Selasa, 18 Maret 2008

Aklibat Hukuim Kebijakan PLN

PLN Penanggungjawab Tarif Disinsentif
Selasa, 18 Maret 2008 | 01:17 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah menyatakan, penerapan tarif insentif dan disinsentif merupakan aksi korporat dan tidak memerlukan keputusan presiden. Hal tersebut dikatakan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfataan Energi Jack Purwono di Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (17/3).

"Itu aksi korporat karena tidak menaikkan tarif dasar listrik. Karena akis korporasi cukup dengan surat keputusan direksi PT PLN (Persero)," ujar Purwono. Menurut dia, kebijakan itu diterapkan untuk menghemat subsidi sebesar Rp 10 triliun. Saat ini subsidi listrik naik menjadi Rp 64,9 triliun dari yang dialokasikan Rp 54,9 triliun.

Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar menyatakan, surat keputusan direksi sudah diteken sejak Jumat (14/3). "PLN hanya pelaksana. Dasar hukum ditentukan pemerintah," katanya.

Fahmi menjelaskan, tarif insentif dan disinsentif tetap diberlakukan mulai bulan depan dengan penagihan pada Mei. "Kami akan sosialisasi dulu ke masyarakat," tuturnya.

Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Alvin Lie mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tariff disinsentif tersebut. "Ini kebijakan pemerintah atau korporat," katanya.

Menurut Alvin Lie, keputusan tarif listrik seharusnya dalam bentuk peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Dia juga mempertanyakan dampak hukum dari kebijakan disinsentif yang diterapkan PLN. "Karena keputusan presiden menyatakan tidak akan ada kenaikan tarif listrik," ujarnya.

Ketua Advokasi Konsumen Listrik Indonesia Soetjipto Soewono menyatakan, rencana PLN menerapkan tarif insentif dan disinsentif melanggar Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. "Tarif listrik merupakan kewenangan pemerintah dan ditetapkan melalui keputusan presiden setelah mendapat persetujuan DPR," ujar mantan Ahli Utama PLN.

Menurut Soetjipto, penerapan disinsentif merupakan kenaikan tariff dasar listrik terselubung. Pelanggan rumah tangga golongan R1 (450-2.200 VA) dan Bisnis golongan B1 yang paling menderita akibat kebijakan itu. "Pelanggan R1 dan B1 jumlahnya sekitar 30 juta pelanggan," ujarnya.

Sedangkan Sekretaris Advokasi Konsumen Listrik Indonesia Yunan Lubis mengatakan, jika disinsentif tetap diberlakukan, hal itu menunjukan arogansi pemerintah dan PLN. "Pemerintah dan PLN telah menginjak-injak undang-undang," kata ahli hukum kelistrikan ini. Pelanggaran undang-undang, kata dia, sanksinya adalah pidana. "Rakyat bisa memperkarakannya."

Yunan yang pernah menggugat untuk membatalkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi menjelaskan, pihaknya akan menampung keluhan rakyat dan bersedia menggugat PLN dan pemerintah. "Kami bersedia melakukan class action ke pengadilan untuk membatalkan disinsentif," ujarnya. Dia menambahkan, tarif disinsentif merupakan bentuk kesewenang-wenangan kebijakan pemerintah dan PLN kepada rakyat.

ALI NUR YASIN | RR ARIYANI | YULIAWATI

Tidak ada komentar: