Senin, 17 Maret 2008

Pelaku Korupsi Tidak Akan Jera

Putusan MA Ikut Tak Mendidik Masyarakat
Senin, 17 Maret 2008 | 00:12 WIB

Jakarta, Kompas - Aksi pemberantasan korupsi dengan teknik menangkap tangan pelaku suap ternyata tidak pernah bisa memberikan efek jera. Ini terbukti, semakin hari transaksi suap-menyuap selalu terjadi dengan nominal yang semakin besar. Pelaku korupsi pun tak jera karena hukuman yang diterima juga ringan.

Demikian dikemukakan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satriyo, dan anggota Komisi III DPR, T Gayus Lumbuun, secara terpisah, Minggu (16/3).

Seperti diwartakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap jaksa Urip Tri Gunawan, yang diduga menerima suap terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada bulan ini. Sebelumnya, KPK juga menangkap anggota Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, dan anggota Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W Kusumah.

Menurut Rudy, salah satu faktor yang membuat pelaku korupsi tak jera adalah ancaman hukuman terhadap mereka tak pernah dimaksimalkan hakim. Rendahnya hukuman kepada koruptor membuat orang lain yang hendak melakukan korupsi atau menerima suap tak merasa takut.

Rudy mengatakan, memang di dalam hukum, pemidanaan bukanlah sebuah bentuk balas dendam negara, tetapi menjadi pembelajaran. ”Namun, untuk tindak pidana tertentu, seperti korupsi, rasa takut calon pelaku tetap harus dilakukan,” katanya.

Rudy menjelaskan perlu ada solusi untuk menciptakan ketakutan bagi koruptor, yaitu dengan menciptakan efek jera kepada penegak hukum yang melakukan penyimpangan. ”Aparat penegak hukum ini harus menjadi target KPK, dan hukuman kepada mereka harus diperberat,” ujarnya.

Secara khusus, Gayus menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman bagi terpidana kasus korupsi BLBI David Nusa Wijaya, dari delapan tahun jadi empat tahun penjara di tingkat peninjauan kembali (PK), tak mendidik masyarakat dan tak menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.

Lebih parah lagi, Gayus menjelaskan, putusan MA itu dapat mengakibatkan patahnya semangat penegak hukum mengejar pelaku korupsi. Pengurangan hukuman itu menunjukkan MA tak memerhatikan kesulitan penegak hukum dan segala risiko yang harus ditanggung saat mengejar terdakwa hingga ke luar negeri.

Menurut Gayus, MA semestinya memerhatikan asas manfaat sebuah putusan. Tak semestinya MA mengurangi atau menambah hukuman dalam putusan di tingkat PK. Seharusnya, majelis PK mendasarkan putusan pada penerapan hukum dengan amar putusan berbunyi menerima atau menolak PK saja.

Hanya di pinggiran

Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menilai, pemberantasan korupsi di Indonesia masih dilakukan di daerah pinggiran dan umumnya belum menyentuh pelaku utama. Akibatnya, meski sudah banyak orang yang diadili dan dihukum, korupsi tetap terus berlangsung.

”Jika korupsi diibaratkan sel kanker, yang selama ini diangkat hanya sel pinggiran, sedangkan sel utama tak pernah disentuh hingga kanker terus saja menyebar,” katanya.

Situasi ini, lanjut Denny, terlihat dalam pengungkapan sejumlah kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat, yang proses hukum umumnya hanya dikenakan kepada pelaku lapangan. Hanya dalam perkara korupsi di Komisi Yudisial, KPK memproses hingga ke aktor utama, yaitu Irawady Joenoes.

”Dalam perkara korupsi di KPU serta Departemen Kehakiman dan HAM, ada aktor yang diduga masih dibiarkan. Padahal, mereka ini justru merupakan aktor yang lebih penting,” kata Denny. Indikasi yang akan diproses hanya aktor lapangan juga terlihat dalam penanganan kasus aliran dana Bank Indonesia dan penyuapan yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan.

Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch menambahkan, terus terjadinya korupsi juga disebabkan lemahnya pengawasan di lingkungan penegak hukum. Akibatnya, banyak perkara penting yang justru menjadi permainan penegak hukum, seperti yang terindikasi dalam kasus suap BLBI. (vin/ana/nwo)

Tidak ada komentar: