Jumat, 07 Maret 2008

Rencana Uji Materi DPD akibat Penataan Sistem Legislasi Kacau


Kamis, 6 Maret 2008 | 02:00 WIB

Jakarta, Kompas - Upaya Dewan Perwakilan Daerah atau DPD untuk mengajukan uji materi (judicial review) RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang baru disetujui DPR—tetapi belum disahkan pemerintah dan belum dilaksanakan—itu menunjukkan sistem penataan lembaga legislatif yang kurang pas.

”Perbedaan kewenangan DPR dan DPD dalam membuat UU membuat kedua lembaga legislasi itu berkonflik,” kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria Samego, Rabu (5/3). Walaupun demikian, upaya DPD untuk melakukan uji materi terhadap RUU pemilu legislatif itu merupakan hal yang sah dan hak konstitusi setiap warga negara yang merasa dirugikan.

Indria menilai, rencana penggugatan oleh DPD itu terjadi akibat ketidaksamaan wewenang DPR dan DPD dalam membuat produk legislasi. Namun, hal itu merupakan ketentuan dalam UUD 1945.

”DPD seharusnya mendapat peran yang sama seperti DPR sehingga dapat menghasilkan UU yang dapat diterima semua pihak,” katanya.

Indria menambahkan, semua proses legislasi yang ada di parlemen masih mengedepankan pertimbangan masing-masing pribadi, partai politik, dan institusi. Karena itu, sistem ketatanegaraan yang mengatur lembaga legislasi perlu segera ditata ulang.

Dalam kasus RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena DPR merupakan lembaga yang membuat, akibatnya aspirasi DPD diabaikan.

Seharusnya, DPR adalah lembaga yang mewakili warga negara, sedangkan DPD adalah lembaga yang mewakili daerah. ”Karena itu, syarat anggota DPD boleh dari partai politik sebagai hal yang keliru,” ujar Indria. Aturan tersebut menunjukkan tingginya ambisi partai politik untuk membagi-bagi kekuasaan dengan para kadernya di lembaga legislatif.

Jika DPD mewujudkan niatnya untuk mengajukan uji materi RUU pemilu legislatif tersebut, maka pelaksanaan tahapan pemilu dipastikan akan terganggu.

Kriminalisasi

Dalam kesempatan terpisah, mantan Panitia Pengawas Pemilu 2004 Topo Santoso mengatakan, RUU Pemilu yang baru saja disetujui DPR dan pemerintah itu memuat 51 pasal mengenai tindak pidana pemilu.

Padahal, dalam aturan yang lama, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 hanya memuat 31 pasal tindak pidana pemilu.

”Penambahan aturan itu menunjukkan adanya kriminalisasi dalam UU Pemilu,” kata Topo dalam diskusi ”UU Pemilu Baru dan Konsekuensinya” yang diselenggarakan Centre for Electoral Reform (Cetro), Rabu siang.

Pembicara lain adalah mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti, Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay, Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Agus Purnomo, dan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin.

”Sebagian besar pasal-pasal itu mengancam penyelenggara pemilu, mulai dari KPU sampai ke KPPS. Saya khawatir kinerja penyelenggara pemilu akan terganggu dan waktu mereka malah habis untuk mengurusi tindak pidana pemilu dibandingkan menyiapkan pemilu,” kata Topo.

Dia mengingatkan KPU dan Badan Pengawas Pemilu agar berhati-hati menyelenggarakan pemilu. ”Mereka harus berhati- hati bila tidak ingin dibui. Untuk Bawaslu, jangan sampai nanti menjadi badan pengawas KPU karena tugasnya mengawasi pemilu,” kata Topo.

Sementara Lukman mengungkapkan banyaknya pasal tindak pidana pemilu dalam UU Pemilu karena banyak masukan ke Pansus RUU Pemilu.

”Terus terang, banyak masukan dari berbagai kalangan, melihat dari pengalaman Pemilu 2004 dan pilkada, di mana ada temuan-temuan yang menyatakan tidak sedikit penyelenggara pemilu yang ikut ’bermain’. Karena itu perlunya intensitas pengawasan terhadap penyelenggara pemilu,” papar Lukman. (mzw/SIE)


 

Tidak ada komentar: