Senin, 10 Maret 2008

DPR Semakin Jauh dari Rakyat


Senin, 10 Maret 2008 | 00:27 WIB

Oleh UMI KULSUM dan SUWARDIMAN

Tolok ukur pengukuran kinerja sebuah lembaga adalah output atau hasil yang dicapai oleh lembaga tersebut. Sementara itu, untuk mengukur hasil pencapaian, muaranya berujung pada sejauh mana fungsi-fungsi lembaga itu dijalankan oleh instrumen-instrumen yang ada di dalamnya.

Demikian pula ketika publik menilai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat, yang menjadi alat ukur adalah sejauh mana lembaga yang menjadi ujung tombak berjalannya proses demokrasi ini bekerja secara maksimal. Publik menilai kinerja DPR buruk.

Dari 836 responden yang terjaring dalam jajak pendapat kali ini, sebanyak 68,5 persen menyatakan kinerja DPR buruk. Di tengah realitas saat ini, DPR seolah lebih larut dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu. Mereka dianggap meminggirkan apa yang lebih dibutuhkan rakyat. DPR dinilai lebih berpihak pada kepentingan kelompok atau partai.

Buruknya kinerja DPR tidak hanya mendapat sorotan dari pihak di luar lembaga perwakilan itu. Di internal lembaga, ketidakefektifan kinerja DPR pun mendapat sorotan. Sebut saja misalnya salah satu personel dari Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR, Eva Kusuma Sundari (Fraksi PDI Perjuangan), yang mempertanyakan kontribusi DPR selama ini.

Anggota Komisi III yang juga menjabat Wakil Ketua Bidang Anggaran Tim Peningkatan Kinerja DPR itu kepada Kompas, Rabu (5/3), mencontohkan soal laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang menyebutkan adanya Rp 25 triliun anggaran pemerintah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, DPR belum memberikan kontribusi kontrol yang jelas.

DPR seharusnya menjalankan fungsi check and balance dengan, misalnya, pembentukan tim dan melakukan hearing lalu kemudian membuat rekomendasi.

Namun, selama ini rekomendasi dan kesimpulan DPR tidak jelas atau bahkan jarang dibuat. Lebih jauh, tidak pernah dibuat laporan soal berapa rekomendasi dari DPR yang diterima pemerintah. ”Untuk itu, perlu dibuat instrumen di tubuh DPR yang secara khusus menjalankan tugas ini,” kata Eva. Dari laporan seperti itulah dapat diukur kontribusi yang dihasilkan dewan yang dipilih rakyat itu. Dengan adanya mekanisme yang jelas seperti itu, maka implikasi dari fungsi pengawasan DPR pun dapat lebih mudah diukur.

Untuk mengukur kinerja DPR perlu sebuah analisis soal seberapa efektif lembaga ini menjalankan peran dan fungsinya. Berapa banyak produk legislasi yang dihasilkan; sejauh mana respons DPR terhadap aspirasi masyarakat, dan seberapa jauh pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah. Sementara dalam fungsi anggaran, sejauh mana DPR berperan dalam pembentukan good governance.

Laporan Tim Kajian Peningkatan Kinerja (TKPK) DPR tahun 2006 menilai kualitas undang-undang yang dihasilkan oleh DPR banyak yang belum memberi manfaat langsung pada kehidupan masyarakat. Tim yang sudah berusia dua tahun ini menunjukkan fakta bahwa dari daftar Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-2009, dari jumlah 284 RUU hanya 42 RUU yang terkait kesejahteraan rakyat. Sementara, 78 RUU soal perekonomian dan paling banyak (159 RUU atau 56 persen) terkait bidang politik. Sisanya, lima RUU selain ketiga bidang tersebut.

TKPK DPR menyimpulkan, belum optimalnya kinerja DPR dalam menghasilkan produk perundangan yang berkualitas di antaranya disebabkan oleh minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan UU, terutama penyusunan daftar RUU dalam Prolegnas.

Selain produk legislasi yang minim manfaat langsung bagi rakyat, secara kuantitas produk yang dihasilkan pun tidak memenuhi target. Pada tahun 2005 target ditetapkan sebanyak 55 UU, namun DPR hanya membahas 14 RUU. Itu pun hanya dua RUU yang secara substansi melibatkan DPR, yaitu UU tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan UU tentang Guru dan Dosen.

Sedangkan pada tahun 2006 DPR berhasil menetapkan 39 RUU. Dari jumlah tersebut, 16 RUU adalah usul pembentukan daerah otonom baru dan 7 RUU pengesahan konvensi internasional.

Secara substansi pun DPR tidak banyak menghasilkan produk perundangan. Dari 103 undang-undang yang dihasilkan selama masa kerjanya, hanya 17 yang merupakan produk inisiatif DPR dan 23 inisiatif presiden, selebihnya adalah undang-undang tentang pemekaran wilayah dan dua yang berasal dari pemerintah dan inisiatif daerah. Dua bulan pertama tahun ini, DPR mensahkan 10 UU, enam UU Pemekaran, satu UU Agreement, satu UU Parpol, satu UU Pemilu, dan satu UU Penggunaan Bahan Kimia.

Berdasar fakta itu, wajar jika penilaian publik atas kinerja DPR, khususnya di bidang legislasi, selama empat tahun terakhir ini terus merosot. Kepuasan responden pada kinerja DPR sejak lama memang kecil, ironisnya justru menurun.

Jika pada Agustus 2007 kepuasan rakyat pada DPR dalam hal menyalurkan aspirasi masyarakat adalah 22,6 persen, pada Maret 2008 hanya 15,3 persen. Hal itu antara lain disebabkan ketidakpekaan DPR pada persoalan rakyat.

Sebagai contoh, interpelasi atas kasus impor beras yang diusulkan 27 anggota DPR (5/6/2007). Dalam rapat paripurna, anggota dewan yang setuju interpelasi hanya 114 orang, sedangkan yang menolak 224 suara dan abstain 9 suara. Fakta ini mempertajam citra DPR yang dinilai tidak peka pada problem yang dihadapi rakyat.

Boleh jadi, ini yang melatarbelakangi penilaian 84 persen responden yang menganggap DPR tidak serius dalam mengawasi kinerja pemerintah yang berkaitan dengan stabilitas harga dan ketersediaan bahan kebutuhan pokok. Demikian pula dengan stabilitas harga dan ketersediaan bahan bakar minyak dan energi listrik, DPR juga dianggap tidak serius merespons kebijakan pemerintah tersebut.

Terkait penanganan para koruptor pun DPR dinilai tidak tegas. Ini tampak dari lambannya DPR merespons kasus BLBI. Interpelasi DPR pada kasus BLBI tidak jelas kelanjutannya. Setali tiga uang, interpelasi kasus lumpur Lapindo pun terus mengambang. (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: