Senin, 19 November 2007

Perundang-undangan


"Indonesiakan" Hukum, Peralihan Harus Dibatasi

Bandung, Kompas - Sistem yang mandiri dan kontekstual merupakan kunci reformasi hukum. Maka, produk hukum warisan kolonial seyogianya tidak lagi digunakan. Untuk itu, masa transisi yang diatur di dalam aturan peralihan amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 perlu dibatasi secara tegas.

Pendapat itu disampaikan pakar hukum Universitas Hasanudin, Prof Achmad Ali, dalam Diskusi Nasional "Rekonstruksi Kehidupan Bernegara di Indonesia", Sabtu (10/11) di Balai Pertemuan Ilmiah Institut Teknologi Bandung.

Aturan hukum warisan kolonial yang dikritisinya salah satunya adalah wetboek van strafrecht (KUHP). "Wetboek (KUHP) ini kan seluruhnya dikutip dari produk Belanda (wetboek van strafrecht for Netherland Indie). Bahkan, hingga titik koma. Padahal, di negara asalnya, KUHP sudah sejak 100 tahun lalu tidak lagi dipakai sehingga banyak sekali aturan yang tidak lagi sesuai, tidak bisa diterapkan. Misal delik pemerkosaan," ujarnya.

Dalam perkembangannya, kodifikasi (wetboek) hukum pidana ini juga tidak lagi bisa mengikuti perkembangan zaman, terutama pada era abad ke-21 ini. Delik pidana dunia maya salah satunya. Maka, sudah sewajarnya jika dilakukan pembaruan terhadap aturan ini. Tentunya hal itu disesuaikan dengan kondisi nasional.

Mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini juga mengkritisi sistem hukum Indonesia yang kaku.

"Terlalu mendewakan aspek legalitas. Padahal, di dunia modern aspek hukum positif mulai ditinggalkan. Merebaknya pranata hukum baru, yaitu nonlitigasi melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrasi, menjadi tren baru. Bangsa ini menjadi bangsa gado-gado, Barat tidak jadi, Timur pun tidak terlihat," ucapnya. (JON)

Tidak ada komentar: