Kamis, 17 April 2008

Penyelesaian utang grup A. Latief di BRI

oleh : Anugerah Perkasa

Penyelesaian utang grup A.Latief senilai hampir Rp300 miliar sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun. Akan tetapi, hingga kini belum jelas bagaimana proses pelunasannya.

Latief, pria berusia 68 tahun, pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja periode 1993-1998 dan memiliki beberapa anak perusahaan di bawah bendera Alatief Corporation, yang saat ini harus mencicil kewajibannya, sekitar Rp281,13 miliar.

Fasilitas kredit itu diperolehnya pada 1993, 1995 dan 1996 silam. Sesuai dengan urutan waktu, perusahaan yang memperoleh pinjaman tersebut adalah PT Pasaraya Toserjaya, PT Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation, yang belakangan menjadi perusahaan induk.

Mari melihat induknya lebih dulu. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II/2006 menyebutkan perusahaan yang didirikan sejak 1994 itu harus melunasi utang sekitar Rp98,42 miliar kepada Bank BRI. Itu sudah termasuk penalti dan bunga kredit.

Awalnya, permohonan pinjaman sebesar Rp200 miliar diajukan perusahaan tersebut pada November 1996. Dana itu akan digunakan untuk menambah modal sejumlah anak perusahaan Alatief Corporation. Hampir setahun kemudian, Bank BRI menyetujui proposal tersebut dengan mengeluarkan Perjanjian Kredit Investasi dan Pemberian Jaminan (PKIPJ).

Perseroan yang terletak di kawasan Blok M, Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu kemudian melakukan dua kali penarikan masing-masing Rp55,40 miliar pada Agustus 1997 dan Rp29,45 miliar pada Oktober 1997. Setelah itu, pencairan terhenti.

BPK menyebutkan penarikan tak dapat direalisasi karena perusahaan tidak memenuhi persyaratan. "Alatief Corporation tidak menyerahkan laporan keuangan tiga bulanan, tidak membebankan hak tanggungan atas tanah di Tangerang serta tidak ada laporan keuangan konsultan independen," ungkap laporan BPK

Latief kemudian bereaksi. Dia mengajukan permohonan restrukturisasi kredit, yang awalnya Rp200 miliar menjadi hanya Rp84,85 miliar. Bank BRI setuju dan dibuatlah tambahan PKIPJ pada 2000. Akan tetapi, permohonan restrukturisasi itu tak lantas membuat perusahaan itu memenuhi kewajibannya. Tiga tahun kemudian, status pinjaman berubah. Macet.

Dugaan pelanggaran

Ini bukan melulu soal kredit bermasalah, tetapi juga tentang dugaan pelanggaran perjanjian pinjaman.

BPK menemukan adanya permohonan Latief ke Bank BRI untuk diizinkan melaku-kan ekspansi di luar daftar proyek kredit, yaitu mendirikan stasiun televisi, yang dikenal dengan PT Lativi Media Karya (Lativi). Latief berjanji untuk mencicil Rp10 miliar lebih cepat. Akan tetapi, janji hanya sekedar janji. Alatief Corporation ternyata hanya mampu membayar Rp5 miliar atau tak sesuai dengan komitmennya.

Pendirian Lativi awalnya mendapat dukungan kredit PT Bank Mandiri Tbk pada Oktober 2000. Latief meminjam sekitar Rp361,82 miliar untuk modal kerja dan investasi. Akan tetapi, itu tidak cukup.

"Karena keterbatasan waktu studi, maka terdapat kesalahan dalam perhitungan," demikian Latief, mengemukakan alasannya saat itu.

Latief juga tak memenuhi kewajibannya pada bank tersebut sehingga restrukturisasi dilakukan pada Desember 2004. Dia akhirnya menjadi tersangka gara-gara pinjaman itu, dua tahun kemudian. Ketika dihitung, dugaan kerugian negara mencapai Rp400 miliar lebih.

Utang tersebut akhirnya lunas dengan aksi akuisisi konsorsium Capital Managers Asia Pte Ltd. (CMA) pada Maret 2007. Saham Lativi diambil alih oleh perusahaan konsultan investasi yang berbasis di Jakarta dan Singapura itu.

CMA juga punya hubungan dekat dengan keluarga Bakrie pemilik PT Cakrawala Andalas Televisi (antv) dengan memiliki puluhan ribu lembar saham di televisi tersebut. Lativi pun beralih nama, yaitu tv One pada 14 Februari 2008.

BPK tetap menyatakan Latief melanggar perjanjian kredit dengan memperluas bisnis di luar kesepakatan.

Itu baru satu perkara.

Pada Februari 1995, Latief mendapat pinjaman Rp28 miliar dengan Perjanjian Kredit dan Pemberian Jaminan (PKPJ) Bank BRI.

Pinjaman itu diberikan untuk Pasaraya Nusakarya, yang berdiri sejak 1986 dan juga terletak di kawasan Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Restrukturisasi kredit dilakukan sebelum Bank BRI akhirnya menetapkan status kredit macet pada November 2003. Jumlahnya sekitar Rp38,30 miliar, terdiri dari utang pokok plus bunganya.

Dugaan pelanggaran terjadi ketika BPK menemukan Pasaraya Nusakarya memiliki fasilitas kredit bank lain, tanpa seizin kreditur pertama. Masing-masing pinjaman itu dikucurkan oleh PT Bank Bukopin Tbk, PT Bank Bumiputera Tbk, PT Bank Danamon Tbk, PT Bank Niaga Tbk, dan Standard Chartered.

"Selama utang belum lunas, penerima kredit tidak boleh memperoleh pinjaman dalam bentuk apa pun dari pihak lain baik modal kerja maupun investasi tanpa persetujuan tertulis," tegas BPK.

Penyampaian laporan keuangan perusahaan-salah satu persyaratan kredit-juga bermasalah. Direksi Bank BRI kepada BPK mengakui adanya beberapa versi laporan keuangan periode 2002/2001.

Versi pertama menyatakan terjadi peningkatan aktiva tetap, tetapi tidak laporan keuangan lainnya. Bank BRI memiliki contoh laporan keuangan lain pada 2000/2001 yang menunjukkan tidak terjadinya lonjakan aktiva tetap.

Kejanggalan itu dipertanyakan untuk meyakini mana laporan yang benar. Namun, Latief tak pernah meresponsnya.

Pasaraya Toserjaya- berdiri sejak 1981- memperoleh kredit melalui pembiayaan sindikasi Rp376 miliar, yang dipimpin Bank BRI pada September 1993. Bank itu sendiri mengucurkan dana Rp115,60 miliar. Restrukturisasi dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 1998, 2000 dan 2002. Dua tahun kemudian, pinjaman itu dinyatakan macet.

Dugaan pelanggaran kali ini adalah penyaluran piutang perusahaan itu terhadap perusahaan terafiliasi, antara lain Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation, yang baru berdiri. Masing-masing Rp12,15 miliar untuk pembayaran utang pemasok dan Rp5,61 miliar untuk biaya operasional.

"Toserjaya mengalami kesulitan cash flow akibat menanggulangi kekurangan dana pada afiliasinya," ungkap BPK, padahal, uang itu awalnya digunakan untuk pembayaran utang pokok dan bunga, terkait perjanjian kredit.

Penyaluran dana ke Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation dinilai melanggar perjanjian, yang menyatakan debitor tidak boleh memberikan pinjaman baru kepada siapa pun, termasuk pemegang saham selama utang belum dilunasi. Khusus Bank BRI, pengembalian yang seharusnya diserahkan Rp144,41 miliar.

Persoalan itu menuntun saya untuk mengetahui mengapa pinjaman tetap diberikan kepada kelompok Latief. Juga soal penetapan status kredit macet para perusahaan tersebut oleh Bank BRI pada 2003-2004.

Akan tetapi, mantan Direktur Pengendalian Kredit Bank BRI 2003-2006, Gayatri Rawit Angreni, menolak memberikan jawaban dengan alasan tidak lagi menjabat posisi itu.

"Sudah lupa itu, nanti tidak akurat. Ada orang yang lebih tepat menjawab hal tersebut."

Dia adalah Lenny Sugihat.

Lenny memulai kariernya di Bank BRI sejak 1981 dan pada Mei 2006 menempati posisi Direktur Administrasi Kredit dan Analisis Risiko Kredit. Dia adalah pengganti Gayatri. Sayangnya, dia enggan merinci.

"Mengapa restrukturisasi terus dilakukan pada Latief," kata saya.

"Itu mengikuti koridor Bank Indonesia, silakan cari di sana. Restrukturisasi itu ada aturannya, tidak hanya grup Latief, tetapi juga bakul jamu," ujar Lenny.

Dia menuturkan masalah itu diserahkan pada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara pada Januari 2006.

Namun, dia enggan memberikan informasi mengenai perkembangan terakhir penanganan piutang itu, termasuk kemungkinan pengucuran kredit kepada kelompok Latief di masa mendatang.

Saya menemui Direktur Piutang Negara Indra Rifa'i dan Kepala Sub Direktorat Piutang Negara I Etto Sunaryanto pada awal Desember 2007.

Mereka menjelaskan pemanggilan terhadap jajaran direksi kelompok perusahaan Latief telah dilakukan pada awal 2006. Ditjen Kekayaan Negara juga mengeluarkan satu kali surat paksa pembayaran terhadap Latief sekitar April-Mei 2006.

Pembayaran awal cair

Program perpanjangan masa cicilan akhirnya diberlakukan pada Januari 2007 dan dibayar per tiga bulan, mengingat jumlahnya yang cukup besar. Etto mengatakan cicilan itu belum mencapai 50%.

Indra menambahkan jumlah utang di atas Rp5 miliar diberikan batas waktu hingga 7 tahun. Itu pun bersyarat, seperti tidak terjadi gagal bayar pada cicilan pertama. Mengutip Latief, Indra mengungkapkan, perusahaan itu mencari investor baru yang bisa membayar utang lebih cepat atau sebelum tenggat waktu. "Saya meyakini Latief akan kooperatif."

Untuk mengetahui sikap kooperatif Latief dalam proses restrukturisasi utangnya, akhir November 2007, saya mengirimkan surat permohonan wawancara berikut daftar pertanyaan ke Alatief Corporation.

Sekretaris Latief, Ratna Wulansuri mengatakan dirinya berjanji untuk menghubungi saya jika bosnya yang kala itu berada di Amerika Serikat, berkenan untuk diwawancarai.

Akan tetapi, saya kembali harus menunggu karena Latief pergi ke Kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, pada pertengahan Desember 2007.

Saya mendatangi kantor Latief pada Januari dan Februari. Tak berhasil. Tak hanya kantor, rumah mewahnya di kawasan Kalimalang Raya, Jakarta Timur, juga saya sambangi. Hasilnya, dua petugas keamanan menghentikan niat saya tepat di depan pintu gerbang rumah. Mereka mengatakan tempat itu khusus untuk beristirahat. Lain tidak.

Mengirimkan pesan pendek ke telepon seluler milik Latief adalah alternatif lain. Meneleponnya. Semua nihil. Akibatnya, saya tak pernah memperoleh penjelasan langsung dari Latief mengenai utangnya. Juga, seperti tak pernah tahu kapan Wulansuri memenuhi janjinya. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Selasa, 15 April 2008

Pembuktian Terbalik : Solusi Pemberantasan Korupsi ?

Beberapa waktu yang lalu media massa ramai memberitakan penangkapan Ketua Tim Jaksa BLBI BDNI . Di sela-sela berita tentang kasus tersebut, salah satu stasiun TV Swasta menunjukan rumah dan harta kekayaan yang dimiliki jaksa tersebut, baik yang ada di Jakarta dan Bali. Kedua rumah tersebut ada dilingkungan perumahan kelas menengah ke atas. Di samping ke dua rumah, TV Swasta tadi juga menunjukan beberapa mobil kelas menengah yang juga dimiliki oleh jaksa tersebut. Kalau berdasarkan besarnya gaji jaksa, tentu kita bertanya apa mungkin seorang jaksa memiliki harta kekayaan tersbut? Belakangan baru diketahui banyak jaksa yang belum melaporkan harta kekayaannya tanpa dikenai sanksi apa pun.

Dalam hal kekayaan penyelenggara yang tidak wajar, sebelumnya Ekonom Kwik Kian Gie pernah mengatakan perilaku aparat pajak yang tidak benar. Kwik Kian Gie terpaksa meminta maaf kepada Dirjen Pajak atas ucapannya. Dirjen Pajak tersebut meminta Kwik membuktikan ucapannya kalau tidak akan dituntut secara hukum. Namun, ketika Faisal Basri juga mengucapkan tentang perilaku aparat pajak yang tidak benar Dirjen Pajak tidak berani menuntut Faisal karena Faisal meminta Dirjen Pajak melakukan pembuktian terlebih dahulu (pembuktiaan terbalik) bahwa perilaku aparatnya tidak ada yang menyimpang.

Pada setiap tanggal 9 Desember, kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Dalam kaitan itu perlu dipahami oleh kita semua, termasuk pemerintah, bahwa korupsi sudah menjadi musuh dunia. Untuk itu, strategi pemberantasan korupsi harus mengikuti cara-cara yang berlaku secara universal. Apalagi kita sudah meratifikasi Konvensi Antikorupsi PBB.

Momen tersebut harus digunakan pemerintah untuk melakukan banyak perubahan menyangkut peraturan perundangan dan cara pendekatan antikorupsi. Tentu dengan mengikuti UN Convention for Anti-Corruption (UNCAC), karena tingkat korupsi dijadikan ukuran dalam pergaulan internasional.

Untuk itu, sejumlah perangkat perundang-undangan perlu segera dibenahi. Perangkat yang harus mendapat prioritas dibenahi adalah revisi undang-undang antikorupsi.
Revisi undang-undang antikorupsi terutama dipusatkan pada asas pembuktian terbalik dan recovery asset.
Asas pembuktian terbalik perlu dimasukkan ke dalam UU Antikorupsi untuk mengimbangi undang-undang yang mewajibkan setiap penyelenggara negara melaporkan harta kekayaan mereka. Sebab, undang-undang tersebut tidak match dengan sistem hukum pidana yang kita miliki saat ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekarang ini belum bisa membuat tuntutan jika ada pejabat yang harta kekayaannya terindikasi tidak wajar. Itu kelemahan dalam sistem hukum kita. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara diakomodasi, tetapi tidak fungsional. Bahkan terhadap para penyelengara negara yang tidak melaporkan harta kekayaan, KPK tidak bisa berbuat apa-apa. Contoh paling jelas adalah mantan anggota Komisi Yudisial Irawady Joenus yang tertangkap tangan menerima suap pun, tidak melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.
Untuk itu sejak tahun 2004 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pembuktian Terbalik. Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengatakan, perpu ini dibutuhkan untuk mempercepat pemberantasan korupsi.[1]

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bahwa pembalikan beban pembuktian sangat diperlukan dalam percepatan pemberantasan korupsi.

Sejarah “Asas Pembalikan Beban Pembuktian”
Istilah pembuktian terbalik telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat[2], dari sisi bahasa dikenal sebagai omkering van het bewijslat atau reversal burden of proof yang bila diterjemahkan secara bebas menjadi “pembalikan beban pembuktian. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai pembuktian terbalik.

Di sini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalis terletak pada penuntut umum. Namun, mengingat adanya sifat kehususan yang sangat mendesak, beban pembuktian tersebut diletakkan tidak lagi kepada penuntut umum tetapi kepada terdakwa.
Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal awam dengan istilah “pembuktian terbalik”
Pendapat Prof Andi Hamzah SH, ini sungguh tepat karena tanpa meletakan kata “beban” maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian terbalik tanpa kata beban dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari terdakwa sehingga secara harfiah hanya melihat tata urutan alat bukti saja.

Sistem Pembuktian KUHAP
Dalam hukum perdata, masalah pembuktian memang menimbulkan persepsi bias, mengingat aturan mengenai pembuktian ini masuk dalam kelompok hukum perdata materiil maupun hukum perdata formil. Berlainan halnya dengan hukum pidana. Hingga kini setelah diberlakukannya KUHAP melalui undang-undang no. 8 tahun 1981, masalah pembuktian diatur secara tegas dalam kelompok sistem hukum pidana formil (acara). Sistem ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.[3]

Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat pasal 183 sampai pasal 232 KUHP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan undang-undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging
Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 KUHAP, yaitu :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Sedang yang dimaksud dengan 2 alat bukti yang sah haruslah memperhatikan tata urutan alat bukti menurut pasal 184 KUHAP, yaitu :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa

Dalam sistem Hukum Pidana Formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan :
“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.”
Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum.

Sistem Beban Pembuktian Khusus pada kasus Korupsi sebelumnya kita telah mengetahui bahwa lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Bagaimana dengan kasus Tindak Pidana Korupsi (TPK)? TPK merupakan pengecualian dan memiliki sifat khusus yang berkaitan dengan Hakim Pidana Materiil maupun Formil. Masalah beban pembuktian, sebagai bahagian dari hukum pidana formil mengalami perubahaan paradigma sejak diberlakukan Undang-undang No. 3 tahun 1971 dan Undang-undang no 31 tahun 1999.

Dalam pasal 17 Undang-Undang No. 3 tahun 1971 ayat 1,2,3,4 menunjukkan beban pembuktian dalam perkara TPK mengalami perubahan paradigma baru. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian atau shifting of burden of proof belum mengarah pada reversal of burden of proof (pembalikan beban pembuktian sebagaimana anggapan masyarakat hukum pidana terdahulu)[4]. Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif artinya apabila terdakwa tidak mempergunakan kesempatan ini justru memperkuat dugaan jaksa penuntut umum.

Dalam Undang- undang No. 31 tahun 1999 aturan tentang beban pembuktian terdapat pada pasal 37. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam kedua undang-undang ini masih terbatas karena masih menunjuk peran Jaksa penuntut umum memiliki kewajiban membuktikan kesalahannya.

Problematik Beban Pembuktian Terbalik

Keterbatasan kedua UU di atas menimbulkan pro kontra di kalangan hukum mengenai penerapan pembalikan beban pembuktian. Sebagaian mengatakan bahwa pembalikan beban pembuktian secara total akan melanggar hak asasi manusia.
Namun Prof JE Sahetappy[5] mengatakan, "Apakah benar bahwa penerapan beban pembuktian terbalik ini melanggar Hak Asasi Manusia?. Saya memang melihat akhir-akhir ini banyak interprestasi ibarat beauty is in the eye of the beholder bertalian dengan Hak Asasi Manusia. Dalam hubungan ini, saya ingin bertanya, apakah penerapan asas retroactive seperti yang sudah disetujui oleh PAH I MPR di Senayan itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Bukankah banyak LSM dan para politisi ingin sekali menerapkan asas retroactive itu bertalian dengan gross violation of human rights. Supaya diketahui saja, bahwa di dunia hukum dikenal asas de uitzonderingen bevestigen de regel (perkecualian memastikan aturan yang ada), dan itu seringkali dilupakan atau pura-pura tidak diingat oleh para partisan dari kelompok tertentu. Kalau dikatakan bahwa PERPU ini bertentangan dengan KUHAP, maka hendaklah diingat bahwa Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, yang saya labelkan sebagai undang-undang tanpa anus dan sebagai tidak memiliki aturan peralihan, pada hakekatnya suatu bom waktu dalam rangka pemberantasan korupsi. Saya tidak akan berpanjang lebar tentang hal itu disini, tetapi bersedia mengulasnya lebih lanjut apabila diperlukan."

"Apakah PERPU itu tidak bertentangan dengan KUHAP? Hemat saya tidak, sebab dalam Undang-Undang Korupsi Nomor 31 Tahun 1999, sudah diakomodasi hukum acaranya, sehingga tidak ada alasan untuk menolak PERPU ini. Sebagai suatu kesimpulan sementara dapat dicatat sebagai berikut: PERPU ini amat sangat dibutuhkan dalam rangka pemberantasan korupsi Mereka yang menantang PERPU ini dengan berbagai alasan, bisa dikategorisasi dari yang "takut " korupsinya akan dibongkar, sampai pada berusaha mengkambinghitamkan pihak penguasa. Tidak ada unsur pelanggaran HAM, sebab asas "rertroactive" untuk gross violation of human rights juga melanggar doktrin hukum legalistik positivistik; Pelanggaran terhadap KUHAP juga tidak benar, sebab Undang-Undang Korupsi yang sekarang sudah mengatur hukum acaranya sendiri Pasal 28 Undang-Undang Korupsi juga membutuhkan penjabaran lebih lanjut dan itu bisa dicapai melalui PERPU. Saya masih akan berharap "common sense" , juga akan legal ethic and moral ethics, sebab jika tidak demikian halnya, maka sebagai seorang mantan pendidik, tidaklah enak jika teringat akan ucapan David Paul Brown bahwa The mere lawyer is a mere blockhead. "

Pendapat yang senada diutarakan Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad.[6] Perkembangan praktik tersebut di be­berapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian "beyond reasonable doubt", yang dianggap tidak bertentang­an dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses pembukti­an kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian ne­gatif” tidak mudah diterapkan. Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang ti­dak terbatas, sehingga muncullah alterna­tif asas pembuktian baru yang justru ber­asal dari penelitian negara maju dan di­pandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif da­lam membuka secara luas akses pembukti­an asal usul harta kekayaan yang diduga di­peroleh karena korupsi.

Alternatif pem­buktian yang diajukan dan digagas oleh pe­mikir di negara maju (Oliver, 2006) ada­lah, teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of prin­ciples), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditu­jukan terhadap pengungkapan secara tun­tas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.

Teori keseimbangan kemungkinan pembuktian terbalik dalam harta kekayaan tersebut menempatkan seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada posisi di mana sebe­lumnya yang bersangkutan belum mem­peroleh harta kekayaan sebanyak seka­rang yang didapat. Teori tersebut dengan dasar pertimbangan di atas telah diprak­tikkan oleh Pengadilan Tinggi Hongkong dalam kasus ICAC Hongkong terhadap pe­mohon 'judicial review" terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai de­ngan Hongkong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan peng­adilan rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktian­nya.

Berlainan dengan model Hongkong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Kon­vensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang mengguna­kan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggu­naan prosedur keperdataan dalam mene­rapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk meng­gugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi.

UU Nomor 31 tahun 1999 (Pasal 31) dan UU Nomor 15 tahun 2002 (Pasal 37) telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau onus of)
Ketentuan di dalam kedua undang-­undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menem­patkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi ter­sangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pem­buktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik.

Sudah tentu pembuktian terbalik da­lam hal hak-kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korup­si menimbulkan pro dan kontra. Pandang­an kontra mengatakan bahwa, pembukti­an terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan de­ngan hak asasi manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Na­mun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber ke­miskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara,maka hak asasi in­dividu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melain­kan hak relatif, dan berbeda dengan per­lindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya.

Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan me­ngenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freez­ing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 tahun 1999.

Yang terpenting dalam hukum pem­buktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberantasan korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Tempo Interaktif, KPK Minta Perpu Pembuktian Terbalik, 21 Desember 2004
[2] Andi Hamzah. Ide yang melatarbelakani Pembalikan beban pembuktian. Makalah pada Seminar Nasional Debat Publik Tentang Pembalikan Beban Pembuktian. Tanggal 11 Juli 2001 Universitas Trisaksti
[3] Martiman Prodjohamidjojo. Penerapan Pembuktian terbalik dalam delik korupsi. Cetakan I. Bandung:CV Mandar Madju, 2001. Halaman 98.
[4] Prof. DR. Indriyanto Seno Adji, SH.MH, Korupsi dan Pembalikan beban pembuktian. Jakarta 2006, halaman 87
[5] Prof JE Sahetappy, Problematik Beban Pembuktian Terbalik. Jakarta Desember 2003
[6] Romli Atmasasmita. Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi.Harian Seputar Indonesia 27 September 2006



Oleh :
Johanes Wardy Sitinjak

Senin, 07 April 2008

UU ITE Ancam Kebebasan Pers

Senin, 7 April 2008 | 01:03 WIB

Leo Batubara

RUU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE yang telah disetujui DPR (25/3/2008) menjadi UU selain bertujuan memerangi pornografi, perjudian, pemerasan, dan pengancaman, juga dimaksudkan untuk membelenggu kebebasan pers. Mengherankan kenapa Menkominfo tidak pernah mengajak Dewan Pers dan organisasi pers lainnya berpartisipasi dalam pembahasan.

Dengan bangga, Menkominfo Mohammad Nuh menjelaskan, UU ITE dimaksudkan untuk memerangi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan. Menteri—sengaja atau tidak sengaja—tidak mengemukakan UU ITE dapat mengancam kebebasan pers.

UU seperti itu melengkapi paradoks Indonesia. Aktivis prodemokrasi dan pers berjuang agar Indonesia tidak lagi mengkriminalkan pers karena pekerjaan jurnalistik (criminal defamation), melainkan hanya diproses dalam perkara perdata. Perusahaan pers yang penerbitannya memuat karya jurnalistik yang mengandung pencemaran nama baik dapat diancam dengan denda proporsional. Perjuangan masyarakat pers dan penyiaran pada tahun-tahun pertama reformasi berhasil mengupayakan UU Pers (No 40/1999) yang tidak lagi menganut politik hukum kriminalisasi pers.

Paradoksnya, lewat berbagai produk hukum dan UU, pemerintah justru lebih meningkatkan politik hukum pengkriminalan pers.

Pertama, Menteri Hukum dan HAM telah mempersiapkan RUU KUHP, yang lebih kejam dari KUHP buatan pemerintahan kolonial Belanda (1917). KUHP— berisi 37 pasal yang telah mengirim orang-orang pergerakan dan orang-orang pers ke penjara Digul—selama 63 tahun ini masih digunakan memenjarakan wartawan. Kini, RUU KUHP bukannya disesuaikan dengan konsep good governance justru berisi 61 pasal yang dapat memenjarakan wartawan.

Kedua, UU Penyiaran (No 32/2002) dalam beberapa pasal mengakomodasi politik hukum yang lebih kejam. Isi siaran televisi—termasuk karya jurnalistik—bermuatan fitnah, hasutan, menyesatkan, dan bohong diancam dengan pidana penjara bukan hanya sampai dengan lima tahun, juga dapat ditambah dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Ketiga, RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang disahkan bulan ini juga adalah UU paradoksal. Judulnya keterbukaan, isinya ancaman penjara. RUU itu mengatur informasi rahasia dan informasi publik. Informasi publik mestinya terbuka untuk publik, tetapi masih dengan ancaman ”bagi yang menyalahgunakan informasi publik diancam pidana penjara paling lama dua tahun”. Pasal-pasal itu dimaksudkan menghambat efektivitas jurnalisme investigasi untuk menggunakan informasi publik dalam mengungkap kebobrokan birokrasi dan BUMN.

Mengancam pers

Perkembangan teknologi informatika berdampak—demi survival dan kemajuan industri surat kabar—surat kabar harus mengikuti konvergensi media. Produk pers selain disebarkan lewat media cetak juga go on line dan mengembangkan industri dengan memiliki stasiun radio, televisi, dan media internet. Media mainstreams seperti Kompas, Media Indonesia, Tempo kini dapat diakses dalam wujud informasi elektronik. Tampaknya Menkominfo tidak memahami kecenderungan global itu.

Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE dapat dibaca bahwa pers yang mendistribusikan karya jurnalistik memuat penghinaan dan pencemaran nama baik dalam wujud informasi elektronik dan dokumen elektronik diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda sampai satu miliar rupiah.

Persoalannya, UU Pers dan KUHP mendefinisi penghinaan dan pencemaran nama baik berbeda. Sekadar ilustrasi dikemukakan beberapa contoh pertama, berita majalah Tempo ”Ada Tomy di Tenabang” (3/3/03) menurut putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta merujuk KUHP dan UU No 1/1946 adalah karya kejahatan karena berita Tempo itu dinilai memuat kebohongan, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung (9/2/06), berita itu mengacu UU Pers dan tidak melanggar hukum.

Kedua, Majelis Hakim MA (28/8/07) memvonis Time Asia membayar ganti rugi satu triliun rupiah kepada mantan Presiden Soeharto. Laporan investigasi Time edisi 24 Mei 1999 tentang bagaimana mantan Presiden Soeharto membangun kekayaan keluarga dinilai mencemarkan nama baik Soeharto. Padahal, berdasarkan UU Pers, pemberitaan Time itu adalah karya jurnalistik. Kalaupun divonis mencemarkan nama baik, hukumannya maksimum lima ratus juta rupiah.

Ketiga, Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Kristen/AMPK (11/2/08) mengadu kepada Dewan Pers terkait sampul majalah Tempo edisi 4-10 Februari 2008 dengan gambar Soeharto (alm) dan enam putra-putrinya. AMPK berpendapat gambar itu tiruan gambar perjamuan kudus dan menilainya sebagai menghina agama Kristen. Karena itu, lewat Koran Tempo (6/2/08) dan Majalah Tempo edisi 11-17 Februari, Pemimpin Redaksi Tempo Toriq Hadad telah memberikan klarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf kepada umat Kristiani. Dewan Pers berpendapat persoalan telah selesai.

Apa yang dapat disimpulkan dari uraian tersebut di atas? Pertama, politik hukum yang dianut UU ITE ternyata bertentangan dengan UU Pers, tetapi justru ”saling melengkapi” KUHP dalam melumpuhkan fungsi kontrol pers.

Kedua, ketiga penggugat dalam perkara pers di atas, Tomy Winata, pewaris mantan Presiden Soeharto, dan AMPK kini mendapat senjata baru bernama UU ITE untuk melanjutkan gugatan mereka ke pengadilan. Mengacu Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE, ketiga media dapat dipidana penjara sampai enam tahun. Bagaimana bisa? Karena muatan ketiga media itu juga didistribusikan dan ditransmisikan lewat transaksi elektronik, yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan media elektronik lainnya.

Ketiga, ke mana sebenarnya arah kebebasan pers Presiden SBY? Salahkah penulis melakukan penilaian bahwa Presiden SBY sedang dalam dilema, di satu sisi ia menyatakan melindungi kebebasan pers, tetapi di sisi lain justru sadar atau tidak sadar membelenggunya.

Leo Batubara Wakil Ketua Dewan Pers

Jumat, 04 April 2008

Era Keterbukaan


RUU Keterbukaan Informasi Publik Disetujui oleh DPR

KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images
Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga (kiri) menyerahkan berkas laporan UU Keterbu- kaan Informasi Publik kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/4).
Jumat, 4 April 2008 | 00:11 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah delapan tahun diusulkan, Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik atau RUU KIP akhirnya disetujui secara aklamasi oleh DPR dan pemerintah, Kamis (3/4). Kini pemerintah perlu segera membuat gerakan radikal untuk mengubah sikap birokrasi yang semula tertutup menjadi terbuka.

Demikian pandangan Mas Achmad Santosa, Penasihat Senior United Nation Development Programme (UNDP) untuk Hak Asasi Manusia dan Pembaruan Hukum di Indonesia, mengenai disahkannya RUU KIP tersebut.

Achmad Santosa bersama Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law Wiwik Awiati yang pertama kali mengusulkan perlunya RUU ini ke DPR pada Agustus 2000.

Dengan adanya gerakan radikal, Achmad Santosa berharap UU ini nantinya bisa segera diberlakukan, tidak harus menunggu dua tahun hingga 2010, seperti tertuang di aturan peralihan. ”Pemerintah tak boleh santai, harus kerja keras, karena UU ini menuntut adanya perubahan cara berpikir dan sikap,” ungkapnya.

Rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar serta dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh.

RUU KIP mengharuskan semua badan publik untuk mengumumkan informasi publik secara berkala, paling sedikit enam bulan sekali; mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum; juga setiap saat menyediakan informasi publik, antara lain rencana kerja proyek, termasuk perkiraan pengeluaran tahunan, juga prosedur kerja pegawainya yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat.

Paling lambat 10 hari kerja sejak diterimanya permintaan, badan publik bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis apakah informasi yang diminta itu berada di bawah penguasaannya atau tidak. Apabila informasi yang diminta itu tak berada di bawah penguasaannya, badan publik wajib memberitahukan badan publik mana yang menguasai informasi itu.

RUU ini juga mewajibkan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan usaha lainnya yang dimiliki oleh negara untuk menyediakan informasi publik.

Informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik, dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara, instalasi militer, dan sistem persandian termasuk dalam informasi yang dikecualikan untuk dibuka. (sut)

Selasa, 01 April 2008

Tegakkan Hukum Sambil Melawan Hukum

Oleh :Hendra Apriansyah

Jaksa dan Kasubsi Penuntutan Kejaksaan Negeri Madiun

Mengharap tradisi suap lenyap di kejaksaan sama sulitnya ketika seorang jaksa bertahan eksis tanpa suap. Inilah gambaran sebuah dilema seorang jaksa kala ia masuk dalam sistem di kejaksaan. Upaya untuk tampil ‘bersih’ akan terbentur dengan kendala uang harus turut bekerja, untuk biaya operasional dan penyelesaian perkara, mengurus kenaikan pangkat, promosi jabatan dan tempat tugas, relasi atasan bawahan, jabatan struktural-fungsional, jaksa dengan tata usaha, dan lainnya. Semuanya tidak dapat berjalan begitu saja secara gratis.

Maka, sejak awal seseorang meniti kariernya di kejaksaan, ia harus mulai berpikir bagaimana caranya produktif menghasilkan uang lewat suap. Jalan menjadi lempeng apabila orang yang memang dari niatan pertamanya masuk kejaksaan berharap untuk menarik keuntungan dari kinerja suap, tentu akan sinergis.

Penerimaan suap dari pihak tersangka, terdakwa, maupun korban akhirnya menjadi komoditas. Lalu, menjelma menjadi lingkaran setan, menyebar secara merata, dan dinikmati dalam setiap strata pada kinerja kejaksaan. Sudah saatnya kejaksaan secara jujur mengakui dan menerangkan realita suap yang memang menjadi bagian dari sebuah kinerja. Ini agar tidak berlarut lebih lama dan lebih jauh lagi dalam kemelut kerja yang kontraproduktif, menegakkan hukum sambil melawan hukum.

Bila dimulai dari iktikad baik untuk perbaikan dengan menyatakan ini yang sesungguhnya terjadi kepada publik. Maka publik akan mengetahui bahwa masalah kejaksaan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama yang harus dipikirkan, sekaligus dicarikan jalan keluarnya. Institusi kejaksaan adalah ‘wakil rakyat/negara’ dalam melakukan penuntutan suatu tindak pidana dalam rangka melindungi segenap warga negara dari segala bentuk kejahatan.

Sebagaimana ayat reformasi mengatakan, innallaha laa yughoyyiru maa bi qaumin hatta yughoyyiru maa bi anfusihim. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu mengubah keadaan mereka sendiri. Jadi, Jaksa Agung tidak perlu lagi mengungkapkan blunder di kejaksaan dengan menitikkan air mata. Transparansi masalah adalah langkah permulaan untuk mencapai kebaikan bersama dan tidaklah sama artinya dengan membuka aib sendiri. Dengan demikian, berbagai masukan perbaikan dari berbagai komponen bangsa bisa diakomodasi.

Apa artinya bila kebijakan keluar tampak tampil mengesankan, tapi di dalamnya centang-perenang? Menjaga wibawa sebuah lembaga hukum, espirit de corps bukan dengan cara menggunakan standar ganda. Lewat menutup-nutupi seolah jaksa yang muncul di media massa terkena kasus suap hanyalah oknum, bukan korban sistem yang berlaku, hemat penulis ini sudah bukan zamannya lagi.

Semua niat dan perbuatan tidak baik lebih gampang terdeteksi saat ini. Jika ada sebatang jarum akan jatuh dari tempatnya di Amerika, niscaya semua orang di Indonesia bisa tahu pada era informasi global kini. Kasus-kasus besar yang melibatkan kejaksaan dalam perkara suap, sebenarnya representasi dari sebuah kinerja sistem di kejaksaan selama ini. Mereka yang ketahuan terlibat perkara pidana suap harus diproses hukum dan dijatuhi sanksi pidana. Namun, tak cukup sampai di situ.

Jika tidak ada sebuah pembaruan yang mendasar, maka suap di sini akan menjadi suatu voortgezette handeling (perbuatan berlanjut). Ini karena suap masih bekerja efektif tanpa terusik selain dari skandal yang mengemuka di media massa.

Moralitas para jaksa
Moralitas seseorang amat bergantung pada komitmen terhadap agamanya dan nilai kebaikan universal. Paling tidak ada tiga bentuk moral personel kejaksaan dalam menyikapi suap. Pertama, mereka yang sama sekali tidak ingin menerima suap. Biasanya dari awal sudah mengambil langkah preventif paling aman. Caranya dengan berada di pusdiklat atau di litbang kejaksaan sehingga tidak bersentuhan sama sekali dengan perkara.

Bagi mereka yang berada di luarnya, ikut serta menangani perkara, akan menjadi orang ‘asing’ di tengah kinerja suap. Mereka kelompok idealis yang menyadari serta mengaplikasikan pesan Muhammad SAW seorang nabi dan rasul, ‘arraasyi wal murtasyi fin naar’.

Artinya, orang yang disuap dan menyuap masuk neraka. Nabi dalam hadis ini berkata dengan tegas tanpa tedeng aling-aling. Kelompok ini golongan minoritas, sering dijuluki ‘sok suci’, dan ‘munafik, sering tersingkir. Beginilah kualitas bangsa kita kalau ada orang baik dianggap aneh. Kedua, penerima suap untuk memenuhi kewajaran hidup, sekadar bisa beli rumah sederhana, menyekolahkan anak, dan seterusnya. Ada filsafat Jawa yang sangat masuk di sini, ‘ngono yo ngono, ning ojo ngono’. Dalam aktivitas kerjanya menerima suap untuk dapat hidup selayaknya.

Ketiga, penerima suap untuk memperkaya diri dan mengejar ambisi pribadi (the survival of the fittest). Poin kedua dan ketiga ini celakanya merasa aman dengan kondisi yang ada. Mereka sebenarnya willens en wetens (mengetahui dan menghendaki) atau dengan sengaja (‘de (bewuste) richting van del wil opeen bepaald misdrijf’).

Bahkan, sudah pada level yang paling parah, yakni menikmati kondisi tersebut. Naudzubillahi min dzalik, sehingga yang menjadi pembicaraan adalah mana perkara yang berisi pundi-pundi uang, jabatan strategis, dan tempat tugas yang ‘basah’ untuk diperebutkan. Pada tataran ini, perbuatan tercela dipandang menjadi perbuatan baik. Rasa keadilan membias ke mana-mana mengikuti kekuatan bargaining pihak berperkara. Uang suap menjadi semangat untuk hidup dan bekerja.

Birokrasi yang menopang suap
Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan tergolong masih sangat tertinggal dengan organisasi modern yang meletakkan nilai demokratis sebagai sistem nilai tertinggi. Terpola dari lembaga rencana tuntutan, memosisikan seorang pimpinan sebagai pengambil putusan tanpa harus melibatkan atau meminta masukan dari yang lain.

Pola demikian hanya menciptakan loyalitas dalam arti sempit. Loyal pada kejaksaan semata, tetapi lupa untuk lebih loyal kepada Allah Pemilik Keadilan (al-hakim) dan kepentingan bangsa dan negara. Lebih tragis lagi lembaga cenderung menjadi ‘mesin pencari’ uang. Efeknya uang hasil suap tersalurkan lebih panjang alurnya, ke atas, ke bawah, maupun secara horizontal. Selain itu, jabatan struktural telah menciptakan kasta. Seorang dengan jabatan kajari sudah mulai pensiun untuk mengikuti sidang di pengadilan.

Ia sudah merasa punya kelas tersendiri, jadi tidak perlu lagi menangani perkara di persidangan, cukup duduk di ruangan sambil menandatangani berbagai keperluan administrasi. Bandingkan dengan hakim ketua pengadilan yang masih menjalani sidang walaupun sekadar perkara pencurian ayam sebab mereka menyadari menangani perkara adalah tugas pokoknya, jauh lebih penting dari sekadar urusan administrasi.

Reformasi di tubuh kejaksaan mendesak dilakukan agar tidak berjatuhan lagi para jaksa yang menjadi korban sistem yang dipenuhi dengan kinerja suap. Juga tidak terjadi lagi para jaksa yang memasang iktikad dan sengaja menikmati uang suap lewat sistem kejaksaan yang memang mendukung untuk itu.

Ikhtisar:

- Praktik suap-menyuap banyak terjadi saat ada perkara.
- Perlu ada perubahan sistem di lembaga kejaksaan.