiap perkara yang penanganannya berlarut-larut di kejaksaan atau kepolisian. Namun, khusus mengenai kasus dana tak tersangka, karena sudah ada pengembalian uang sebelum ke penyidikan, menjadi sulit untuk diteruskan ke proses hukum selanjutnya.

"Ada yurisprudensi dari Mahkamah Agung bahwa kalau pelaku tidak menikmati, kerugian negara sudah tidak ada, dan kepentingan publik terlayani, maka tindak pidana korupsi itu dianggap sudah tidak ada," kata Pudji.

Mendengar penjelasan Pudji, Wijayanto langsung menyela, pada kasus dugaan korupsi dana tak tersangka Batang dan kasus Bupati Dompu yang ditangani KPK, modusnya serupa dengan kasus dana TT Kota Semarang, namun kasus tersebut naik ke penyidikan.

Pudji lalu menjawab, "Saya akan menyampaikannya kepada Kepala Kejati." (HAN)

Minggu, 06 Januari 2008

Hukum Indonesia-Bersatu


Satjipto Rahardjo


Indonesia memang mengalami keterpurukan hukum (Laporan Akhir Tahun Kompas, 24/12/ 2007). Ini juga disebut sebagai krisis, yaitu jurang yang menganga antara apa yang diharapkan (ideal) dan apa yang terjadi (realitas).

Keadaan akan menjadi lebih buruk (hopeless) apabila kita tidak pandai-pandai menanganinya. Ibaratnya sampah harus diproses menjadi pupuk yang berguna bagi petani. Indonesia yang terpuruk ini adalah sebuah laboratorium hukum par excellence di dunia. Oleh karena itu, marilah kita bekerja keras mendayagunakan laboratorium Indonesia itu untuk membangun kembali hukum kita yang terpuruk.

Kita tahu bahwa laboratorium adalah sebuah tempat untuk menekuni, mengurai, membongkar, singkat kata "ngerjain" (elaborate) barang yang sedang diteliti di lab itu. Jangan dilewatkan, laboratorium adalah tempat untuk bereksperimen. Ini penting sekali. Saya ingin berhenti pada masalah eksperimentasi ini.

Kultur liberal

Indonesia adalah murid yang patuh pada cara berhukum yang diwariskan oleh Belanda kepada "muridnya" bekas jajahan Hindia Belanda itu. Sejak zaman kolonial sudah ditanamkan "asas konkordansi" (concordantie beginsel), yaitu bahwa Hindia Belanda hanya boleh berhukum dengan cara-cara yang sesuai dengan negeri induknya. Apa yang dilakukan di negeri jajahan itu harus sama dengan yang dilakukan di Belanda. Patuh itu adalah mengikuti perundang-undangannya, asas, doktrin, dan lebih daripada itu juga kulturnya. Sampai dengan dekade-dekade awal kemerdekaan, kita masih menjadi murid yang patuh, yang tidak berani mengutak-atik apa yang diwariskan.

Kultur berhukum yang diwariskan kepada kita adalah kultur yang liberal. Kultur liberal ini sudah menjadi watak penting dan dasar dari sistem hukum modern yang digunakan di negeri ini dan juga di banyak negara lain. Kultur liberal, yang juga sudah dikecam di Amerika Serikat, bertugas untuk menyelamatkan dan menjaga "kemerdekaan dan kebebasan individu". Hukum lalu menjadi bastion bagi kemerdekaan individu tersebut. Tugas tersebut dijabarkan ke dalam substansi, prosedur, dan kultur hukum.

Indonesia sudah memberi kesempatan, selama lebih dari setengah abad, kepada sistem hukum yang demikian itu untuk melayani bangsanya. Sekarang, di dalam laboratorium Indonesia itu, datanglah waktu kita untuk mengamati, menekuni, dan menyayat-nyayat tubuh hukum liberal itu di meja laboratorium. Apakah cara berhukum selama ini masih bermanfaat? Kalau ada penyakit, di mana penyakit itu? Apakah seluruh jaringan perlu dibuang? Adakah yang masih dapat dipertahankan? Dan sederet pertanyaan lainnya.

Satu hal yang menonjol adalah bahwa cara menanggulangi berbagai persoalan besar yang menggunakan sistem yang berwatak liberal itu banyak menunjukkan kegagalan. Ini sangat kentara dalam pemberantasan korupsi. Orang bahkan dengan sinis mengatakan bahwa pengadilan Indonesia malah menjadi surga bagi kapal koruptor untuk berlabuh (safe haven).

Kalau sistem yang ada, yang notabene liberal itu, tidak ingin dipertahankan lebih lama, lalu alternatif apakah yang tersedia? Adakah sistem alternatif itu? Di sinilah kita mulai bereksperimen.

Kesadaran majemuk

Di dunia ini tidak hanya ada satu saja cara berhukum. Pemikiran hukum mutakhir di dunia sekarang ini sudah menyarankan agar dunia memiliki kesadaran majemuk (plurality-conscious) dalam berhukum. Itu berarti tidak boleh ada lagi satu standar berhukum di dunia ini. Momentum ini sangat kondusif untuk membangun suatu cara berhukum alternatif bagi membantu penyelesaian persoalan-persoalan besar di negeri kita dewasa ini.

Artikel ini menyarankan suatu cara berhukum yang tidak semata-mata berpusat pada "kemerdekaan individu", tetapi juga "berpusat pada Indonesia". Kita sekarang berada di abad ke-21, sudah ada Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia dan lain- lain, sehingga sudah lebih cerdas dan dewasa dan tidak perlu khawatir dituduh anti-individu. Kultur hukum baru yang digagas ini memang tidak anti-individu.

Sistem peradilan sekarang yang dibangun dari institut-institut independen, seperti kepolisian, kejaksaan, advokat, pengadilan, yang dirancang untuk "menyelamatkan individu" itu, perlu ditata kembali menjadi sistem yang lebih "pro-Indonesia". Inilah yang saya sebut sebagai "Hukum Indonesia-Bersatu" (Indonesia Law Incorporated) itu. Dalam gagasan alternatif ini, elemen-elemen dalam sistem peradilan tidak boleh lagi berhadapan satu sama lain dalam suasana konfrontatif, tetapi maju bersama-sama menghadapi satu sasaran yang sama, yaitu musuh Indonesia, apakah itu korupsi atau apa pun wujudnya.

Mengubah perundang-undangan yang ada memang sulit dan lama, tetapi kita dapat mulai dengan mengubah kultur atau perilaku mereka yang bergerak dalam sistem peradilan. Sistem formal tetap, tetapi perilaku para pelaku perlu berubah, dari "individu-sentris" dan "institut-sentris" menjadi "Indonesia-sentris".

Eksperimen memerlukan rangkaian pekerjaan uji coba yang panjang. Tetapi, bagaimanapun, setidaknya langkah pertama sudah diayunkan menuju kebangkitan Indonesia dari krisis dengan model "Hukum Indonesia-Bersatu".

Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro

Penemuan Hukum ataukah Perilaku "Chaos"?


Amir Syamsuddin


Mahkamah Agung mengklaim telah melakukan penemuan hukum tatkala memutus perkara sengketa Pilkada Sulsel. Hal itu dilakukan demi memperoleh kebenaran material/substansial yang tidak mungkin diperoleh jika hanya mengikuti peraturan formal.

Namun, banyak pihak menyatakan, Mahkamah Agung (MA) telah melampaui wewenang dan sama sekali tidak mempertimbangkan peraturan perundang-undangan pilkada seperti UU No 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya. Pertanyaannya, benarkah MA telah melakukan penemuan hukum?

Proses konkretisasi

Penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan proses pembentukan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, seperti interpretasi, argumentasi atau penalaran (redenering), konstruksi hukum, dan lain-lain. Kaidah-kaidah dan metode-metode tersebut digunakan agar penerapan aturan hukumnya terhadap peristiwanya tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum sehingga hasil yang diperoleh dari proses tersebut juga dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum. Ini artinya penemuan hukum dapat diartikan sebagai proses konkretisasi peraturan (das sollen) ke dalam peristiwa konkret tertentu (das sein).

Dalam praktik, kita temukan banyak peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Oleh karena itu, peraturan hukum yang tidak ada harus diadakan, yang tidak jelas harus dijelaskan, dan yang tidak lengkap harus dilengkapi, dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dengan penemuan hukum, kita berharap setiap putusan hakim harus mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Banyak metode yang dapat digunakan untuk menemukan hukum, namun setiap metode tersebut tidak boleh mengabaikan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku universal, baik yang terkandung dalam setiap undang-undang, yurispurensi, doktrin, perjanjian, kebiasaan, dan perilaku manusia yang beradab. Kita juga tidak dapat mengabaikan begitu saja tujuan dari pembentuk dan pembentukan undang-undang karena hal itu merupakan jiwanya. Tanpa ini, sebuah undang-undang tidak ada artinya.

Jika hukum diamini oleh Satjipto Rahardjo sebagai perilaku, apa yang dilakukan oleh MA di dalam membuat putusan dalam kasus Pilkada Sulsel adalah sebuah bentuk perilaku yang chaos. Dalam teori hukum, chaos bermakna kekacauan dan ketidakteraturan. Dunia chaos dalam arti positif akan dipenuhi dengan energi kegelisahan, gairah, hasrat, kehendak, dan ekstase yang mendorong bagi penjelajahan, pencarian sehingga menciptakan peluang kreativitas, dinamisitas, dan produktivitas.

Apakah penemuan hukum dalam hal ini bisa dimaknai sebagai bagian dari ke-chaos-an? Bisa ya dan bisa tidak. Namun, dari sisi negatif, dunia chaos bisa bermakna pada ketidakteraturan dan kekacauan yang merusak tatanan nilai dan norma, artinya bertentangan dengan teori tentang sistem hukum (theories of legal system). Oleh karena itu, dunia chaos harus didasarkan pada energi kegairahan, bukan didasarkan pada energi kepentingan/kekuatan.

Charles Sampford menggunakan teori chaos sebagai melle (disorder of law). Menurut beliau, hukum pada dasarnya adalah kondisi ketidakteraturan karena begitu banyak faktor yang memengaruhinya, termasuk kekuatan-kekuatan yang saling tarik- menarik dan berbenturan di dalamnya (asimetris). Bagi penganut teori sistem hukum, pembentukan perilaku yang diperankan oleh MA dalam kasus Pilkada Sulsel adalah perilaku chaos bagi dunia hukum dan lawan bagi keteraturan.

Namun, perlu dipertanyakan, betulkah MA menyadari "teori chaos" semacam ini. Apabila disadari, pengambilan putusan MA dalam kasus Pilkada Sulsel masih bisa dipahami. Namun, apabila hal itu dikatakan sebagai suatu penemuan hukum sebagaimana dipahami oleh teoretisi hukum selama ini, hal tersebut tidaklah dapat dimengerti.

Kebenaran substansial

Di dalam menyikapi putusan MA yang memerintahkan dilakukan pilkada ulang sebagai bagian dari penemuan hukum, kami mempunyai pendapat sendiri. Peraturan perundang-undangan pilkada di Indonesia seperti UU No 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya telah mengatur tentang apa yang disebut sebagai sengketa penghitungan suara/sengketa pilkada, sengketa administrasi, dan kasus pilkada.

Untuk penyelesaian sengketa penghitungan suara telah diatur mekanismenya melalui upaya "keberatan", baik yang diajukan ke pengadilan tinggi maupun MA. Untuk sengketa administratif telah diatur penyelesaiannya melalui peraturan dan keputusan KPU ataupun KPUD. Adapun untuk kasus-kasus pilkada seperti penggelembungan, kecurangan, dan tindakan-tindakan yang bersifat pidana diselesaikan melalui peradilan umum.

Oleh karena itu, dalam upaya penyelesaian sengketa penghitungan suara melalui "keberatan" ke pengadilan tinggi ataukah ke MA, kebenaran yang dicari adalah kebenaran angka, bukanlah kebenaran substansial sebagaimana yang dimaksudkan dalam putusan MA dalam memeriksa upaya "keberatan" dalam Pilkada Sulsel. Sementara pencarian kebenaran substansial hanyalah bisa dilakukan oleh peradilan umum untuk menyelesaikan kasus-kasus pilkada yang bersifat pidana. Oleh karena itu, tidaklah salah apabila banyak pihak menyatakan MA telah melampaui wewenangnya.

Jikalau MA kemudian menyatakan telah melakukan penemuan hukum di dalam menyelesaikan sengketa penghitungan suara, penemuan hukum seperti apa yang dimaksudkan oleh MA. Bagaimana mungkin sebuah sengketa "angka" dicari dalam kebenaran substansial? Peraturan perundang-undangan pilkada kita telah mengatur secara jelas dan lengkap bagaimana menyelesaikan sebuah "sengketa angka", bahkan mengatur alat-alat bukti yang bisa dipakai di dalam mencari kebenaran angka tersebut. Jadi, tidak ada hukum yang harus ditemukan, dicari, dilengkapi, ataupun dijelaskan.

Penemuan hukum ataupun perilaku chaos hanyalah dapat dipahami secara teoretis, tapi benarkah putusan MA dalam kasus Pilkada Sulsel telah memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan? Hanya publik yang bisa menilainya.

AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum, Jakarta

Rabu, 02 Januari 2008

PENEGAKAN HUKUM


Pemberantasan Korupsi Cenderung Sistemik

Jakarta, Kompas - Masyarakat Transparansi Indonesia menilai gaung pemberantasan korupsi sepanjang tahun 2007 tidak semeriah tahun sebelumnya. Kasus-kasus yang ditangani pada tahun ini lebih banyak merupakan kelanjutan tahun sebelumnya.

MTI juga menilai gerakan pemberantasan korupsi pada tahun 2007 cenderung bersifat sistemik dan preventif. Hal ini terlihat dari berbagai upaya/implikasi reformasi birokrasi yang dilakukan sejumlah pemerintah daerah dan instansi pusat.

Hal tersebut terungkap dalam siaran pers MTI yang diterima Kompas, Minggu (30/12). Siaran pers ditandatangani Direktur Eksekutif MTI Agung Hendarto.

Reformasi birokrasi

Menurut Agung, pada tahun 2007 terdapat sejumlah kegiatan mencolok dalam rangka reformasi birokrasi. Di tingkat pemerintah pusat, Departemen Keuangan mengawalinya dengan mereformasi empat direktorat jenderal yang selama ini diduga menjadi sarang korupsi, yaitu pajak, Bea dan Cukai, perbendaharaan negara, dan kekayaan negara. Ribuan pegawai Depkeu dimutasi, bahkan seluruh karyawan Bea dan Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok bermuka baru.

Langkah ini, jelas Agung, diikuti oleh sejumlah lembaga lain, seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung. Ketiganya menjadi proyek percontohan (pilot project) reformasi birokrasi.

Sementara di daerah, terdapat beberapa kabupaten/kota yang sudah mendahului membentuk sistem pelayanan secara terpadu. Hal itu terbukti mampu mengangkat daerah yang bersangkutan dari rezim birokrasi yang lambat, mahal, dan korup. (ana)

Refleksi Akhir Tahun


Buruk, Penegakan Hukum pada 2007

Jakarta, Kompas - Pelaksanaan penegakan hukum pada tahun 2007 masih buruk. Indikator itu tercermin dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, maupun dalam penegakan hak asasi manusia.

Demikian catatan hukum akhir tahun 2007 yang dilansir Tim Pembela Demokrasi Indonesia (sebagaimana disampaikan anggotanya, Petrus Selestinus, kepada Kompas, Senin (31/12).

Dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, TPDI mencatat, respons positif dari institusi penegak hukum terhadap laporan masyarakat masih minim.

"Hanya sedikit laporan masyarakat yang memperoleh tanggapan, sedangkan sebagian besar lainnya tidak mendapat jawaban tertulis dari instansi yang mendapat laporan itu," kata Petrus.

Ia mengakui, sejumlah laporan masyarakat memang direspons penegak hukum, kemudian diselidiki, bahkan disidik. Akan tetapi, kesan tebang pilih dalam menangani laporan masyarakat itu masih sangat kuat. Tebang pilih itu—yang dikatakan Petrus sebagai penyakit lama di kepolisian dan kejaksaan—ternyata sudah merambah Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam penegakan hak asasi manusia atau HAM, TPDI menilai, pemerintah dan DPR belum sepenuhnya menjalankan fungsi, peran, dan tanggung jawabnya secara maksimal. Hal itu terutama menyangkut kepentingan korban penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM masa lalu. Padahal, pelanggaran HAM berat merupakan kejahatan luar biasa yang tidak bisa diselesaikan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana biasa.

TPDI mencatat sejumlah kasus yang mengindikasikan pengabaian penegakan hukum di bidang HAM, antara lain terabaikannya hak asasi korban semburan lumpur di Porong, Sidoarjo di bidang sosial dan ekonomi. Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang seharusnya terbentuk enam bulan lalu sesuai UU No 13 Tahun 2006 ternyata tak kunjung terbentuk.

Semua itu menunjukkan, pola kebijakan penegakan HAM pada pemerintahan saat ini kurang memberikan perlindungan terhadap para korban. Bahkan, komitmen untuk menegakkan perlindungan HAM masih sangat lemah. (IDR)