Kamis, 17 April 2008

Penyelesaian utang grup A. Latief di BRI

oleh : Anugerah Perkasa

Penyelesaian utang grup A.Latief senilai hampir Rp300 miliar sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun. Akan tetapi, hingga kini belum jelas bagaimana proses pelunasannya.

Latief, pria berusia 68 tahun, pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja periode 1993-1998 dan memiliki beberapa anak perusahaan di bawah bendera Alatief Corporation, yang saat ini harus mencicil kewajibannya, sekitar Rp281,13 miliar.

Fasilitas kredit itu diperolehnya pada 1993, 1995 dan 1996 silam. Sesuai dengan urutan waktu, perusahaan yang memperoleh pinjaman tersebut adalah PT Pasaraya Toserjaya, PT Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation, yang belakangan menjadi perusahaan induk.

Mari melihat induknya lebih dulu. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II/2006 menyebutkan perusahaan yang didirikan sejak 1994 itu harus melunasi utang sekitar Rp98,42 miliar kepada Bank BRI. Itu sudah termasuk penalti dan bunga kredit.

Awalnya, permohonan pinjaman sebesar Rp200 miliar diajukan perusahaan tersebut pada November 1996. Dana itu akan digunakan untuk menambah modal sejumlah anak perusahaan Alatief Corporation. Hampir setahun kemudian, Bank BRI menyetujui proposal tersebut dengan mengeluarkan Perjanjian Kredit Investasi dan Pemberian Jaminan (PKIPJ).

Perseroan yang terletak di kawasan Blok M, Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu kemudian melakukan dua kali penarikan masing-masing Rp55,40 miliar pada Agustus 1997 dan Rp29,45 miliar pada Oktober 1997. Setelah itu, pencairan terhenti.

BPK menyebutkan penarikan tak dapat direalisasi karena perusahaan tidak memenuhi persyaratan. "Alatief Corporation tidak menyerahkan laporan keuangan tiga bulanan, tidak membebankan hak tanggungan atas tanah di Tangerang serta tidak ada laporan keuangan konsultan independen," ungkap laporan BPK

Latief kemudian bereaksi. Dia mengajukan permohonan restrukturisasi kredit, yang awalnya Rp200 miliar menjadi hanya Rp84,85 miliar. Bank BRI setuju dan dibuatlah tambahan PKIPJ pada 2000. Akan tetapi, permohonan restrukturisasi itu tak lantas membuat perusahaan itu memenuhi kewajibannya. Tiga tahun kemudian, status pinjaman berubah. Macet.

Dugaan pelanggaran

Ini bukan melulu soal kredit bermasalah, tetapi juga tentang dugaan pelanggaran perjanjian pinjaman.

BPK menemukan adanya permohonan Latief ke Bank BRI untuk diizinkan melaku-kan ekspansi di luar daftar proyek kredit, yaitu mendirikan stasiun televisi, yang dikenal dengan PT Lativi Media Karya (Lativi). Latief berjanji untuk mencicil Rp10 miliar lebih cepat. Akan tetapi, janji hanya sekedar janji. Alatief Corporation ternyata hanya mampu membayar Rp5 miliar atau tak sesuai dengan komitmennya.

Pendirian Lativi awalnya mendapat dukungan kredit PT Bank Mandiri Tbk pada Oktober 2000. Latief meminjam sekitar Rp361,82 miliar untuk modal kerja dan investasi. Akan tetapi, itu tidak cukup.

"Karena keterbatasan waktu studi, maka terdapat kesalahan dalam perhitungan," demikian Latief, mengemukakan alasannya saat itu.

Latief juga tak memenuhi kewajibannya pada bank tersebut sehingga restrukturisasi dilakukan pada Desember 2004. Dia akhirnya menjadi tersangka gara-gara pinjaman itu, dua tahun kemudian. Ketika dihitung, dugaan kerugian negara mencapai Rp400 miliar lebih.

Utang tersebut akhirnya lunas dengan aksi akuisisi konsorsium Capital Managers Asia Pte Ltd. (CMA) pada Maret 2007. Saham Lativi diambil alih oleh perusahaan konsultan investasi yang berbasis di Jakarta dan Singapura itu.

CMA juga punya hubungan dekat dengan keluarga Bakrie pemilik PT Cakrawala Andalas Televisi (antv) dengan memiliki puluhan ribu lembar saham di televisi tersebut. Lativi pun beralih nama, yaitu tv One pada 14 Februari 2008.

BPK tetap menyatakan Latief melanggar perjanjian kredit dengan memperluas bisnis di luar kesepakatan.

Itu baru satu perkara.

Pada Februari 1995, Latief mendapat pinjaman Rp28 miliar dengan Perjanjian Kredit dan Pemberian Jaminan (PKPJ) Bank BRI.

Pinjaman itu diberikan untuk Pasaraya Nusakarya, yang berdiri sejak 1986 dan juga terletak di kawasan Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Restrukturisasi kredit dilakukan sebelum Bank BRI akhirnya menetapkan status kredit macet pada November 2003. Jumlahnya sekitar Rp38,30 miliar, terdiri dari utang pokok plus bunganya.

Dugaan pelanggaran terjadi ketika BPK menemukan Pasaraya Nusakarya memiliki fasilitas kredit bank lain, tanpa seizin kreditur pertama. Masing-masing pinjaman itu dikucurkan oleh PT Bank Bukopin Tbk, PT Bank Bumiputera Tbk, PT Bank Danamon Tbk, PT Bank Niaga Tbk, dan Standard Chartered.

"Selama utang belum lunas, penerima kredit tidak boleh memperoleh pinjaman dalam bentuk apa pun dari pihak lain baik modal kerja maupun investasi tanpa persetujuan tertulis," tegas BPK.

Penyampaian laporan keuangan perusahaan-salah satu persyaratan kredit-juga bermasalah. Direksi Bank BRI kepada BPK mengakui adanya beberapa versi laporan keuangan periode 2002/2001.

Versi pertama menyatakan terjadi peningkatan aktiva tetap, tetapi tidak laporan keuangan lainnya. Bank BRI memiliki contoh laporan keuangan lain pada 2000/2001 yang menunjukkan tidak terjadinya lonjakan aktiva tetap.

Kejanggalan itu dipertanyakan untuk meyakini mana laporan yang benar. Namun, Latief tak pernah meresponsnya.

Pasaraya Toserjaya- berdiri sejak 1981- memperoleh kredit melalui pembiayaan sindikasi Rp376 miliar, yang dipimpin Bank BRI pada September 1993. Bank itu sendiri mengucurkan dana Rp115,60 miliar. Restrukturisasi dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 1998, 2000 dan 2002. Dua tahun kemudian, pinjaman itu dinyatakan macet.

Dugaan pelanggaran kali ini adalah penyaluran piutang perusahaan itu terhadap perusahaan terafiliasi, antara lain Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation, yang baru berdiri. Masing-masing Rp12,15 miliar untuk pembayaran utang pemasok dan Rp5,61 miliar untuk biaya operasional.

"Toserjaya mengalami kesulitan cash flow akibat menanggulangi kekurangan dana pada afiliasinya," ungkap BPK, padahal, uang itu awalnya digunakan untuk pembayaran utang pokok dan bunga, terkait perjanjian kredit.

Penyaluran dana ke Pasaraya Nusakarya dan Alatief Corporation dinilai melanggar perjanjian, yang menyatakan debitor tidak boleh memberikan pinjaman baru kepada siapa pun, termasuk pemegang saham selama utang belum dilunasi. Khusus Bank BRI, pengembalian yang seharusnya diserahkan Rp144,41 miliar.

Persoalan itu menuntun saya untuk mengetahui mengapa pinjaman tetap diberikan kepada kelompok Latief. Juga soal penetapan status kredit macet para perusahaan tersebut oleh Bank BRI pada 2003-2004.

Akan tetapi, mantan Direktur Pengendalian Kredit Bank BRI 2003-2006, Gayatri Rawit Angreni, menolak memberikan jawaban dengan alasan tidak lagi menjabat posisi itu.

"Sudah lupa itu, nanti tidak akurat. Ada orang yang lebih tepat menjawab hal tersebut."

Dia adalah Lenny Sugihat.

Lenny memulai kariernya di Bank BRI sejak 1981 dan pada Mei 2006 menempati posisi Direktur Administrasi Kredit dan Analisis Risiko Kredit. Dia adalah pengganti Gayatri. Sayangnya, dia enggan merinci.

"Mengapa restrukturisasi terus dilakukan pada Latief," kata saya.

"Itu mengikuti koridor Bank Indonesia, silakan cari di sana. Restrukturisasi itu ada aturannya, tidak hanya grup Latief, tetapi juga bakul jamu," ujar Lenny.

Dia menuturkan masalah itu diserahkan pada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara pada Januari 2006.

Namun, dia enggan memberikan informasi mengenai perkembangan terakhir penanganan piutang itu, termasuk kemungkinan pengucuran kredit kepada kelompok Latief di masa mendatang.

Saya menemui Direktur Piutang Negara Indra Rifa'i dan Kepala Sub Direktorat Piutang Negara I Etto Sunaryanto pada awal Desember 2007.

Mereka menjelaskan pemanggilan terhadap jajaran direksi kelompok perusahaan Latief telah dilakukan pada awal 2006. Ditjen Kekayaan Negara juga mengeluarkan satu kali surat paksa pembayaran terhadap Latief sekitar April-Mei 2006.

Pembayaran awal cair

Program perpanjangan masa cicilan akhirnya diberlakukan pada Januari 2007 dan dibayar per tiga bulan, mengingat jumlahnya yang cukup besar. Etto mengatakan cicilan itu belum mencapai 50%.

Indra menambahkan jumlah utang di atas Rp5 miliar diberikan batas waktu hingga 7 tahun. Itu pun bersyarat, seperti tidak terjadi gagal bayar pada cicilan pertama. Mengutip Latief, Indra mengungkapkan, perusahaan itu mencari investor baru yang bisa membayar utang lebih cepat atau sebelum tenggat waktu. "Saya meyakini Latief akan kooperatif."

Untuk mengetahui sikap kooperatif Latief dalam proses restrukturisasi utangnya, akhir November 2007, saya mengirimkan surat permohonan wawancara berikut daftar pertanyaan ke Alatief Corporation.

Sekretaris Latief, Ratna Wulansuri mengatakan dirinya berjanji untuk menghubungi saya jika bosnya yang kala itu berada di Amerika Serikat, berkenan untuk diwawancarai.

Akan tetapi, saya kembali harus menunggu karena Latief pergi ke Kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, pada pertengahan Desember 2007.

Saya mendatangi kantor Latief pada Januari dan Februari. Tak berhasil. Tak hanya kantor, rumah mewahnya di kawasan Kalimalang Raya, Jakarta Timur, juga saya sambangi. Hasilnya, dua petugas keamanan menghentikan niat saya tepat di depan pintu gerbang rumah. Mereka mengatakan tempat itu khusus untuk beristirahat. Lain tidak.

Mengirimkan pesan pendek ke telepon seluler milik Latief adalah alternatif lain. Meneleponnya. Semua nihil. Akibatnya, saya tak pernah memperoleh penjelasan langsung dari Latief mengenai utangnya. Juga, seperti tak pernah tahu kapan Wulansuri memenuhi janjinya. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar: