Senin, 17 Maret 2008

Jelaga di Wajah Lembaga Penegak Hukum

Senin, 17 Maret 2008 | 00:14 WIB

SUWARDIMAN

Tertangkapnya Kepala Tim Jaksa Pemeriksa Kasus BLBI Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memperkuat keyakinan publik bahwa tidak ada lembaga yang bersih dari korupsi. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi alat pemberantas korupsi makin memperlihatkan citra sebagai lembaga yang terbelit korupsi.

Kekecewaan publik terhadap jajaran lembaga penegak hukum tampak menonjol. Demikian kesimpulan dalam jajak pendapat yang dilakukan pada 12-13 Maret 2008 terhadap 867 responden di 13 kota di Indonesia.

Sebanyak 73,2 persen responden menyatakan tidak ada lembaga negara yang bebas dari perilaku korupsi aparatnya.

Dari lembaga-lembaga penegak hukum yang ada, kejaksaan dan kepolisian disebut sebagai lembaga yang belum bebas dari perilaku korupsi oleh paling banyak responden. Masing-masing lembaga itu disebut oleh 95,4 persen dan 95,2 persen responden. Bahkan, KPK pun dinilai oleh 73,4 persen responden tidak bebas dari korupsi.

Tertangkap dan diadilinya penyidik KPK, Ajun Komisaris Suparman, dalam perkara pemerasan saksi kasus PT Sandang beberapa waktu lalu menjadi titik balik yang menurunkan kepercayaan pada lembaga ini.

Peran lembaga negara sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan Mahkamah Agung, selama ini semakin jauh dari harapan publik.

Lembaga kejaksaan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. UU ini merupakan pembaruan atas UU No 5/1991 tentang Kejaksaan. Pembaruan UU ini diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peran lembaga kejaksaan.

Lembaga negara ini diharapkan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Alih-alih melakukan penguatan lembaga, citra lembaga kejaksaan malah semakin tersungkur. Kejaksaan tertampar oleh skandal uang Rp 6,1 miliar yang diduga diterima Urip dari Artalyta Suryani di sekitar kediaman pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim.

Uang itu diduga terkait dengan kasus BLBI, khususnya yang diterima BDNI. Citra Kejaksaan Agung pun menurun cukup drastis, dari dinilai baik oleh 29,3 persen responden Februari tahun lalu menjadi hanya oleh 22,3 persen responden saat ini.

Kasus suap aparat hukum seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, jaksa yang ditengarai terkait suap tercatat, antara lain, Cecep Sunarto dan Burdju Ronni. Mereka menerima uang Rp 550 juta dari Ahmad Djunaidi, terdakwa korupsi PT Jamsostek. Keduanya divonis satu tahun delapan bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Februari tahun lalu.

Kasus suap dalam proses pengadilan korupsi memang bukan barang baru. Sederet kasus suap dalam pengungkapan korupsi juga banyak melibatkan aparat hukum (lihat tabel).

Ini menggiring kegamangan publik dalam menyikapi keseriusan pemerintah dalam membabat habis korupsi di negeri ini. Lebih dari separuh responden (55,2 persen) menilai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak serius. Sebagian lain (42,7 persen) menilai ada keseriusan dalam penanganan persoalan korupsi di negeri ini.

Mayoritas responden (74,4 persen) menyatakan tidak percaya pada sistem pengadilan di Indonesia. Hanya dua dari 10 responden yang berpendapat sebaliknya. Sejumlah aturan hukum yang dibuat sejak tahun 1998 seharusnya mampu menekan praktik korupsi di negeri ini. Produk perundang-undangan yang lahir selama 10 tahun terakhir secara substansial sudah lebih baik jika dibandingkan dengan produk hukum pada era sebelum reformasi. Namun, instrumen hukum yang diciptakan dalam praktiknya tidak sejalan dengan realitas di lapangan.

Penguatan lembaga penegakan hukum di negeri ini seolah tidak bermakna apa-apa jika dalam praktiknya tidak dibarengi dengan sumber daya manusia yang kredibel. Ironis! Aparat yang seharusnya menjadi ujung pedang menebas endemik korupsi justru terseret menjadi pelaku korupsi. Menumpas habis korupsi di negeri ini tampaknya masih akan melalui perjalanan panjang.... (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: