Senin, 19 November 2007

Advokat Tak Tahu Aliran Dana



Soal BI Jangan Diselesaikan "Adat"

Jakarta, Kompas - Sejumlah advokat, yang pernah mendampingi petinggi Bank Indonesia yang disangka melakukan korupsi, mengaku tidak mengetahui adanya dana yang diduga disalurkan kepada penegak hukum. Mereka hanya menerima honor bantuan hukum, sesuai kontrak resmi dengan BI, dan tak tahu ada dana lainnya.

Advokat Indriyanto Seno Adji dan Luhut MP Pangaribuan yang dihubungi terpisah, Senin (12/11) di Jakarta, mengaku hanya menerima dana sesuai dengan kontrak untuk memberikan bantuan hukum kepada (mantan) petinggi BI. Tak ada dana lain yang dialirkan melalui mereka.

"Saya, seperti kontrak bantuan hukum resmi BI, menerima Rp 1,43 miliar. Saya satu tim dengan Albert Hasibuan dan Pradjoto. Dana yang kami terima dari BI, ya, sesuai kontrak," ujar Luhut.

Selain dirinya, kata Luhut, Albert menerima Rp 1,43 miliar dan Pradjoto menerima Rp 551,1 juta sebagai honor mendampingi mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono. Ia tidak mengetahui bahwa ada Rp 25 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) bagi kliennya itu. "Jika ada Rp 25 miliar, kami tak tahu dan tak pernah menerimanya pula," kata Luhut lagi.

Indriyanto mengakui firma hukumnya mendampingi mantan Direktur BI Paul Sutopo, Heru Supraptomo, dan Hendrobudianto di tingkat banding dan kasasi. Sesuai kontrak dengan BI, firma hukumnya menerima honor Rp 3,314 miliar. "Yang saya terima >kern 502m<>h 9737m,0<>w 9737mkern 251m<>h 9738m,0<>w 9738m<

Namun, Indriyanto mengaku tidak tahu-menahu YPPI yang dimiliki BI mengeluarkan dana Rp 30 miliar untuk membantu penanganan perkara ketiga mantan direktur itu. "Kami menerima sesuai kontrak saja," katanya. Indriyanto dan Luhut juga tak tahu dana YPPI untuk apa dan siapa.

Advokat Maiyasyak Johan juga membenarkan firma hukumnya, Maiyasyak, Rahardjo, and Partnerts, pernah memberikan bantuan hukum kepada Paul Sutopo. Namun, ia tak mau mengungkapkan honor yang diterimanya.

"Berapa saya dibayar BI, itu rahasia hubungan pengacara dengan klien. Saya kira tidak patut dijelaskan. Yang pasti hubungan kantor saya dengan BI bersifat kontraktual antara pemberi jasa dan penerima jasa," ujarnya.

Maiyasyak, yang kini anggota Komisi III DPR, menegaskan, ia ketika itu tidak hanya mendampingi Paul, tetapi juga Gubernur BI Syahril Sabirin. Untuk itu, ia menerima kontrak kerja dan surat kuasa dari BI.

Dalam surat Ketua BPK Anwar Nasution kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertanggal 14 November 2006, saat mendampingi Paul, firma hukum Maiyasyak menerima honor Rp 6,748 miliar. Dana itu dari anggaran BI. Namun, YPPI juga mengeluarkan dana Rp 10 miliar.

Penyelesaian adat

Secara terpisah, Senin, Wakil Ketua MPR AM Fatwa meminta Presiden tidak menyelesaikan secara "adat" dugaan penyelewengan dana BI, yang mengalir lewat sejumlah pejabat dan mantan pejabat BI kepada penegak hukum atau anggota DPR periode 1999-2004. "Hentikan penyelesaian ’adat’. Kuncinya di KPK," ujarnya.

Fatwa juga mengingatkan anggota KPK yang masa jabatannya akan segera berakhir agar bekerja konsisten dan tidak pilih-pilih. "Ini ujian bagi KPK. Momen terakhir ini akan menunjukkan karakter dan konsistensi KPK. Manusia juga yang paling banyak dinilai justru di masa akhir hidupnya," ujarnya mengingatkan.

Sebagai Wakil Ketua DPR periode 1999-2004, Fatwa juga menegaskan, Dewan terbuka untuk diperiksa. Ia berharap lembaga lain pun membuka diri.

Mantan Wakil Ketua Komisi IX DPR Ali Masykur Musa, yang ditemui terpisah, mengakui adanya uang dari BI untuk diseminasi pembahasan undang-undang (UU). Namun, hal itu harus dibedakan dengan gratifikasi.

Ia mencontohkan, BI sering mengadakan seminar untuk sosialisasi UU dan hampir semua anggota Komisi IX yang dianggap memahami persoalan diundang sebagai pembicara. Mereka disetarakan dengan ahli. Kalau ada pemberian uang, itu sebatas tiket pesawat kelas bisnis dan honor.

"Honor pun tidak lebih dari Rp 5 juta," papar Ali Masykur. Menurut dia, yang harus dikejar adalah pihak BI karena dalam laporan BPK angkanya menjadi luar biasa besar, yaitu mencapai Rp 31,5 miliar yang diduga dialirkan kepada anggota DPR. "Dana itu fantastis," katanya.

Mantan anggota Komisi IX DPR Agus Condro Prayitno juga mengaku tidak tahu-menahu adanya dana Rp 31,5 miliar dari BI. Ia baru masuk Komisi IX pada akhir tahun 2003. "Usut saja yang tuntas. Kalau terbukti, kenai tindakan hukum," ucapnya.

Sekitar 20 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 kini masih aktif menjadi anggota DPR. Ada juga yang kini duduk di kabinet, yaitu Paskah Suzetta, Baharuddin Aritonang menjadi Wakil Ketua BPK, serta Antony Zeidra Abidin yang kini Wakil Gubernur Jambi. (SUT/VIN/TRA)

Tidak ada komentar: