Senin, 17 Maret 2008

Skandal BLBI (1)

Mungkinkah Membuka Kembali Kasus BLBI?
Senin, 17 Maret 2008 | 00:16 WIB

Suhartono

Pascatertangkap tangannya jaksa Urip Tri Gunawan memunculkan desakan agar penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dibuka lagi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Urip adalah kepala tim jaksa pemeriksa yang khusus menangani BLBI yang diterima Bank Dagang Nasional Indonesia (Sjamsul Nursalim) dan Bank Central Asia (Anthony Salim).

Banyak yang menyatakan, dengan itikad baik pemerintah, dengan mengabaikan kepentingan politik dan lainnya, kasus tersebut bisa dibuka lagi.

Alasan paling sederhana adalah rasa keadilan. Rasa keadilan itu di antaranya terkait dengan jumlah pengembalian utang BLBI yang tak sebanding dengan kewajiban utangnya. Kalaupun telah dibayar lunas dengan aset, nilainya saat dijual kembali tak mencapai nilai 100 persen. Tingkat pengembalian utang (recovery rate) rata-rata hanya 20-30 persen.

Negara, hingga kini, justru harus menanggung akibatnya untuk menutup kerugian. Sebut saja dengan pembayaran pokok dan bunga utang untuk obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk mendanai bank-bank tersebut.

Setiap tahunnya hampir 25 persen dari total volume APBN harus dibayarkan. Ironisnya, mereka yang harusnya bertanggung jawab dengan BLBI sekarang ini justru ongkang-ongkang kaki, menikmati keuntungan dari BLBI yang pernah diterimanya, dengan usaha yang baru.

Sikap Kejagung

Dalam keterangannya di Kejaksaan Agung, 29 Februari 2008, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengumumkan, penyidikan BLBI dihentikan karena kasus itu tak memiliki bukti hukum.

Dua hari kemudian Kemas kembali menegaskan hal serupa beberapa saat setelah Urip tertangkap tangan petugas KPK di sekitar rumah Sjamsul Nursalim dengan segepok uang senilai Rp 6,1 miliar. Ia menyatakan, Kejagung tetap tidak akan memeriksa kembali kedua kasus penerima BLBI senilai Rp 52 triliun (BCA) dan Rp 29 triliun (BDNI) itu.

Juga dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR pada 5 Maret lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan tak akan membuka kembali kasus BLBI. Namun, karena ”ditekan” anggota Komisi II DPR, Hendarman akhirnya melunak. Menurut dia, jika memang ada keterkaitan antara Urip dan penghentian kasus BLBI, ia mempersilakan dibukanya lagi kasus itu.

Jelas suap

Menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, dengan tertangkapnya Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani, patut diduga adanya bukti awal untuk membuka kembali penyelidikan kasus BLBI. ”Adanya Urip dan Artalyta Suryani yang tertangkap tangan di sekitar rumah Sjamsul Nursalim itu jelas sebuah dugaan suap. Itu berarti ada sesuatu yang akan diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu. Apalagi sudah ada yang menerima,” kata Romli.

Secara hukum, sudah ada bukti-bukti awal tentang fakta bahwa yang satu Kepala Tim Jaksa Penyelidik BLBI dan satu lagi orang yang terkait dengan pemeriksaan Kejagung. Inilah yang disebut prima facie evidence. ”Tak perlu ada pengakuan. KPK tepat jika dua-duanya dijadikan tersangka. Dengan dugaan kasus suap, KPK harus bisa menjelaskan keterkaitan dengan kasus BLBI,” katanya.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu jika salah seorang yang tengah diperiksa terbukti melakukan korupsi, lanjut Romli, KPK bisa mengambil alih penyelidikannya.

Dalam perjalanannya untuk penyelesaian kasus BLBI, Romli juga menilai selama ini pemerintah hanya terfokus pada sisi penyelesaian perdata tanpa dikawal dengan penyelesaian pidananya, yang dimulai ketika para debitor BLBI dinyatakan gagal (default) membayar kewajibannya secara perdata dengan sejumlah aset.

”Penyelesaian secara komersial perdata seyogianya paralel dengan penyelesaian pidana. Waktu itu, Kejagung sebenarnya bisa melakukan penyelidikan setiap transaksi penyelesaian perdata dengan memulai mencari tahu dan menelusuri kewajiban pengembalian utang melalui penyerahan aset-aset debitor. Saat debitor gagal bayar, Kejagung harusnya sudah berperan, seperti menangkap dan memeriksanya,” ujar Romli.

Jika sekarang ini aparat penegak hukum akan menelusuri pengembalian utang dengan aset-aset tersebut, Romli memang menilai agak terlambat. ”Penyelesaian perdata yang selama ini ditempuh pemerintah terbukti tidak memiliki daya guna dan hasil yang optimal untuk mengembalikan recovery rate atau tingkat pengembalian utang BLBI,” kata Romli.

Oleh sebab itu, tak mengherankan bila masyarakat kini mencoba menaruh harapan kepada KPK untuk menuntaskan kasus ini.

Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, dasar KPK melakukan pemberantasan korupsi adalah UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, kebijakan BLBI dikeluarkan tahun-tahun sebelumnya, sementara kewenangan KPK tak berlaku surut.

Sejak KPK masih dipimpin Taufiequrachman Ruki, KPK terkesan ”menghindar” untuk memeriksa kasus BLBI.

Namun, sejak kasus Urip mencuat, Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto mengatakan, KPK siap mengambil alih kasus BLBI yang selama ini ditangani Kejagung asalkan ada aturan yang memerintahkan pengambilalihan itu (Kompas, 13/3).

BLBI sudah selesai?

Bagi Adnan Buyung Nasution, kasus BLBI tak mungkin dibuka kembali. Apalagi, kasus mantan kliennya itu dianggap sudah selesai dengan adanya surat keterangan lunas (SKL) dan penghentian perkara oleh Kejagung.

Pengacara non-aktif, yang pernah mendampingi Sjamsul Nursalim saat di Kejagung dan melakukan negosiasi dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), itu mengingatkan agar kasus Urip yang sekarang tengah diperiksa KPK harus dibedakan dengan kasus BLBI secara menyeluruh.

Menurut Adnan, BDNI sudah menyelesaikan pemenuhan kewajibannya kepada pemerintah dengan membayar lunas Rp 1 triliun dan sejumlah aset senilai Rp 28 triliun. Penyelesaian itu dibuktikan dengan adanya SKL yang dikeluarkan BPPN. Selanjutnya, dengan SKL tersebut, Kejagung menghentikan kasusnya dengan surat penghentian penyidikan perkara (SP3).

Tentang kaitan Urip dengan Artalyta, Adnan mengaku dirinya sama sekali tidak mengetahuinya. Ia, kini, tidak lagi menjadi penasihat hukum Sjamsul. Bahkan, untuk mengetahui kasus tersebut dan peranan Artalyta, Buyung mengaku sudah menugaskan anak buahnya untuk menemui Sjamsul Nursalim, tetapi belum juga berhasil.

”Jadi, saya belum tahu apakah eks klien saya melakukan hal yang tidak patut seperti itu. Saya juga belum tahu peranan apa dan siapa yang menyuruh Artalyta membayar kepada Urip,” katanya.

Namun, Adnan mengakui kasus BLBI memang sangat sulit untuk dibuka lagi dan dilematis. Oleh sebab itu, katanya, dalam kasus BLBI ini pemerintah harus menjelaskan secara rinci, termasuk pilihan pemerintah menyelesaikan perkara itu secara perdata dan di luar pengadilan (out of court settlement). Penyelesaian itu didasari dengan perjanjian master of settlement and acquisition agreement/ MSAA (perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan jaminan aset), juga master of refinancing and note issuance agreement/ MRNIA (perjanjian penyelesaian BLBI dengan tambahan jaminan pribadi), serta perjanjian akta pengakuan utang (APU).

Dalam klausul MSAA dan MRNIA terdapat pemberian pelepasan hukum (release and discharge/R&D) untuk pelanggaran batas maksimum pemberian modal (BMPK) bagi debitor yang sudah memenuhi kewajiban utang BLBI-nya.

Pemerintah, kata Buyung, harus menjelaskan kepada masyarakat bahwa masalahnya sudah diselesaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Mulai dari pelaksanaan Ketetapan MPR hingga Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian R&D bagi Debitor dan Obligor BPPN yang Selesai Memenuhi Kewajiban Utangnya.

”Hanky panky” BLBI

Luhut MP Pangaribuan, pengacara yang pernah bergabung dalam Tim Pengarah Bantuan Hukum yang dibentuk pemerintah, menyatakan, kasus BLBI sudah diselesaikan dengan proses negosiasi secara per- data dan proses hukum yang panjang.

Namun, ia sependapat jika memang terdapat hanky panky (tipu muslihat) dalam penyelesaian kewajiban BLBI, khususnya pembayaran utang. Aparat penegak hukum dapat diminta untuk melakukan pemeriksaan kembali kasus-kasus BLBI.

Adapun mantan kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Lukman Bachmid, yang pernah menangani perkara BLBI Bank Asia Pacific (Aspac) dan Bank Harapan sentosa (BHS) hingga putusan di Mahkamah Agung, menyatakan perjanjian MSAA dan MRNIA yang menjadi ”payung” dalam penyelesaian perdata sudah dilanggar oleh para debitor BLBI.

Selain waktu 3,5 tahun untuk memenuhi kewajiban yang sudah terlewati, juga aset-aset yang diserahkan kepada BPPN nilainya tidak sebanding dengan kewajiban utangnya yang harus dibayar. Karena itu, beralasan jika kasus BLBI harus dibuka lagi.

Membandingkan dengan kasus yang ditanganinya, yaitu kasus Bank Aspac dan BHS, Lukman menyatakan, saat itu tidak ada persoalan yang bisa meloloskan mereka dari jeratan hukum. Pemegang saham utama Aspac dan BHS, Hendrawan cs dan Hendra Rahardja, dinyatakan bersalah. ”Saya heran mengapa pada kasus BDNI dan BCA bisa seperti itu?”

Kini mungkin saatnya KPK unjuk gigi. Tak ada alasan kuat untuk menampik rasa keadilan masyarakat. Waktunya sudah datang. Kita menunggu.

Tidak ada komentar: