Jaksa dan Kasubsi Penuntutan Kejaksaan Negeri Madiun
Mengharap tradisi suap lenyap di kejaksaan sama sulitnya ketika seorang jaksa bertahan eksis tanpa suap. Inilah gambaran sebuah dilema seorang jaksa kala ia masuk dalam sistem di kejaksaan. Upaya untuk tampil ‘bersih’ akan terbentur dengan kendala uang harus turut bekerja, untuk biaya operasional dan penyelesaian perkara, mengurus kenaikan pangkat, promosi jabatan dan tempat tugas, relasi atasan bawahan, jabatan struktural-fungsional, jaksa dengan tata usaha, dan lainnya. Semuanya tidak dapat berjalan begitu saja secara gratis.
Maka, sejak awal seseorang meniti kariernya di kejaksaan, ia harus mulai berpikir bagaimana caranya produktif menghasilkan uang lewat suap. Jalan menjadi lempeng apabila orang yang memang dari niatan pertamanya masuk kejaksaan berharap untuk menarik keuntungan dari kinerja suap, tentu akan sinergis.
Penerimaan suap dari pihak tersangka, terdakwa, maupun korban akhirnya menjadi komoditas. Lalu, menjelma menjadi lingkaran setan, menyebar secara merata, dan dinikmati dalam setiap strata pada kinerja kejaksaan. Sudah saatnya kejaksaan secara jujur mengakui dan menerangkan realita suap yang memang menjadi bagian dari sebuah kinerja. Ini agar tidak berlarut lebih lama dan lebih jauh lagi dalam kemelut kerja yang kontraproduktif, menegakkan hukum sambil melawan hukum.
Bila dimulai dari iktikad baik untuk perbaikan dengan menyatakan ini yang sesungguhnya terjadi kepada publik. Maka publik akan mengetahui bahwa masalah kejaksaan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama yang harus dipikirkan, sekaligus dicarikan jalan keluarnya. Institusi kejaksaan adalah ‘wakil rakyat/negara’ dalam melakukan penuntutan suatu tindak pidana dalam rangka melindungi segenap warga negara dari segala bentuk kejahatan.
Sebagaimana ayat reformasi mengatakan, innallaha laa yughoyyiru maa bi qaumin hatta yughoyyiru maa bi anfusihim. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum itu mengubah keadaan mereka sendiri. Jadi, Jaksa Agung tidak perlu lagi mengungkapkan blunder di kejaksaan dengan menitikkan air mata. Transparansi masalah adalah langkah permulaan untuk mencapai kebaikan bersama dan tidaklah sama artinya dengan membuka aib sendiri. Dengan demikian, berbagai masukan perbaikan dari berbagai komponen bangsa bisa diakomodasi.
Apa artinya bila kebijakan keluar tampak tampil mengesankan, tapi di dalamnya centang-perenang? Menjaga wibawa sebuah lembaga hukum, espirit de corps bukan dengan cara menggunakan standar ganda. Lewat menutup-nutupi seolah jaksa yang muncul di media massa terkena kasus suap hanyalah oknum, bukan korban sistem yang berlaku, hemat penulis ini sudah bukan zamannya lagi.
Semua niat dan perbuatan tidak baik lebih gampang terdeteksi saat ini. Jika ada sebatang jarum akan jatuh dari tempatnya di Amerika, niscaya semua orang di Indonesia bisa tahu pada era informasi global kini. Kasus-kasus besar yang melibatkan kejaksaan dalam perkara suap, sebenarnya representasi dari sebuah kinerja sistem di kejaksaan selama ini. Mereka yang ketahuan terlibat perkara pidana suap harus diproses hukum dan dijatuhi sanksi pidana. Namun, tak cukup sampai di situ.
Jika tidak ada sebuah pembaruan yang mendasar, maka suap di sini akan menjadi suatu voortgezette handeling (perbuatan berlanjut). Ini karena suap masih bekerja efektif tanpa terusik selain dari skandal yang mengemuka di media massa.
Moralitas para jaksa
Moralitas seseorang amat bergantung pada komitmen terhadap agamanya dan nilai kebaikan universal. Paling tidak ada tiga bentuk moral personel kejaksaan dalam menyikapi suap. Pertama, mereka yang sama sekali tidak ingin menerima suap. Biasanya dari awal sudah mengambil langkah preventif paling aman. Caranya dengan berada di pusdiklat atau di litbang kejaksaan sehingga tidak bersentuhan sama sekali dengan perkara.
Bagi mereka yang berada di luarnya, ikut serta menangani perkara, akan menjadi orang ‘asing’ di tengah kinerja suap. Mereka kelompok idealis yang menyadari serta mengaplikasikan pesan Muhammad SAW seorang nabi dan rasul, ‘arraasyi wal murtasyi fin naar’.
Artinya, orang yang disuap dan menyuap masuk neraka. Nabi dalam hadis ini berkata dengan tegas tanpa tedeng aling-aling. Kelompok ini golongan minoritas, sering dijuluki ‘sok suci’, dan ‘munafik, sering tersingkir. Beginilah kualitas bangsa kita kalau ada orang baik dianggap aneh. Kedua, penerima suap untuk memenuhi kewajaran hidup, sekadar bisa beli rumah sederhana, menyekolahkan anak, dan seterusnya. Ada filsafat Jawa yang sangat masuk di sini, ‘ngono yo ngono, ning ojo ngono’. Dalam aktivitas kerjanya menerima suap untuk dapat hidup selayaknya.
Ketiga, penerima suap untuk memperkaya diri dan mengejar ambisi pribadi (the survival of the fittest). Poin kedua dan ketiga ini celakanya merasa aman dengan kondisi yang ada. Mereka sebenarnya willens en wetens (mengetahui dan menghendaki) atau dengan sengaja (‘de (bewuste) richting van del wil opeen bepaald misdrijf’).
Bahkan, sudah pada level yang paling parah, yakni menikmati kondisi tersebut. Naudzubillahi min dzalik, sehingga yang menjadi pembicaraan adalah mana perkara yang berisi pundi-pundi uang, jabatan strategis, dan tempat tugas yang ‘basah’ untuk diperebutkan. Pada tataran ini, perbuatan tercela dipandang menjadi perbuatan baik. Rasa keadilan membias ke mana-mana mengikuti kekuatan bargaining pihak berperkara. Uang suap menjadi semangat untuk hidup dan bekerja.
Birokrasi yang menopang suap
Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan tergolong masih sangat tertinggal dengan organisasi modern yang meletakkan nilai demokratis sebagai sistem nilai tertinggi. Terpola dari lembaga rencana tuntutan, memosisikan seorang pimpinan sebagai pengambil putusan tanpa harus melibatkan atau meminta masukan dari yang lain.
Pola demikian hanya menciptakan loyalitas dalam arti sempit. Loyal pada kejaksaan semata, tetapi lupa untuk lebih loyal kepada Allah Pemilik Keadilan (al-hakim) dan kepentingan bangsa dan negara. Lebih tragis lagi lembaga cenderung menjadi ‘mesin pencari’ uang. Efeknya uang hasil suap tersalurkan lebih panjang alurnya, ke atas, ke bawah, maupun secara horizontal. Selain itu, jabatan struktural telah menciptakan kasta. Seorang dengan jabatan kajari sudah mulai pensiun untuk mengikuti sidang di pengadilan.
Ia sudah merasa punya kelas tersendiri, jadi tidak perlu lagi menangani perkara di persidangan, cukup duduk di ruangan sambil menandatangani berbagai keperluan administrasi. Bandingkan dengan hakim ketua pengadilan yang masih menjalani sidang walaupun sekadar perkara pencurian ayam sebab mereka menyadari menangani perkara adalah tugas pokoknya, jauh lebih penting dari sekadar urusan administrasi.
Reformasi di tubuh kejaksaan mendesak dilakukan agar tidak berjatuhan lagi para jaksa yang menjadi korban sistem yang dipenuhi dengan kinerja suap. Juga tidak terjadi lagi para jaksa yang memasang iktikad dan sengaja menikmati uang suap lewat sistem kejaksaan yang memang mendukung untuk itu.
Ikhtisar:
- Perlu ada perubahan sistem di lembaga kejaksaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar