Senin, 22 Oktober 2007

MA, Mahkamah Ajaib


Saldi Isra

Gila! Begitu reaksi yang muncul saat seorang wartawan sebuah harian di Padang menyampaikan bahwa permohonan kasasi 10 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat periode 1999-2004 diterima Mahkamah Agung.

Ketika si wartawan membacakan kutipan putusan kasasi MA itu, berulang-ulang saya mengucapkan kata "gila", "kacau", dan "aneh". Penutup dari rangkaian kata itu, saya berujar kepada si wartawan, "putusan ini merupakan alat pembunuh massal gerakan antikorupsi terutama di daerah".

Sambil menyebarkan berita duka, via pesan singkat, ini kepada sejumlah penggiat antikorupsi, saya teringat putusan kasasi majalah Tempo dan kasus korupsi dana nonbudgeter Bulog yang melibatkan Akbar Tandjung. Putusan majalah Tempo dan dana nonbudgeter Bulog menjadi dekat, seperti baru terjadi kemarin.

Meski kasus majalah Tempo dan dana nonbudgeter Bulog sering disebut sebagai tragedi penegakan hukum yang memilukan, putusan kasasi 10 anggota DPRD Sumbar itu jauh lebih tragis. Tidak sekadar mempertontonkan kegilaan sekaligus kekacauan dan inkonsistensi MA dalam memutus perkara, putusan kasasi itu juga menjungkirbalikkan logika hukum.

Berbeda 180 derajat

Karena melibatkan 43 anggota DPRD, Pengadilan Negeri Padang membagi kasus ini menjadi lima berkas perkara. Satu berkas perkara terdiri dari tiga pimpinan dewan. Sementara itu, 40 orang lain dibagi menjadi empat berkas perkara, masing-masing 10 anggota dewan. Meski dipisah, semua berkas tetap menjadi satu kesatuan. Untuk menghindari disparitas putusan, pengadilan negeri dan pengadilan tinggi memutus semua berkas perkara secara bersamaan.

Di tingkat kasasi, sepertinya, pola yang dilakukan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tidak terjadi. Selain majelisnya berbeda, pengambilan keputusan juga tidak dilakukan secara bersamaan. Buktinya, empat berkas perkara (33 orang), dengan majelis hakim yang dipimpin Parman Suparman anggota Arbijoto dan Abbas Said, sudah diputus sejak 2 Agustus 2005. Adapun satu berkas lain (10 orang), dengan majelis yang dipimpin Bagir Manan anggota Iskandar Kamil dan Djoko Sarwoko, baru diputus 10 Oktober 2007, tiga hari menjelang Idul Fitri lalu.

Meskipun demikian, diduga ada tiga skenario yang terjadi di MA. Pertama, semua berkas dipegang satu majelis dan pada 2 Agustus 2005 sudah ada putusan final dalam bentuk menolak permohonan kasasi.

Kedua, dari awal berkas perkara memang dipegang lebih dari satu majelis dan pada 2 Agustus 2005 majelis yang dipimpin Bagir Manan berbeda pendapat dengan majelis lain.

Ketiga, majelis terpisah dan masing-masing menganggap berkas perkara yang mereka pegang terpisah dengan berkas perkara yang lain.

Dari semua skenario itu, skenario ketiga jauh dari logika hukum. Apalagi sejak di pengadilan negeri, hakim yang menangani kasus ini bukan merupakan majelis yang terpisah. Meski ada lima berkas perkara, sejak proses penyidikan sampai persidangan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, kasus korupsi 43 anggota DPRD Sumbar merupakan satu perkara. Karena itu, patut diduga, pada 2 Agustus 2005 lima berkas perkara sudah diputus MA.

Sepanjang tidak terjadi disparitas, perbedaan waktu menyampaikan putusan masih dapat dipahami. Namun, ketika majelis Bagir Manan memutus berbeda 180 derajat dari putusan majelis Parman Suparman dua tahun lalu, putusan itu sulit dicerna akal sehat. Sebagaimana diberitakan Kompas (19/10), majelis Parman Suparman menolak permohonan kasasi empat berkas perkara alias menghukum 33 anggota DPRD. Sementara itu, majelis yang dipimpin Bagir Manan mengabulkan kasasi alias membebaskan 10 anggota DPRD.

Tekanan politik

Mencermati perbedaan yang terjadi, saya kian percaya, logika hukum hanya berlaku pada kasus-kasus kecil. Untuk itu, menarik menyimak kembali pendapat peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego, hanya sedikit kasus besar di Indonesia yang ditentukan logika hukum. Banyak pelaku kasus besar yang akhirnya lepas setelah melakukan lobi, negosiasi, dan deal-deal tertentu (Kompas, 14/1/2004).

Barangkali, dari jumlah kerugian yang ditimbulkan, kasus korupsi 43 anggota DPRD Sumbar secara relatif tidak masuk kategori kasus besar seperti dikatakan Indria Samego. Namun, jika dilihat dari spektrum politik yang mengitarinya, kasus itu dapat dimasukkan menjadi salah satu kasus besar negeri ini. Spektrum politik itu kemudian memberi bobot dan tekanan politik besar terhadap kasus ini.

Bisa jadi, karena tekanan politik yang tinggi, satu berkas perkara sengaja (by design) dipisah. Agar tetap terasa dalam bingkai hukum, satu berkas yang tersisa didalilkan belum diputus. Celakanya, satu berkas yang tersisa juga dijadikan alasan kejaksaan untuk tidak mengeksekusi empat berkas perkara yang sudah ditolak kasasinya oleh majelis Parman Suparman. Pada titik itu, penundaan satu berkas bisa jadi merupakan exit-strategy berbagai pihak agar penyelesaian kasus ini tidak pernah sampai ke titik kulminasi.

Dalam hal ini, manuver sejumlah elite politik dalam tenggat 2005-2006 cukup menjadi bukti. Misalnya, saat satu berkas perkara yang tersisa di MA masih menggantung, Komisi II dan III DPR merekomendasikan untuk menghentikan semua kasus korupsi di daerah terutama yang terkait penggunaan APBD (Kompas, 4/10/2006). Akibatnya, penegak hukum menjadi gagap melanjutkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD.

Karena itu, tidak perlu merasa aneh dengan putusan aneh kasasi MA itu. Melihat spektrum politik di sekitar kasus korupsi di daerah, putusan itu sudah dirancang menjadi putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika hukum, dan tidak konsisten. Yang jelas, ini bukan hasil karya sebuah mahkamah yang agung, tetapi hasil kreasi sebuah Mahkamah Ajaib.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; Mantan Koordinator Forum Peduli Sumatera Barat

Tidak ada komentar: