Selasa, 18 September 2007

Seputar G30S 1965



G30S (1)

Oleh Harsutejo

Pada dini hari menjelang subuh 1 Oktober 1965 sekelompok militer yang kemudian menamakan diri sebagai Gerakan 30 September melakukan penculikan 7 orang jenderal AD. Jenderal Nasution dapat meloloskan diri, sedang yang ditangkap ialah pengawalnya. Lolosnya jenderal ini telah dibayar dengan nyawa putrinya yang kemudian tewas diterjang peluru. Keenam orang jenderal teras AD yang diculik dan kemudian dibunuh itu terdiri dari: Letjen Ahmad Yani (Men/Pangad), Mayjen Suprapto (Deputi II Men/Pangad), Mayjen Haryono MT (Deputi III Men/Pangad), Mayjen S Parman (Asisten I Men/Pangad), Brigjen DI Panjaitan (Asisten IV Men/Pangad), Brigjen Sutoyo (Oditur Jenderal AD).

Pada pagi-pagi 1 Oktober 1965, sebelum orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Kolonel Yoga Sugomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen serta merta menyatakan bahwa hal itu pasti perbuatan PKI, ketika pengumuman RRI Jakarta pada jam 07.00 menyampaikan tentang Gerakan 30 September di bawah Letkol Untung. Maka Yoga pun memerintahkan, “Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak”. Jangan-jangan Kolonel Yoga, Kostrad, dan - siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto – telah mengantongi skenario jalannya drama tragedi yang sedang dan hendak dipentaskan kelanjutannya. Tentu saja pertanyaan ini amat mengggoda karena dokumen-dokumen rahasia CIA pun mengungkapkan berbagai skenario semacam itu dengan diikuti dijatuhkannya Presiden Sukarno sebagai babak penutup.

Menurut tuduhan dan pengakuan Letkol (Inf) Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden RI yang secara formal memimpin Gerakan 30 September, para jenderal tersebut menjadi anggota apa yang disebut Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap kekuasaan Presiden Sukarno yang sah pada 5 Oktober 1965. Karena itu Letkol Untung sebagai insan revolusi sesuai dengan ajaran resmi yang didengungkan ketika itu, mengambil tindakan dengan menangkap mereka guna dihadapkan kepada Presiden. Dalam kenyataannya mereka dibunuh ketika diculik atau di Lubang Buaya, Jakarta.

Tentang pembunuhan yang tidak patut ini terjadi sejumlah kontroversi. Menurut pengakuan Letkol Untung hal itu menyimpang dari perintahnya. Dalam hubungan ini telah timbul berbagai macam penafsiran yang berhubungan dengan kegiatan intelijen berbagai pihak, pihak intelijen militer Indonesia, Syam Kamaruzaman sebagai Ketua Biro Chusus (BC) PKI, intelijen asing, utamanya CIA, dalam arena perang dingin yang memuncak antara Blok Amerika versus Blok Uni Soviet dengan Blok RRT yang anti AS maupun Uni Soviet. Menurut pengakuan Syam, pembunuhan itu atas perintah Aidit, Ketua PKI. Pembunuhan demikian sangat tidak menguntungkan pihak PKI yang dituduh sebagai dalang G30S, akan dengan mudahnya menyulut emosi korps AD melawan PKI, sesuatu yang pasti tak dikehendaki Aidit dan sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan dibunuhnya Aidit atas perintah Jenderal Suharto, maka pengakuan Syam yang berhubungan dengan Aidit sama sekali tak dapat diuji kebenarannya. Dengan begitu Syam memiliki keleluasaan untuk menumpahkan segala macam sampah yang dikehendakinya maupun yang dikehendaki penguasa ke keranjang sampah bernama DN Aidit.

Banyak pihak menafsirkan bahwa Syam ini merupakan agen intelijen kepala dua (double agent), atau bahkan tiga atau lebih. Hal ini di antaranya ditengarai dari pengakuannya yang terus-menerus merugikan PKI dan Aidit. Ini berarti dia yang posisinya sebagai Ketua BC CC PKI, pada saat itu menjadi agen yang sedang mengabdi pada musuh PKI. Dari riwayat Syam ada bayang-bayang buram misterius yang rupanya berujung pada pihak AD, khususnya Jenderal Suharto. Aidit yang dituduh sebagai dalang G30S yang seharusnya dikorek keterangannya di depan pengadilan segera dibungkam karena keterangan dirinya tidak akan menguntungkan skenario Mahmillub yang dibentuk atas perintah Jenderal Suharto sebagaimana yang telah dimainkan oleh Syam atas nama Ketua PKI Aidit.

Keterangan Syam mengenai perintah Aidit tentang pembunuhan para jenderal tidak dapat diuji kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Beberapa pihak di Mahmillub menyebutnya perintah itu dari Syam, tetapi siapa yang memerintahkan dirinya? Pertanyaan ini mau-tidak-mau perlu dilanjutkan dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan oleh pembunuhan para jenderal itu? Bung Karno tidak, Nasution tidak, Aidit pun tidak. Hanya ada satu orang yang diuntungkan: Jenderal Suharto! Jika Jenderal Yani tidak ada maka menurut tradisi AD Suharto-lah yang menggantikannya. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa ketika Presiden Sukarno menunjuk Jenderal Pranoto sebagai pengganti sementara pada 1 Oktober 1965, maka Jenderal Suharto menentang keras. Jelas dia berambisi menjadi satu-satunya pengganti yang akan memanjat lebih jauh ke atas, padahal ketika itu nasib Jenderal Yani cs belum diketahui jelas.

Perlu ditambahkan bahwa rencana pengambilan [penculikan] para jenderal telah diketahui beberapa hari sebelumnya serta beberapa jam sebelum kejadian berdasarkan laporan Kolonel Abdul Latief, bekas anak buah Suharto yang menjadi salah seorang penting dalam G30S. Jenderal Suharto sebagai Panglima Kostrad tidak mengambil langkah apa pun, justru hanya menunggu. Kenyataan ini membuat kecewa dan dipertanyakan salah seorang bekas tangan kanan Suharto yang telah berjasa mengepung Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, Letjen (Purn) Kemal Idris. Masih dapat ditambahkan lagi bahwa keenam jenderal yang dibunuh tersebut memiliki riwayat permusuhan internal dengan Suharto karena Suharto melakukan korupsi sebagai Pangdam Diponegoro.

Ada fakta sangat keras, dua batalion AD dari Jateng dan Jatim yang didatangkan ke Jakarta dengan senjata lengkap dan peluru tajam yang kemudian mendukung pasukan G30S, semua itu atas perintah Panglima Kostrad Mayjen Suharto yang diinspeksinya pada 30 September 1965 jam 08.00. Tentunya dia pun mengetahui dengan tepat kekuatan dan kelemahan pasukan tersebut beserta jejaring intelijennya, di samping adanya tali-temali dengan intelijen Kostrad lewat tangan Kolonel Ali Murtopo. Tentu saja masalah ini tak pernah diselidiki, jika dilakukan hal itu dapat membuka kedok Suharto menjadi telanjang di depan korps TNI AD ketika itu. Mungkin saja jejaring Suharto yang telah melumpuhkan logistik kedua batalion tersebut, hingga Yon 530 dan dua kompi Yon 434 melapor dan minta makan ke markas Kostrad pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua pasukan ini bersama pasukan Letkol Untung dihadapkan pada pasukan RPKAD. Itulah sejumlah indikasi kuat keterlibatan Jenderal Suharto dalam G30S, ia bermain di dua kubu yang dia hadapkan dengan mengorbankan 6 jenderal.

Lalu siapa yang diuntungkan dengan dibunuhnya Aidit? PKI dan Bung Karno pasti tidak, lawan-lawan politik PKI jelas senang (meski ada juga yang kemudian menyesalkan, kenapa tidak dikorek keterangannya di depan pengadilan), di puncaknya ialah Jenderal Suharto yang memang memerintahkannya. Jika Aidit diberi kesempatan bicara di pengadilan, maka dia akan mempunyai kesempatan membeberkan peran dirinya dalam G30S yang sebenarnya, bukan sekedar menelan keterangan Syam di Mahmillub sesuai dengan kepentingan Suharto cs. Jika ini berlaku maka skenario yang telah tersusun akan kacau.

Sejak 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, maka disiapkanlah skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI dimulai dengan pidato fitnah Jenderal Suharto tentang penyiksaan kejam dan biadab, Lubang Buaya sebagai wilayah AURI. Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan dongeng horor fitnah keji tentang perempuan Gerwani yang menari telanjang sambil menyilet kemaluan para jenderal dan mencungkil matanya. Ini semua bertentangan dengan hasil visum dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan oleh dua koran AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, RRI dan TVRI yang juga telah dikuasai AD, sedang koran-koran lain diberangus. Ketika sejumlah koran lain diperkenankan terbit, semuanya harus mengikuti irama dan pokok arahan AD. Seperti disebutkan dalam studi Dr Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani (gerakan perempuan kiri) yang dimanipulasi sebagai “pelacur bejat moral”. Kampanye ini benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa, khususnya kaum adat dan agama.

Setelah lebih dari dua minggu propaganda hitam terhadap PKI dan organisasi kiri lain berjalan tanpa henti, ketika emosi rendah masyarakat bangkit dan mencapai puncaknya dengan semangat anti komunis anti PKI yang disebut sebagai golongan manusia anti-agama dan anti-Tuhan, kafir dst yang darahnya halal, maka situasi telah matang dan tiba waktunya untuk melakukan pembasmian dalam bentuk pembunuhan massal. Dan itulah yang terjadi di Jawa Tengah setelah kedatangan pasukan RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo sesudah minggu ketiga Oktober 1965, selanjutnya di Jawa Timur pada minggu berikutnya dan Bali pada Desember 1965/Januari 1966. Sudah sangat dikenal pengakuan Jenderal Sarwo Edhie yang membanggakan telah membasmi 3 juta jiwa manusia.

Dalam khasanah sejarah G30S ada gambaran yang disesatkan bahwa situasinya seolah waktu itu “dibunuh atau membunuh” seperti dalam perang saudara. Ini sama sekali tidak benar, tidak ada buktinya. Hal ini dengan sengaja diciptakan sesuai dengan kepentingan rezim militer Suharto guna melegitimasi kekejaman mereka. Situasi telah dimatangkan oleh propaganda hitam pihak militer di bawah Jenderal Suharto beserta segala peralatannya yang menyinggung nilai-nilai moral dan agama tentang perempuan sundal Gerwani sebagai yang digambarkan dalam dongeng horor Lubang Buaya. Emosi ketersinggungan kaum agama beserta nilai-nilai moralnya ditingkatkan sampai ke puncaknya untuk menyulut dan memuluskan pembantaian anggota PKI dan kaum kiri lainnya yang disebut sebagai kaum kafir yang dilakukan pihak militer dengan memperalat sebagian rakyat yang telah terbakar emosinya.

Setelah seluruh organisasi kiri, utamanya PKI dihancurlumatkan, sisa-sisa anggotanya dipenjara, maka datang waktunya untuk menghadapi dan menjatuhkan Presiden Sukarno yang kini dalam keadaan terpencil diisolasi. Dikepunglah Istana Merdeka oleh pasukan AD di bawah pimpinan Kemal Idris, pada saat Presiden Sukarno sedang memimpin rapat kabinet yang tidak dihadiri Jenderal Suharto pada 11 Maret 1966 yang ujungnya telah kita ketahui bersama berupa Supersemar. Kudeta merangkak ini dilanjutkan dengan pengukuhan Jenderal Suharto sebagai Pejabat Presiden (sesuatu yang menyimpang dari UUD 1945, tak satu pun pakar yang berani buka mulut ketika itu), selanjutnya sebagai Presiden RI. Maka berlanjutlah pemerintahan diktator militer selama lebih dari tiga dekade yang menjungkirbalikkan segalanya, sampai akhirnya Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia dengan utang sampai ke ubun-ubun.

G30S di bawah pimpinan Letkol Untung dirancang untuk gagal, artinya ada rancangan lain yang tidak pernah diumumkan alias rancangan gelap di balik layar dengan dalang-dalang yang penuh perhitungan untuk melaksanakan adegan yang satu dengan yang lain. Maka tidak aneh jika mantan pejabat CIA Ralph McGehee berdasar dokumen rahasia CIA menyatakan sukses operasi CIA di Indonesia sebagai contoh soal, “supaya metode yang dipakai CIA dalam kudeta di Indonesia yang dianggap sebagai penuh kepiawaian sehingga ia digunakan sebagai suatu tipe rancangan atau denah operasi-operasi terselubung di masa yang akan datang”. Itulah kudeta merangkak yang dilakukan oleh Jenderal Suharto sejak pembunuhan para jenderal, pengusiran BK dari Halim, pembunuhan massal, pengepunngan Istana Merdeka pada 11 Maret 1966, akhirnya dijatuhkannya Presiden Sukarno. Keberhasilan operasi AS di Indonesia disebut Presiden Nixon sebagai hadiah paling besar di wilayah Asia Tenggara

Untuk melegitimasi segala tindakann dan memperkokoh kedudukannya, rezim militer Orba menamakan gerakan Letkol Untung tersebut dengan G30S/PKI, pendeknya nama keduanya saling dilekatkan. G30S ya PKI, bukan yang lain. Di sepanjang kekuasannya rezim ini terus-menerus tiada henti mengindoktrinasi dan menjejali otak kita semua, kaum muda dan anak-anak sekolah dengan kampanye ini. Ketika studi sejarah di Indonesia tak lagi bisa dikekang, maka banyak pakar menolak kesahihan penyebutan tersebut. Studi netral hanya menyebut Gerakan 30 September sebagaimana yang tercantum dalam pengumuman gerakan di RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965, atau disingkat untuk keperluan praktis sebagai G30S. Masih ada arus balik riak yang membakari buku dalam tahun ini karena berbeda dengan kepentingan rezim atau pejabat rezim sebagai bagian dari vandalisme masa lampau.

Gestapu, Gestok (2)

Gerakan 30 September merupakan nama “resmi” gerakan sesuai dengan apa yang telah diumumkan oleh RRI Jakarta pada pagi hari 1 Oktober 1965. Nama ini untuk keperluan praktis media massa kemudian ditulis dengan G-30-S atau G30S. Sedang Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) suatu nama yang dipaksakan agar berkonotasi dengan Gestapo-nya Hitler yang tersohor keganasannya itu. Rupanya sang konseptor, Brigjen Sugandhi, pimpinan koran Angkatan Bersenjata, telah banyak belajar dari sejarah dan jargon nazi Jerman. Jelas nama ini merupakan pemaksaan dengan memperkosa kaidah bahasa Indonesia (dengan hukum DM), kepentingan politik menghalalkan segala cara. Nama Gestapu digalakkan secara luas melalui media massa, sedang dalam buku tulisan Nugroho Notosusanto maupun Buku Putih digunakan istilah G30S/PKI. Barangkali ini merupakan standar ganda yang dengan sengaja dilakukan; yang pertama untuk menggalakkan konotasi jahat Gestapo dengan Gestapu/PKI, sementara buku yang ditulis oleh pakar sejarah itu bernuansa “lebih ilmiah” bahwa G30S ya PKI.

Sementara itu sejumlah pakar asing dalam karya-karyanya menggunakan istilah Gestapu ciptaan Orde Baru ini. Mungkin ada di antara mereka sekedar mengutip istilah yang digunakan begitu luas dan gencar oleh media massa Orba secara membebek tidak kritis. Dengan demikian dari istilah yang digunakan saja tulisan itu sudah memulai sesuatu dengan berpihak secara politik kepada rezim Orba yang berkuasa. Di antara pakar ini, Prof Dr Victor M Fic, seorang sejarawan Kanada, telah menulis buku yang “menghebohkan” itu karena secara murahan menuduh Bung Karno sebagai dalang G30S. Di seluruh bukunya ia menggunakan istilah Gestapu, ketika dia menggunakan istilah netral ‘Gerakan 30 September’ selalu diikuti dalam kurung (GESTAPU).

Sementara orang mengartikan penamaan Gestok (Gerakan 1 Oktober) hanya untuk gerakan yang dilakukan oleh Mayjen Suharto pada tanggal tersebut daripada gerakan Letkol Untung. Tetapi mungkin saja bahwa yang dimaksud Bung Karno adalah gerakan yang dilakukan Letkol Untung menculik sejumlah jenderal dan kemudian membunuhnya (terlepas dari adanya komplotan lain dalam gerakan yang melakukan pembunuhan itu). Penamaan itu juga terhadap gerakan Mayjen Suharto yang dilakukan menghadapi gerakan Untung serta mencegah kepergian Jendral Pranoto dan Umar Wirahadikusuma menghadap Presiden ke PAU Halim, sekaligus mengambilalih wewenang Men/Pangad Jenderal Yani yang sudah dipegang oleh Presiden Sukarno serta membangkang terhadap perintah-perintah Presiden untuk tidak melakukan gerakan militer.

Tentu saja penamaan Gestok tidak disukai oleh rezim Orba. Dalam pidatonya pada 21 Oktober 1965 di depan KAMI di Istora Senayan, Presiden Sukarno menyebutkan, “..Orang yang tersangkut pada Gestok harus diadili, harus dihukum, kalau perlu ditembak mati... Tetapi marilah kita adili pula terhadap pada golongan yang telah mengalami peruncingan seperti Gestok itu tadi”. Mungkin sekali ini maksudnya setelah pelaku peristiwa 1 Oktober (Untung cs) yang hanya berumur sehari itu diadili, maka juga terhadap pelaku yang membuat runcing persoalan sesudah itu, siapa lagi kalau bukan Jenderal Suharto cs. Dalam pidato Pelengkap Nawaksara di Istana Merdeka pada 10 Januari 1967 Presiden Sukarno dengan jelas menyebut pembunuhan para jenderal itu dengan Gestok lalu dilanjutkan dengan bertemunya tiga sebab (a) keblingernya pimpinan PKI, (b) kelihaian subversi Nekolim, (c) adanya oknum “yang tidak benar”.

Dalam dokumen yang disebut “Dokumen Slipi” yang berisi hasil pemeriksaan Bung Karno sebagai saksi ahli dalam perkara Subandrio dan merupakan kesaksian terakhir BK (1968), “...1 Oktober 1965 bagi saya adalah malapetaka, karena gerakan yang melawan G30S pada 1 Oktober 1965 itu telah melakukan pembangkangan terhadap diri saya, sejak saat itu gerakan yang melawan G30S tidak tunduk pada perintah saya, maka saya berpendapat G30S lawannya Gestok...”. Jika dokumen ini memang benar adanya, hal itu sesuai dengan seluruh perkembangan kejadian serta analisis BK tentang G30S tersebut di atas. Brigjen Suparjo segera menghentikan gerakan G30S sementara Mayjen Suharto meneruskan Gestok-nya. Tetapi sejarah juga menunjukkan bahwa Presiden Sukarno tidak mengambil tindakan apa pun terhadap jenderal yang satu ini, justru melegitimasi dengan mengukuhkan kedudukannya.

Sebenarnyalah peristiwa G30S di Jakarta hanya berlangsung selama satu hari, sementara di Jawa Tengah yang tertinggal itu berlangsung beberapa hari (sesuatu yang aneh dan perlu dikaji lebih lanjut). Gerakan selanjutnya, yang disebut BK Gestok, dilakukan oleh Mayjen Suharto dengan menentang dan menantang perintah Presiden dengan menindas PKI dan gerakan kiri lainnya, membantai rakyat dan pendukung BK, ujungnya menjatuhkan Presiden Sukarno. Inilah tragedi sebenarnya dengan pembukaan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama oleh pihak militer sendiri.

Lubang Buaya (3)

Pada 1 Oktober 1965 telah terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira pertama AD yang kemudian dimasukkan ke sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede oleh pasukan militer G30S. Pasukan ini berada di bawah pimpinan Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden.

Pada 4 Oktober 1965, ketika dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, Mayjen Suharto, Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang disiarkan luas yang menyatakan bahwa para jenderal telah dianiaya sangat kejam dan biadab sebelum ditembak. Dikatakan olehnya bahwa hal itu terbukti dari bilur-bilur luka di seluruh tubuh para korban. Di samping itu Suharto juga menuduh, Lubang Buaya berada di kawasan PAU Halim Perdanakusuma, tempat latihan sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani. Perlu disebutkan bahwa Lubang Buaya terletak di wilayah milik Kodam Jaya. Di samping itu disiarkan secara luas foto-foto dan film jenazah yang telah rusak yang begitu mudah menimbulkan kepercayaan tentang penganiayaan biadab itu. Hal itu diliput oleh media massa yang telah dikuasai AD, yakni RRI dan TVRI serta koran milik AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Sementara seluruh media massa lain dilarang terbit sejak 2 Oktober.

Jadi sudah pada 4 Oktober itu Suharto menuduh AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani bersangkutan dengan kejadian di Lubang Buaya. Selanjutnya telah dipersiapkan skenario yang telah digodok dalam badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI secara besar-besaran dan serentak. Dilukiskan terdapat kerjasama erat dan serasi antara Pemuda Rakyat dan Gerwani serta anggota ormas PKI lainnya dalam melakukan penyiksaan para jenderal dengan menyeret, menendang, memukul, mengepruk, meludahi, menghina, menusuk-nusuk dengan pisau, menoreh silet ke mukanya. Dan puncaknya kaum perempuan Gerwani itu dilukiskan sebagai telah kerasukan setan, menari-nari telanjang yang disebut tarian harum bunga, sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer, lalu mecungkil mata korban, menyilet kemaluan mereka, dan memasukkan potongan kemaluan itu ke mulutnya....

Maaf pembaca, itu semua bukan lukisan saya tapi hal itu bisa kita baca dalam koran-koran Orba milik AD yang kemudian dikutip oleh media massa lain yang boleh terbit lagi pada 6 Oktober dengan catatan harus membebek sang penguasa serta buku-buku Orba. Lukisan itu pun bisa kita dapati dalam buku Soegiarso Soerojo, pendiri koran AB, yang diterbitkan sudah pada 1988, .Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Anda juga dapat menikmatinya dalam buku Arswendo Atmowiloto yang direstui oleh pihak AD, Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipuji sebagai transkrip novel yang bagus dari film skenario Arifin C Noer dengan judul yang sama yang wajib ditonton oleh rakyat dan anak sekolah khususnya selama bertahun-tahun. Dan jangan lupa, fitnah ini diabadikan dalam diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Meski monumen ini berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai dihancurkan, tambahkanlah satu plakat yang mudah dibaca khalayak: “Di sini berdiri monumen kebohongan perzinahan politik”, agar kita semua belajar bahwa pernah terjadi suatu rezim menghalalkan segala cara untuk menopang kekuasaannya dengan fitnah paling kotor dan keji pun. Penghormatan terhadap para jenderal yang dibunuh itu ditunggangi Suharto dengan fitnah demikian.

Fitnah hitam dongeng horor itu semua bertentangan dengan hasil visum et repertum tim dokter yang dilakukan atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober 1965, bahwa tidak ada tanda-tanda penyiksaan biadab, mata dan kemaluan korban dalam keadaan utuh. Laporan resmi tim dokter itu sama sekali diabaikan dan tak pernah diumumkan. Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan selama bertahun-tahun tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan bahwa kebohongan yang terus-menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai kebenaran. Bahkan sampai dewasa ini pun, ketika informasi sudah dapat diperloleh secara bebas terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta informasi.

Apa tujuan kampanye hitam fitnah itu? Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan situasi, membangkitkan emosi rakyat umumnya dan kaum agama khususnya menuju ke pembantaian massal para anggota PKI dan yang dituduh PKI sesuai dengan doktrin membasmi sampai ke akar-akarnya. Dengan gencarnya kampanye hitam itu, maka telah berkembang biak dengan berbagai peristiwa di daerah dengan kreatifitas dan imajinasi para penguasa setempat. Selama kurun waktu 1965-1966 jika di pekarangan rumah seseorang ada lubang, misalnya untuk dipersiapkan menanam sesuatu atau sumur tua tak terpakai, apalagi jika si pemilik dicurigai sebagai orang PKI, maka serta-merta ia dapat ditangkap, ditahan dan bahkan dibunuh dengan tuduhan telah mempersiapkan “lubang buaya” untuk mengubur jenderal, ulama atau dan tokoh-tokoh lawan politik PKI setempat. Dongeng tersebut masih dihidup-hidupkan sampai saat ini.

Segala macam dongeng fitnah busuk berupa temuan “lubang buaya” yang dipersiapkan PKI dan konco-konconya untuk mengubur lawan-lawan politiknya ini bertaburan di banyak berita koran 1965-1966 dan terekam juga dalam sejumlah buku termasuk buku yang ditulis Jenderal Nasution, yang dianggap sebagai peristiwa dan fakta sejarah, bahkan selalu dilengkapi dengan apa yang disebut “daftar maut” meskipun keduanya tak pernah dibuktikan sebagai kejadian sejarah maupun bukti di pengadilan.

Seorang petani bernama Slamet, anggota BTI yang tinggal di pelosok dusun di Jawa Tengah yang jauh dari jangkauan warta berita suatu kali mempersiapkan enam lubang untuk menanam pisang di pekarangannya. Suatu siang datang sejumlah polisi dan tentara dengan serombongan pemuda yang menggelandang dirinya ketika ia sedang menggali lubang keenam. Tuduhannya ia tertangkap basah sedang mempersiapkan lubang untuk mengubur Pak Lurah dan para pejabat setempat. Dalam interogasi terjadi percakapan seperti di bawah.

“Kamu sedang mempersiapkan lubang buaya untuk mengubur musuh-musuhmu!”
Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak?” [saya sedang hendak menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak?]
Lubang boyo iku yo lubange boyo sing ana boyone PKI!” [lubang buaya itu lubang yang ada buaya milik PKI]. Baik pesakitan yang bernama Slamet maupun polisi yang memeriksanya tidak tahu apa sebenarnya lubang buaya itu, mereka tidak tahu bahwa Lubang Buaya itu nama sebuah desa di Pondokgede, Jakarta. Dikiranya di situ lubang yang benar-benar ada buayanya milik PKI. Ini bukan anekdot tetapi kenyataan pahit, si Slamet akhirnya tidak selamat alias dibunuh karena adanya “bukti telak” terhadap tuduhan tak terbantahkan. Demikian rekaman yang saya sunting dari wawancara HD Haryo Sasongko dalam salah satu bukunya.

Catatan: Dari berbagai sumber, petikan naskah yang belum terbit.

Arti “Kemenangan” Gugatan Suharto terhadap Majalah TIME


Catatan A. Umar Said

Dimenangkannya gugatan Suharto terhadap majalah TIME oleh Mahkamah Agung baru-baru ini, yang merupakan kejutan bagi banyak kalangan telah mulai mendapat banyak reaksi dari berbagai fihak. Dan kiranya, sudah dapat diperkirakan bahwa kasus ini akan berbuntut amat panjang, dan akan menjadi masalah yang menarik perhatian besar sekali di Indonesia maupun di luarnegeri. Sebab, berbagai masalah Suharto (dan keluarganya) memang sudah lama menjadi persoalan yang dianggap serius oleh opini publik.

Adalah wajar kalau ada berbagai pendapat atau reaksi dari banyak fihak terhadap dimenangkannya gugatan Suharto oleh Mahkamah Agung yang memerintahkan kepada majalah TIME untuk membayar ganti kerugian sebesar 1 triliun Rupiah (129,6 juta US$). Majalah TIME telah dianggap telah mencemarkan “nama baik” Suharto, karena telah menyiarkan pada tanggal 24 Mei 1999 suatu laporan panjang mengenai harta kekayaan keluarga Suharto beserta jaring-jaringannya yang diduga berasal dari hasil korupsi.

Sebagian dari banyak reaksi atau pendapat dari berbagai kalangan itu dapat dibaca dalam “Kumpulan berita tentang gugatan Suharto lawan TIME”. Untuk dapat mengikuti dan mendapat gambaran yang agak lengkap mengenai kasus ini, diharapkan kepada para pembaca, sudilah kiranya untuk sering-sering menyimaknya.

Dari yang sudah diungkap oleh berbagai fihak itu nyatalah sekali bahwa dimenangkannya oleh Mahkamah Agung gugatan Suharto terhadap majalah TIME ini mengandung banyak masalah yang patut sekali dipertanyakan, dan banyak pula hal-hal yang perlu ditelaah bersama-sama atau dipersoalkan. Dalam tulisan yang kali ini, diusahakan untuk disajikan sebagian dari pandangan terhadap kasus yang penting ini, yang dicoba dilihat dari berbagai segi atau sudut pandang.

Siapa-siapa Majelis Hakim yang Membela Suharto

Patutlah agaknya kita renungkan bersama mengapa ada berbagai reaksi keras dari banyak kalangan di Indonesia terhadap putusan Mahkamah Agung yang memenangkan Suharto dalam gugatannya terhadap majalah TIME. Sudah tentu, ada berbagai alasan atau sebab. Tetapi yang menonjol di antaranya adalah bahwa putusan MA yang demikian itu dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat luas.

TIME telah didakwa telah mencemarkan nama baik Suharto, karena telah membuat laporan panjang berjucul “Suharto Inc”, yang membeberkan dengan jelas dan rinci jaringan bisnis serta kekayaan keluarga Suharto, yang diduga berasal dari hasil korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan selama ia menjabat sebagai presiden.

Para hakim majelis kasasi MA menganggap pemberitaan TIME 24 Mei 1999 yang tersiar luas itu “melampaui batas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati, sehingga menyebabkan perbuatan melawan hukum yang mencemarkan nama baik penggugat (maksudnya: Suharto) sebagai jenderal besar TNI dan mantan presiden RI “ (dari Suara Merdeka,11 September .2007)

Patut dicatat di sini bahwa majelis hakim agung yang memenangkan gugatan Suharto itu diketuai oleh Mayjen TNI (Pur) German Hoediarto (Ketua Muda MA Bidang Pengadilan Militer) dengan anggota M. Taufik dan Bahaudin Qaudry. Mungkin karena ada kalangan yang mempersoalkan ditunjuknya Ketua Muda MA Bidang Pengadilan Militer sebagai Ketua Majelis Hakim Kasasi yang memeriksa gugatan Suharto itulah makanya Ketua MA, Bagir Manan, mengatakan bahwa ia “sudah memilih hakim yang tepat, walau ia memiliki latar belakang karier di bidang militer”. Barangkali, masalah penunjukan Mayjen TNI (Pur) German Hoediarto ini masih akan menimbulkan berbagai persoalan atau pertanyaan di kemudian hari.

Hukuman yang Dijatuhkan kepada TIME

Soeharto menggugat 7 pihak dari Time Asia yakni Time Inc, editor Time Donald Marison, John Colmay, Davit Liephold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis, dan Jason Tejasukmana. Hakim kasasi MA menghukum mereka (tergugat 1 sampai 7) secara tanggung renteng membayar kerugian imateril sebesar Rp 1 triliun. Selain membayar kerugian imateril, para tergugat juga harus mengajukan permintaan maaf secara terbuka di lima media cetak nasional, majalah Time di seluruh dunia, dan lima majalah terbesar di Indonesia dalam tiga kali penerbitan secara berturut-turut. (dari Suara Merdeka 12 September 2007)

Hukuman terhadap TIME yang seperti tersebut di atas ini, merupakan hukuman yang skalanya belum pernah terjadi dalam sejarah pers, dan yang sudah jelas tidak akan diterima begitu saja oleh TIME. Karenanya, sudah dapat diperkirakan bahwa fihak TIME akan melakukan perlawanan, yang effeknya atau gemanya akan luas sekali di dunia internasional. Sebagai akibatnya, putusan para hakim agung tersebut di atas akan membikin Mahkamah Agung Republik Indonesia menjadi sorotan banyak fihak, baik di Indonesia maupun di luarnegeri.

Banyak kalangan di Indonesia, termasuk kalangan pers, yang sudah memberikan reaksi yang keras terhadap putusan Mahkamah Agung. Di antara reaksi itu ada yang mengartikan putusan itu sebagai bahaya yang bisa mengancam kebebasan pers, bahkan menyebabkan kematian usaha penerbitan pers. Di antara reaksi-reaksi itu ada yang mempersoalkan besarnya hukuman yang sampai 1 triliun Rupiah yang harus dibayar TIME kepada Suharto. Ada yang mengatakan bahwa putusan Mahkamah Agung semacam itu mengandung ciri-ciri fasisme, yang mengancam kehidupan pers.

Sumbangan Besar Majalah TIME

Segi lain yang juga layak untuk sama-sama direnungkan atau dipersoalkan ialah anggapan para hakim majelis kasasi MA bahwa pemberitaan TIME yang menyajikan bahan-bahan mengenai harta kekayaan Suharto itu “melampau batas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati”. Sebab, dalam laporan tentang harta kekayaan Suharto -- yang diduga berasal dari korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan -- apa sajakah dan bagaimanakah “batas kepatutan” yang dimaksudkan oleh majelis hakim itu. ?

Dan ketika membaca bahwa laporan TIME itu “melampaui batas ketelitian dan sikap hati-hati” orang pun bisa mengingatkan para hakim bahwa laporan itu sudah dibuat oleh orang-orang yang keprofessionalannya cukup tinggi, dan sudah mengumpulkan bahan-bahan selama 4 bulan di 11 negeri. Mereka pun sudah berusaha menge-cek informasi-informasi yang mereka peroleh dengan sumber-sumber yang terpercaya.

Walaupun, katakanlah, di sana-sini bisa saja ada data atau informasi yang tidak benar atau kurang tepat, tetapi bisalah kiranya dikatakan bahwa tujuan yang mau dicapai oleh laporan itu tetap bisa dibenarkan, yaitu : membongkar berbagai kejahatan Suharto yang berupa korupsi besar-besaran dan berbagai penyalahgunaan. Dan jelaslah bahwa tujuan yang demikian itu sesuai dengan harapan sebagian besar rakyat Indonesia, yang sudah dimanifestasikan oleh berbagai golongan (terutama oleh generasi muda sejak sebelum jatuhnya Suharto) dan oleh keputusan MPR.

Dari sudut pandang inilah kita bisa memandang bahwa laporan majalah TIME itu telah berjasa dan memberi sumbangan besar sekali kepada perjuangan berbagai kalangan di Indonesia yang menuntut diadilinya Suharto. Laporan majalah TIME iru merupakan salah satu di antara tulisan-tulisan yang secara lengkap membongkar kejahatan korupsi Suharto, di samping tulisan-tulisan George Aditjondro yang juga dengan berani sekali telah mengekspose berbagai praktek buruk Suharto beserta keluarganya.

“Nama baik” Suharto sudah Tercemar sejak Lama

Di antara berbagai persoalan yang berkaitan dengan dimenangkannya Suharto lawan TIME adalah anggapan para hakim MA bahwa majalah tersebut telah bersalah “mencemarkan nama baik Suharto”. Karena, sebenarnya, sejak lama “nama baik”-nya Suharto sudah tercemar, baik di Indonesia maupun di luarnegeri. Sejak jauh sebelum dijatuhkan dari kedudukannya sebagai Presiden dalam tahun 1998, nama Suharto sudah penuh dengan kecemaran, baik karena kejahatan-kejahatannya di bidang politik dan HAM, maupun karena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukannya secara besar-besaran dan dalam jangka lama pula.

Contohnya, kalau kita buka Google lewat Internet, dan kita ketik kata kunci “Suharto –korupsi” (dalam Google versi Indonesia) maka akan tersedia macam-macam bahan tentang korupsi keluarga Suharto sebanyak 37.500 halaman.. Kalau diketik dalam Google versi Inggris kata-kunci “Suharto – corruption” maka tersedia berbagai bahan dalam 249.000 halaman !!! Dengan menyimak bahan-bahan yang bisa banyak didapat dari Google, maka jelas sekalilah bagi siapa pun bahwa “nama baik” Suharto sudah sangat tercemar di dunia internasional, dan sejak lama sekali.

Jadi, mengingat itu semua bisalah kiranya disimpulkan bahwa dakwaan bahwa TIME sudah mencemarkan nama baik Suharto adalah keliru sama sekali. TIME hanya memperkuat atau menambah informasi tentang kejahatan Suharto yang sudah dibeberkan oleh banyak kalangan, dan berbagai media, baik di Indonesia maupun di banyak negeri di dunia. Dan perlu dicatat di sini, bahwa Suharto adalah satu-satunya presiden di dunia yang paling banyak diberitakan korupsinya. Dalam hal yang satu ini, dialah yang pemegang rekord dunia.

Aksi-aksi Rakyat dan Keputusan MPR: Adili Suharto!

Untuk lebih menjelaskan arti penting laporan TIME tentang kasus Suharto, kiranya perlu kita ingat semua (termasuk para hakim MA) bahwa justru karena kejahatan-kejahatannya di bidang politik dan HAM dan juga KKN yang sudah keterlaluan itulah makanya Suharto telah “dicampakkan”, atau “dibuang” atau “dipinggirkan” oleh gerakan besar-besaran secara nasional dari generasi muda, dengan dukungan simpati dari rakyat banyak. Juga, bahwa karena korupsinya yang merajalela itu pulalah maka MPR sudah membuat keputusan yang memerintahkan pemeriksaan terhadap Suharto.

Dan perlulah juga kita ingat bersama bahwa sejak “lengsernya” Suharto dari kursi kepresidenan, gerakan atau aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai golongan dalam masyarakat untuk menuntut dengan keras diadilinya mantan dedengkot Orde Baru ini tetap terus-menerus berlangsung, sampai sekarang !

Jadi, singkatnya, sekali lagi, “nama baik” Suharto beserta keluarganya sudah tercemar sejak lama, bukan hanya di Indonesia saja, melainkan juga di luarnegeri.. Mengingat itu semua, kalau ada orang atau kalangan yang masih berani bicara tentang “nama baik Suharto” maka patutlah kiranya dipertanyakan kejujuran fikirannya, atau dipersoalkan kebersihan hati nuraninya, atau, bahkan, diragukan kewarasan nalarnya (ma’af, kalau kata-kata ini dianggap terlalu kasar). Hanya para pendukung setia rejim militer Orde Barulah yang masih mau dan berani berbicara begitu.

Perlu adanya Hakim yang Jujur dan Adil

Memang, sampai sekarang Suharto belum pernah bisa diperiksa oleh pengadilan apakah ia sudah benar-benar telah bersalah atau tidak bersalah melakukan berbagai kejahatan dan korupsi. Ini disebabkan berbagai rekayasa atau manipulasi dalih (antara lain : “masalah kesehatan” atau kondisi fisik) sehingga ia tidak bisa – atau belum bisa -- diajukan di depan pengadilan. Ini pulalah yang menunjukkan berbagai kelemahan sistem hukum dan peradilan di Indonesia, yang diperkuat oleh membusuknya fikiran para simpatisan Suharto.

Sebenarnya, hanya pengadilan yang benar-benar independen, atau yang sungguh-sungguh menjalankan tugasnya dengan seadil-adilnya, yang dapat menilai atau menentukan kesalahan atau ketidaksalahan Suharto. Untuk itu memang dibutuhkan adanya hakim-hakim, jaksa-jaksa, dan pengacara-pengacara yang jujur, berani, tulus hati, dan benar-benar menjunjung tinggi-tinggi keadilan dan kebenaran. Dan bukannya orang-orang yang bisa “dibeli”, atau ditakut-takuti, atau dipengaruhi oleh fihak-fihak yang meremehkan keadilan atau membungkam kebenaran.

Dan, kita tidak tahu dengan pasti, apakah hakim-hakim agung di Mahkamah Agung itu terdiri dari orang-orang yang benar-benar mempunyai kejujuran dalam menunaikan tugas mereka. Tetapi, dengan dimenangkannya gugatan Suharto terhadap majalah TIME, maka kita bisa mengukur sikap para hakim yang memeriksa perkaranya, apakah mereka sungguh-sungguh menjunjung perasaan keadilan dan kebenaran, atau tidak.

Bukti dan Indikasi Korupsi Suharto sudah banyak

Selama Suharto tidak bisa diajukan di depan pengadilan karena adanya berbagai dalih dan dalil (yang palsu), atau karena adanya konspirasi (kasarnya, kongkalikong) di kalangan pemegang kekuasaan di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif, maka opini publik akan tetap terus mempunyai anggapan bahwa Suharto memang bersalah karena berbagai kejahatan, termasuk juga dalam hal korupsi.

Sebab, bukti-bukti atau indikasi yang menunjukkan adanya korupsi besar-besaran yang sudah dilakukannya selama puluhan tahun kekuasaannya itu sudah terlalu banyak dilihat oleh banyak kalangan (termasuk yang disaksikan sendiri oleh kalangan dekatnya), dan sudah banyak pula dibeberkan di pers Indonesia dan luarnegeri. Masalah yang menyangkut yayasan-yayasan Suharto dan simpanan uang di bank BNP (di Inggris) hanyalah sebagian kecil saja dari kasus kejahatan keluarga Suharto.

Sebenarnya, Suharto (beserta keluarganya) sudah terkena sanksi moral atau mendapat sanksi sosial yang berat (dan sudah selayaknya !) dari opini publik, setelah mengetahui dosa-dosa besarnya selama ini. Jadi, keputusan Mahkamah Agung, yang menuding bahwa majalah Time “mencemarkan nama baik” Suharto bisa diartikan sebagai sikap yang bertentangan sama sekali dengan opini publik, baik nasional maupun internasional.

Kemenangan Suharto tidak bisa Dibangga-banggakan

Oleh karena masalah korupsi Suharto (dan keluarganya) sudah menjadi masalah besar yang dipersoalkan masyarakat luas, dan yang mengharapkan adanya tindakan hukum untuk mengadilinya, maka wajar kalau ada reaksi yang keras dari berbagai kalangan karena kecewa dengan keputusan MA tersebut.

Oleh karena itu, kita bisa memandang bahwa kemenangan yang “dihadiahkan” oleh Mahkamah Agung kepada Suharto bukanlah kemenangan yang bisa dibangga-banggakan oleh rakyat Indonesia, atau disambut dengan gembira, melainkan sebaliknya, harus diprihatinkan atau disesalkan oleh banyak orang yang mendambakan keadilan dan menjunjung tinggi-tinggi kebenaran.

Kemenangan Suharto atas majalah TIME sama sekali bukanlah kemenangan nasionalisme atau patriotisme Indonesia lawan arogansi kepentingan asing, atau lawan alat imperialisme AS. Dengan kalimat lain, bisalah dikatakan “kemenangan” Suharto ini sama sekali bukannya kebanggaan bangsa, melainkan sebaliknya, aib bangsa yang memalukan !

Kemenangan Suharto lawan TIME berati kemenangan (sementara) fikiran yang menginjak-injak perasaan keadilan, yang bersemayam di kepala dan hati para hakim di MA yang mengadili kasus gugatan Suharto ini. Dimenangkannya Suharto atas TIME akan lebih merusak lebih parah lagi citra dunia peradilan di Indonesia yang memang sudah terkenal rusak, atau bobrok atau busuk. Sayang, seribu kali sayang, bahwa lembaga peradilan tertinggi negara kita sudah begitu merosot citranya dengan memenangkan gugatan Suharto.

Merosotnya Citra Mahkamah Agung

Kalau kita renungkan segi-segi lainnya dengan dalam-dalam, maka nyatalah bahwa dimenangkannya Suharto dalam kasus ini akan membikin makin terbongkarnya kebusukan dan kebobrokan citra keluarga Suharto, di samping makin merosotnya -- secara dalam-dalam pula -- citra Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dan merosotnya citra Mahkamah Agung ini bisa mengakibatkan jatuhnya juga citra penegakan hukum di Indonesia sebagai keseluruhan.

Dapat diduga sejak sekarang, bahwa kasus dimenangkannya Suharto ini akan berbuntut panjang, dan gemanya akan memantul di banyak tempat di dunia. Karena, sudah dapat diperkirakan bahwa majalah TIME akan membalasnya dengan perlawanan yang setimpal. Dan, akan kita sama-sama sasikan bahwa “kemenangan” yang diperoleh Suharto dari Mahkamah Agung ini akhirnya akan bisa berubah nantinya menjadi kekalahannya secara moral, karena adanya perlawanan dari seluruh gerakan anti-korupsi dan anti-kejahatan HAM, baik yang di Indonesia maupun yang di luarnegeri.

Secara keseluruhan dapatlah kiranya disimpulkan bahwa maksud para hakim di Mahkamah Agung untuk membela kehormatan atau nama baik Suharto malahan berakibat membikin lebih hancurnya citranya dan kehormatan atau nama baiknya, yang memang sudah lama membusuk itu. Karena, sekali lagi, patutlah sama-sama kita ingat bahwa sejak jauh sebelum dijatuhkan dari kedudukannya sebagai Presiden dalam tahun 1998, nama Suharto sudah penuh dengan kecemaran, baik karena kejahatan-kejahatannya di bidang politik dan HAM, maupun karena korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukannya secara besar-besaran dan dalam jangka lama pula.

Kita masih ingat, dan para hakim agung di Mahkamah Agung pun semestinya juga masih ingat, bahwa justru karena kejahatan-kejahatannya di bidang politik dan HAM dan juga KKN yang sudah keterlaluan itu semualah makanya Suharto telah “dicampakkan”, atau “dibuang” atau “dipinggirkan” oleh gerakan besar-besaran secara nasional dari generasi muda, dengan dukungan simpati dari rakyat banyak.

Untuk kesekian kalinya, perlu juga diulangi di sini, bahwa juga karena korupsinya yang merajalela itu pulalah maka MPR sudah membuat keputusan yang memerintahkan pemeriksaan terhadap Suharto. Dan sejak “lengsernya” Suharto dari kursi kepresidenan, gerakan atau aksi-aksi yang dilakukan oleh berbagai golongan dalam masyarakat untuk menuntut diadilinya mantan dedengkot Orde Baru ini masih juga terus-menerus berlangsung, dengan tetap menggebu-gebu, sampai sekarang !

Paris, 13 September 2007

Logika Kekuasaan di Balik Keputusan MA




Oleh George Junus Aditjondro

Bagaikan disambar petir, banyak pengamat hukum dan pers kemarin terbelalak matanya ketika mengetahui Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Soeharto melawan Time, 31 Agustus lalu. Keputusan MA itu menggugurkan keputusan PN Jakarta Pusat, 6 Juni 2000, yang menolak gugatan mantan Presiden ke-2 RI itu, yang dikuatkan oleh PT DKI, 16 Maret 2001. Dengan demikian, majalah berita berbahasa Inggris yang dalam edisi Asia, 24 Mei 1999, menurunkan laporan tajuk, Suharto Inc.: How Indonesia’s longtime boss built a family fortune itu, diharuskan membayar denda sebesar Rp 1 triliun kepada Soeharto.

Hal itu mengejutkan, karena tiga hal. Pertama, apa yang dilakukan majalah Time lewat investigasi intensif di belasan negara di dunia selama empat bulan, sesungguhnya membantu Pemerintah Indonesia menjalankan amanat Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tap MPR itu sendiri lahir karena tuntutan gerakan mahasiswa agar Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, mengusut dugaan korupsi terhadap Soeharto. Tuntutan, yang dipupuk dengan darah mahasiswa yang gugur dekat kampus Trisakti s/d kampus Unika Atma Jaya, Jakarta.

Kedua, Kejaksaan Agung sendiri sedang mengajukan gugatan senilai US$ 1,5 miliar terhadap Soeharto, dengan tuduhan menyalahgunakan posisinya sebagai Kepala Negara untuk menggemukkan tujuh yayasan yang diketuainya. Tujuh yayasan, yang dipakai memperkaya keluarga dan kroni-kroni Soeharto melalui saham ketujuh yayasan itu di ratusan perusahaan mereka. Dengan kata lain, pemerintah -melalui diri Jaksa Agung- telah mencium aroma korupsi di balik kekayaan sang mantan jenderal besar.

Ketiga, begitu bodohkah para hakim PN Jakarta Pusat dan PT DKI, sehingga majelis Hakim Agung yang diketuai German Hoediarto, bisa menolak semua argumen mereka? Padahal, argumen-argumen hukum ini didukung oleh perkara-perkara korupsi tiga orang dekat Soeharto: Probosutedjo, adik tirinya; Bob Hasan, teman main golfnya; dan Tommy Soeharto, putra bungsu kesayangannya.

Memang, dalam kasus Tommy Soeharto, terjadi hal yang serupa tapi tak sama dengan kasus keputusan MA ini. Majelis hakim agung yang dipimpin oleh Syafiuddin Kartasasmita menolak keputusan PN Jakarta Pusat dan PT DKI, yang membebaskan Tommy Suharto dari kasus tukar guling aset-aset Bulog dengan perusahaannya, PT Goro Batara Sakti. Namun setelah orang-orang suruhan Tommy menembak mati sang hakim agung, kasus yang dikenakan terhadap Tommy kemudian berubah dari korupsi ke pembunuhan.

Tetapi, belakangan ini, Kejaksaan Agung berusaha menyeret Tommy ke depan meja hijau lagi, urusan proyek mobil Timor, yang direstui oleh Presiden Soeharto menjelang akhir kekuasaannya. Belum lagi deposito Tommy senilai Rp 425 miliar di Pulau Guernsey, yang kalau bisa dibuktikan berasal dari tindak pidana, dapat dikenakan UU Anti Pencucian Uang No 15/Th. 2002.

Dalam kasus itu, Kejaksaan Agung RI sedang menggugat BNP Paribas, yang menolak untuk menyerahkan uang deposito Tommy. Padahal, deposito di Pulau Guernsey itu baru “pucuk gunung es” harta Tommy Soeharto di daerah-daerah di bawah yurisdiksi Inggris. Sebab lapangan golf mewah di daerah Ascot, di luar kota London, masih tetap dimiliki Tommy melalui dua orang proksinya, yang juga membantu menjalankan perusahaan penjualan mobil Timornya. Lapangan golf itu dikuasai Tommy melalui empat lapis perusahaan di Inggris, di Jibraltar, di Hong Kong, dan di Karibia.

Jadi, di mana logikanya, bahwa MA membebaskan Soeharto dan menyalahkan Time? Sebab “Soeharto” yang dimaksudkan Time, bukan hanya sang purnawirawan jenderal besar, tapi juga keluarga batihnya, jadi termasuk keenam orang anaknya. Ataukah, logika okum telah digantikan oleh logika kekuasaan? Sebab, seperti disebutkan dalam putusan majelis hakim agung pimpinan Mayor Jenderal (Purn) TNI, German Hoediarto, “pemuatan gambar dan tulisan itu mencemarkan nama baik dan kehormatan penggugat sebagai Jenderal Besar TNI purnawirawan dan mantan Presiden RI” (Kedaulatan Rakyat, 11 September 2007).

Imelda Marcos

Indonesia, bukan satu-satunya negara di mana MA menjadi batu sandungan usaha pemberantasan korupsi tingkat tinggi. Di Filipina, Imelda Marcos juga telah dibebaskan dari segala tuduhan korupsi oleh MA Filipina, Juli 1998, setelah pengadilan-pengadilan negeri dan tinggi di memvonis mantan Ibu Negara itu sembilan tahun penjara karena tuduhan melakukan tindak pidana korupsi, bersama suaminya, mendiang Ferdinand Marcos. Keputusan MA Filipina itu diambil di era kepresidenan Joseph (”Erap”) Estrada, yang didukung oleh Imelda Marcos.

Setelah menang di MA, Imelda semakin gencar melakukan serangan balik. Selain mendorong keluarga besarnya terjun ke politik lewat pemilihan kepala-kepala daerah dan senator-senator, Imelda menuntut “pengembalian” saham-saham Keluarga Marcos dalam perusahaan-perusahaan yang menurut Imelda, hanya “dititipkan” pada kroni-kroninya. Salah satunya adalah maskapai telkom swasta, PLTD, yang ‘kebetulan’ berkongsi dengan First Pacific Group di Hong Kong, milik Liem Sioe Liong dan Sudwikatmono, saudara sepupu Soeharto.

Makanya, skenario terburuk setelah kemenangan Soeharto di MA ini adalah kembalinya keluarga dan kroni-kroni Soeharto ke tampuk kekuasaan politik. Juga ke panggung ekonomi, dengan berusaha menguasai kembali perusahaan-perusahaan yang tadinya disita pemerintah karena utang-utang mereka. Kita sudah melihat tanda-tanda ke arah sana, dengan serangan balik Tommy Soeharto terhadap Bulog, yang dianggapnya telah merugikan Tommy dalam kasus tukar guling yang mengakibatkan ia diputuskan bersalah oleh pengadilan.

Penulis mengamati korupsi Soeharto besertakeluarga dan kroninya sejak 1994. Bukunya,Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa, diterbitkan oleh LKiS, Mei tahun lalu. Ia dapat dihubungi di georgejunusaditjondro@gmail.com

Sumber: www.soehartoincbuster.org
Alamat email ini telah dilindungi dari spam bots, Javascript harus aktif untuk melihatnya

Selasa, 11 September 2007

Pembekuan Aset


Tak Perlu Perjanjian Antarpemerintah

Nusa Dua, Kompas - Swiss menawarkan kerja sama penelusuran aset yang berkaitan dengan dugaan tindak pidana di Indonesia melalui hubungan baik antarkedua negara. Kerja sama tersebut tidak harus berupa perjanjian resmi antara Pemerintah Swiss dan Indonesia, namun dapat berupa bantuan hukum timbal balik atau mutual legal assistance antardua pihak yang membutuhkan.

Hal itu dikemukakan Jean- Bernard Schmid, hakim penyidik di Geneva, Swiss, di sela-sela seminar "Pengembalian Aset dan Perjanjian Hukum Timbal Balik" di Nusa Dua, Bali, Kamis (6/9). Schmid mencontohkan, lembaga hukum di Indonesia yang sedang mengejar aset seorang pelaku tindak pidana dapat menjalin kerja sama timbal balik dengan otoritas pusat di Swiss maupun pemerintah provinsi yang memiliki kekuasaan penuh.

Apabila menemukan rekening milik tersangka tindak pidana di sebuah bank di Swiss atau aset tersangka tersebut di Swiss, penyidik dari sebuah institusi penegak hukum di Indonesia yang menangani perkara itu dapat mengajukan permintaan pembekuan aset tersangka. Cukup menyertakan permintaan disertai bukti permulaan yang menyatakan bahwa rekening atau aset itu milik tersangka tindak pidana.

"Kemudian, institusi hukum itu memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa si tersangka benar-benar melakukan tindak pidana dan aset atau rekening itu miliknya. Maka, aset yang dibekukan itu dapat dicairkan untuk dikembalikan ke negara yang dirugikan," kata Schmid.

Schmid mengingatkan, untuk mencegah aset pelaku tindak pidana hilang dan tersebar hingga hilang, permintaan pembekuan aset harus dilakukan sejak awal penyidikan.

Yang menjadi persoalan kemudian, jika uang sudah dibekukan namun pihak yang meminta pembekuan tak kunjung dapat membuktikan bahwa uang tersebut hasil tindak kejahatan.

Pembekuan uang 5,3 juta dollar AS milik mantan Direktur Utama Bank Mandiri ECW Neloe di sebuah bank di Swiss sejak tahun 2005 hingga kini masih berlangsung.

"Sekarang ini uang itu belum bisa dikembalikan ke Indonesia karena belum ada keputusan bersalah terhadap dia (Neloe) berkaitan dengan uang tersebut," ungkap Schmid. (IDR)

Lembaga Negara


Susduk antara Presiden dan Menteri Harus Jelas

Jakarta, Kompas - Penataan hubungan antarlembaga negara tak boleh ditunda lagi, mengingat masih ada kesan persaingan yang saling mengungguli antarlembaga negara. Bangsa ini mengharapkan adanya lembaga negara yang kuat untuk menyejahterakan rakyat.

Hal itu disampaikan Ketua Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri seusai mengikuti Rapat Pansus RUU Partai Politik serta Susunan dan Kedudukan (Susduk) DPR di Jakarta, Kamis (6/9). "Saya pikir yang harus jelas susduknya itu bukan hanya partai politik dan DPR, tetapi presiden dan menteri juga harus jelas," ujarnya.

Menurut Sayuti, susduk tentang presiden dan menteri bukan hanya mengatur secara internal saja, tetapi juga bagaimana mengatur hubungan presiden dan menteri dengan DPR. Hubungan ini masih membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam.

Saat ini, menurut Sayuti, Presiden dinilai lemah ketika pengangkatan duta besar harus mendapat persetujuan dari DPR. Di saat lain, DPR dianggap lemah ketika tak berhasil memperjuangkan hak rakyat yang menjadi korban lumpur Lapindo, kenaikan tarif tol, dan kenaikan harga-harga.

"Semua tidak jelas apa ukurannya. Padahal, hubungan kelembagaan DPR dan eksekutif seharusnya bukan soal siapa yang lebih kuat. Bagi saya, kelembagaan yang kuat itu penting, asal itu untuk memperjuangkan kepentingan rakyat," ujarnya.

Soal kepala negara

Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan Endin AJ Soefihara mengatakan, secara semantik ketatanegaraan Indonesia memang mengenal istilah kepala negara dan kepala pemerintahan.

"Istilah ini sering kali menimbulkan dispute operasional, apalagi bila ditambah dengan kenyataan presiden juga bisa bertindak sebagai pribadi," ujarnya.

Seluruh bangsa ini, menurut Endin, tidak pernah tahu kapan presiden bertindak sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan pribadi. Pasalnya, belum ada aturan yang jelas tentang itu.

Padahal, menurut Endin, Indonesia memiliki referensi sejarah pada Kerajaan Demak. Ketika itu, Raden Patah sebagai pemegang kendali pemerintahan dan militer, sedangkan Sunan Kalijaga menjadi pemegang kekuasaan kerajaan dan keagamaan.

Dalam struktur modern saat ini, lanjutnya, organisasi Nahdlatul Ulama juga mengadopsi pemerintahan Kerajaan Demak, di mana kepengurusan NU dibagi menjadi tanfidziyah dan syuriyah. "Satu eksekutif dan penasihat yang mempunyai kekuasaan tertinggi," ujarnya. (MAM)

RUU Peradilan Militer


Pemerintah Masih Ingin Ada Koneksitas

Jakarta, Kompas - Pemerintah berpandangan, pemeriksaan koneksitas di peradilan umum sudah tidak lagi diperlukan. Namun, pemerintah masih memandang perlu pemeriksaan koneksitas di lingkungan peradilan militer untuk memproses tindak pidana militer yang dilakukan sipil dan militer secara bersama- sama.

Pandangan itu disampaikan Staf Ahli Panglima TNI Bidang Sosial, Budaya, dan HAM Mayor Jenderal FXJ Sukiman dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Peradilan Militer di Gedung DPR, Kamis (6/9). Rapat dipimpin Ketua Panja Azlaini Agus dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN).

Pemerintah mencontohkan beberapa kasus tentang tindak pidana militer yang dilakukan bersama-sama atau atas perbantuan sipil. Kasus itu, antara lain sipil yang menggerakkan/menganjurkan militer untuk desersi; bersama-sama militer mencuri persenjataan militer; bersama- sama militer membocorkan rahasia militer; atau sipil yang menggerakkan satuan militer guna melakukan pemberontakan militer.

"Usulan ini bukan untuk apa- apa. Ini kan untuk kepentingan pertahanan negara dan bangsa keseluruhan," ucap Sukiman seusai rapat.

Menurut dia, koneksitas di peradilan militer belum banyak dipikirkan. Akibatnya, dalam banyak kasus, sipil yang ikut mendorong tindak pidana militer tidak bisa dijerat hukum. "Sipil yang membujuk prajurit desersi itu tak bisa disidang karena tidak memenuhi unsur-unsur pidana umum," paparnya.

Menyikapi usulan pemerintah tersebut, rapat panja memberi kesempatan kepada masing-masing fraksi untuk mendalami persoalan hingga Kamis depan.

Menurut Azlaini, usulan pemerintah ini perlu dicermati secara mendalam untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum.

"Kita tak ingin ada warga sipil yang mendorong tindak pidana militer tidak bisa diadili di peradilan umum dan akhirnya membuat pelakunya bebas," ujar politisi dari PAN itu.

Meskipun demikian, sebagai pimpinan panja, dia pun akan berupaya untuk membatasi secara ketat pemeriksaan koneksitas di peradilan militer agar tidak menjadi pasal "karet".

"Kalau ada fraksi yang menerima usulan pemerintah, tentu juga dengan batasan tegas. Dengan demikian, tidak jadi pasal karet dan kemudian dijadikan pelampung," kata Azlaini. (sut)

Pengadilan Tipikor di Provinsi


Korupsi di Daerah Semakin Banyak

Jakarta, Kompas - Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di tingkat provinsi. Hal ini untuk menghemat anggaran negara. Nantinya semua perkara korupsi, baik yang ditangani kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, akan dibawa ke Pengadilan Khusus Tipikor ini.

Hal itu dijelaskan oleh Ketua Tim Perumus Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Romli Atmasasmita di Jakarta, Kamis (6/9).

Tim perumus mengagendakan, pada 21-26 September akan dilakukan konsinyering atas pembahasan draf RUU Pengadilan Khusus Tipikor ini.

Romli memperkirakan, draf RUU Pengadilan Tipikor dari tim perumus selesai November 2007 dan kemungkinan draf akan selesai di DPR pada Mei atau Juni 2008.

"Kemungkinan keberadaan Pengadilan Khusus Tipikor yang tersebar di provinsi-provinsi akan dilakukan pada 2009," ungkap Romli.

Menurut dia, pembentukannya diputuskan di tingkat provinsi dan dilakukan secara bertahap. Sempat ada usulan kalau di DKI Jakarta, di setiap wilayah dibentuk Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, tidak hanya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Namun, akhirnya kami sepakat kalau di DKI, Pengadilan Khusus Tipikor yang sudah ada," ujarnya.

Perlu administrasi khusus

Selain membahas soal lokasi keberadaan Pengadilan Khusus Tipikor, lanjut Romli, tim perumus juga membahas mengenai organisasi Pengadilan Khusus Tipikor.

"Kami membahas siapa pimpinan Pengadilan Khusus Tipikor, disepakati ketua pengadilan negeri sesuai dengan undang-undang karena Pengadilan Khusus Tipikor berada di bawah peradilan umum sehingga ketua PN menjadi ex officio," ujarnya.

"Sementara itu, perlu ada pimpinan yang bertugas teknis. Maka, wakil ketua pengadilan negeri diberikan tugas mengurusi administrasi khusus Pengadilan Khusus Tipikor," kata Romli.

Pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran ini berpendapat, tim perumus menilai perlu ada administrasi khusus bagi Pengadilan Khusus Tipikor demi kecepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Khusus Tipikor.

"Administrasi khusus ini perlu dan tidak digabung dengan pengadilan negeri. Juga dibicarakan panitera khusus Pengadilan Tipikor sehingga panitera itu tidak perlu mondar-mandir sehingga dia bisa fokus mengurusi perkara-perkara korupsi Pengadilan Tipikor," katanya.

Dukungan MA

Romli menyambut gembira rencana Mahkamah Agung (MA) yang melatih 100 hakim karier yang akan menangani perkara tindak pidana korupsi.

"Ini menunjukkan MA mendukung keberadaan Pengadilan Tipikor dengan mempersiapkan para hakim itu. Sementara persiapan hakim ad hoc tipikor harus kita adakan juga," kata Romli.

Sementara itu, dari Nusa Dua, Bali, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengatakan, korupsi di daerah saat ini semakin banyak jumlahnya. Bagi KPK, korupsi di daerah ini menjadi primadona perkara korupsi yang ditangani lembaga tersebut.

Kondisi seperti itu menjadi salah satu alasan KPK untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan Khusus Tipikor di daerah.

"Tak usah membentuk KPK di daerah. Bentuk saja Pengadilan Tipikor di daerah," kata Ruki, Rabu lalu.

Menurut Ruki, kondisi yang ideal adalah Pengadilan Tipikor dibentuk di setiap pengadilan negeri yang berkedudukan di ibu kota provinsi. Pengadilan Tipikor semacam ini berwenang mengadili perkara di tingkat pertama.

"Usulan ini sudah disampaikan. Sekarang sedang disandingkan dengan usulan dari pemerintah dan masyarakat," kata Ruki.

Korupsi tambah banyak

Romli Atmasasmita di Nusa Dua, Bali, membenarkan, saat ini rancangan yang diajukan KPK, pemerintah, dan masyarakat itu sedang berada di tangan pemerintah.

Anggota Tim Perumus RUU Pengadilan Khusus Tipikor, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, saat ini RUU usulan masyarakat sedang dalam tahap pembahasan.

"Kedudukan Pengadilan Tipikor di tiap kabupaten melekat pada pengadilan negeri, menjadi sistem bikamer. Hal ini untuk menghindari dualisme kepemimpinan dalam manajemen administrasi," kata Indriyanto melalui telepon.

Taufiequrachman Ruki menambahkan, saat ini makin banyak saja korupsi di daerah yang ditangani KPK. Salah satu konsekuensinya, KPK harus mendatangkan saksi-saksi perkara tersebut dari daerah, yang menyita biaya cukup besar.

Selain itu, saat ini beban majelis hakim Pengadilan Tipikor di Jakarta juga semakin berat. Alasan inilah yang membuat KPK, tambah Ruki, tidak memacu kecepatan penanganan korupsi. Ruki juga membantah KPK lambat menangani perkara.

"Kalau KPK percepat penanganan korupsi, lalu perkara yang diserahkan ke pengadilan banyak, sedangkan hakimnya terbatas, perkara itu bisa macet di pengadilan," ungkap Ruki. (vin/IDR)

Rabu, 05 September 2007

Nurzein Thoat: Ini Sudah Keterlaluan

KAJEN - Penundaaan pembacaan tuntutan kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Pekalongan hingga lima kali, dinilai akan jadi preseden buruk bagi citra peradilan di Kabupaten Pekalongan.

Ketua Forum Lintas Pelaku (FLP) Kabupaten Pekalongan H Nurzein Thoat mengaku kecewa dengan keputusan jaksa yang kembali menunda pembacaan tuntutan. "Apa-apaan ini, saya sudah tidak bisa lagi mengatakan apa-apa, ini sudah keterlaluan," ujarnya dengan nada geram.

Persidangan kasus dugaan korupsi dengan terdakwa mantan Ketua DPRD 1999-2004 Dulmanan sudah berlangsung 9 bulan. Untuk pembacaan tuntutan sudah lima kali ditunda. "Persidangan yang sangat lama ini sangat aneh, dan hanya terjadi di Pekalongan," tutur mantan anggota DPRD yang melaporkan dan terus konsisten mengawal kasus itu.

Pekan lalu, Kepala Kejaksaan Kajen M Rabith sudah menyatakan siap membacakan tuntutan (Suara Merdeka, 30/8). "Dia sudah berjanji, tapi ternyata kembali ditunda ," paparnya.

Kejelasan

Kejaksaan Negeri Kajen, tegas Nurzein harus memberikan kejelasan secara transparan, apa sebenarnya yag melatarbelakangi penundaan itu. "Jika alasannya prosedur, kenapa hanya terjadi di Pekalongan, dan daerah yang lain tidak selama ini," paparnya.

Jika kejaksaan tidak segera memberikan penjelasan, masyarakat akan selalu bertanya-tanya, dan itu akan jadi preseden buruk bagi peradilan di Pekalongan dan nama baik kejaksaan.

Sejak dilaporkan pertama kali oleh FLP, proses hukum kasus dugaan korupsi APBD yang juga melibatkan anggota DPRD lain itu tak kunjung usai, meski sudah enam tahun lamanya.

Kasus korupsi APBD 2001 dan 2003 dalam bentuk duplikasi anggaran kesehatan yang ditaksir merugikan uang negara Rp 5,4 miliar, mulai dilaporkan FLP ke Kejaksaan Negeri Pekalongan (waktu itu belum ada Kejaksaan Negeri Kajen - Red)18 Juni 2002. Kasus itu kemudian secara resmi dilimpahkan ke Kejaksan Negeri Kajen September 2004. (G16, J17-15)

Pembacaan Tuntutan Lima Kali Tertunda

  • Sidang Kasus Korupsi APBD

PEKALONGAN - Pernyataan Kajari Kajen, Muhammad Rabith SH yang memastikan jaksa siap membacakan tuntutan dalam persidangan Selasa (4/9), kemarin tidak terbukti. Untuk kelima kalinya, pembacaan tuntutan kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Pekalongan senilai Rp 5,4 M yang melibatkan terdakwa Dulmanan kembali ditunda.

Penundaan itu terjadi karena jaksa, Retno H Iriani dkk belum siap dengan tuntutannya. Ketua majelis hakim, Guntur Purwanto SH MH hanya dapat mengimbau kepada jaksa agar dapat segera membacakan tuntutan tersebut.

"Sidang sudah mengalami penundaan selama 6 minggu. Saya harap tuntutan dapat segera dibacakan karena masyarakat juga menunggunya," katanya.

Karena selalu tidak siap membacakan tuntutan dalam sidang yang berlangsung setiap seminggu sekali, maka kali ini jaksa diberi kesempatan dua minggu untuk menyelesaikan tuntutannya.

Kuasa hukum terdakwa, Bagas Sarjito SH mengaku tidak kecewa atas penundaan sidang tersebut. "Penundaan itu merupakan kewenangan dari penuntut umum, mekanismenya memang seperti itu," ungkapnya.

Retno di hadapan sejumlah wartawan mengatakan, pihaknya tidak akan membacakan tuntutan sepanjang belum ada perintah dari Kejaksaan Agung.

Sidang selanjutnya akan digelar hari Selasa, 18 September 2007. (J17,G16 -52).

Selasa, 04 September 2007

Kejagung Janjikan Kasus Pemerasan Diungkap


Jakarta, Kompas - Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin menyatakan, masyarakat tak perlu khawatir Kejaksaan Agung atau Kejagung tak akan menyingkap dugaan suap dan pemerasan yang terjadi di lingkungan Kejaksaan Tinggi Papua.

"Kejagung segera meneliti dugaan pemerasan dan dugaan suap tersebut," kata Muchtar Arifin, Senin (3/9). Dia menjawab adanya kekhawatiran masyarakat soal kelanjutan kasus suap di lingkungan kejaksaan itu.

Namun, mengenai penggunaan rekening dengan nama mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, menurut Muchtar hanya rumor. "Harus ada buktinya. Mudah saja kan, orang mengaku sebagai Jaksa Agung, menggunakan namanya, lalu membuka rekening," kata Muchtar.

Pihaknya sudah menyiapkan calon Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua yang akan menggantikan Lorens Serworwora, Kepala Kejati Papua saat ini.

Seperti diwartakan, tujuh pejabat di lingkungan Kejati Papua—termasuk Kepala Kejati Lorens Serworwora, Wakil Kepala Kejati Domu P Sihite, dan Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura Poltak Radjagukguk—dicopot dari jabatannya. Mereka diduga melakukan perbuatan tercela dalam menangani perkara penangkapan ikan ilegal di Papua. Bahkan, laporan masyarakat menyiratkan adanya dugaan suap kepada jaksa yang menangani perkara itu (Kompas, 31/8).

Menurut Muchtar, proses penggantian segera dilaksanakan setelah proses koordinasi dengan Gubernur Papua Barnabas Suebu selesai. Hari Senin kemarin sudah ada pejabat Kejagung yang ditugaskan ke Papua. "Untuk koordinasi dengan Gubernur Papua soal penggantian," katanya di Hotel Dharmawangsa, Jakarta.

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyebutkan, pengangkatan Kepala Kejati di Provinsi Papua dilakukan Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur. Pemberhentian Kepala Kejati di Provinsi Papua dilakukan Jaksa Agung.

Muchtar menolak menyebutkan nama calon Kepala Kejati Papua yang sudah disiapkan Kejagung. "Tidak ada keharusan Kepala Kejati Papua adalah putra daerah," kata Muchtar.

Lorens Serworwora juga disebut-sebut terlibat dalam dugaan pemerasan terhadap terdakwa perkara korupsi pengadaan alat evaporasi Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, Papua.

Dugaan pemerasan yang disebutkan pengacara terdakwa, yakni Adolf Waramori dan Y Hary Maturbongs, menggunakan 20 rekening untuk menampung dana hasil pemeriksaan, termasuk dua rekening atas nama Abdul Rahman Saleh. Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membantah tudingan yang dikatakannya sebagai isu itu karena ia tidak memiliki rekening di Bank BCA cabang mana pun (Kompas, 1/9). (idr)

Calon Akui Pernah Terima Sumbangan


Jakarta, Kompas - Rektor Universitas Bhayangkara Bibit Samad Rianto, salah seorang calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, mengakui, dengan hanya bermodalkan Rp 26 juta, ia bisa membangun rumah seluas 300 meter persegi.

Pengakuan itu disampaikan Bibit saat dikonfirmasi anggota Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK, Hikmahanto Juwana, soal masukan masyarakat terkait dengan kekayaannya dalam wawancara terbuka di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (3/9). Sejumlah calon dikonfirmasi terkait dengan masukan masyarakat tentang integritas mereka.

Menurut Bibit, sebagai kepala polres ketika itu, ia mendapat banyak sumbangan dari beberapa orang, yaitu sumbangan genting, bata, ataupun keperluan lain untuk membangun rumah.

"Kalau rezeki, kenapa ditolak?" ujar Bibit saat dikonfirmasi tentang masukan masyarakat yang mempersoalkan kekayaan Bibit yang lebih besar dari pendapatannya.

Saat ditanya apakah itu bukan berarti "investasi" bagi si pemberi, mengingat jabatannya selaku kepala polres, Bibit menjawab, "Mungkin juga."

Hikmahanto juga mengonfirmasi soal pembiayaan dari seseorang saat Bibit meraih gelar doktor. "Betul, Pak. S-3 saya dibiayai oleh Kepala Polri. Saya waktu itu diberi tahu Sespri Kepala Polri, lalu saya tanya, ’Dik, uang itu halal atau haram? Kalau haram, saya mau bagi-bagi saja biar semua merasakan, tetapi kalau halal saya mau pakai buat sekolah’," urai Bibit.

Bibit juga dikonfirmasi bahwa dirinya saat menjabat sebagai Kepala Polda Kalimantan Timur pernah juga jadi pimpinan perusahaan tambang PT Gunung Bayang Prima Coal. Bibit membantah. "Tidak, Pak. Boleh dibuktikan. Kalau PT Desi iya, saya diminta seorang kiai yang memiliki perusahaan itu agar saya menjadi konsultan. Namun, ada masalah internal. Saya keluar walaupun saya perlu uangnya," ungkapnya.

Kasus Tommy Soeharto

Pansel juga melakukan klarifikasi kepada Antasari Azhar, Direktur Penuntutan pada Jampidum Kejaksaan Agung yang juga menjadi calon pimpinan KPK.

Antasari membantah bahwa pembelian dan pembangunan rumah miliknya di Pondok Indah terkait dengan kasus Tommy Soeharto. "Tidak benar, saya siap menerima sanksi, termasuk sanksi pidana," bantah Antasari menjawab Pansel KPK terkait dengan penanganan kasus Tommy Soeharto.

Pansel KPK juga menanyakan beberapa kasus yang mengindikasikan Antasari terlibat judicial corruption. Salah satunya, kasus korupsi Bupati Konawe Lukman Abunawas. Antasari diinformasikan bertemu dengan Lukman Abunawas di Bangka Belitung dan diduga ada pemberian uang Rp 3 miliar.

Mantan Kepala Kejati Sultra ini menjawab, "Tidak pernah. Saya bertemu justru di kantor saya dalam konteks penyelesaian perkara. Ia datang sebagai tersangka." (VIN)

Antara Sumbangan Batu Bata, Genteng Rumah dan Kue



Menjadi penegak hukum memang enak. Selain dihormati, kadang juga sering dibayari orang. Tak hanya itu, seringkali sumbangan-sumbangan mengalir ke mereka. Pengakuan ini diungkapkan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto. Ia secara terang-terangan mengaku menerima sumbangan batu bata dan genteng untuk membangun rumah saat ia menjabat Kapolres.

Di hadapan panitia seleksi calon pimpinan KPK saat menjalani seleksi wawancara terbuka di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (3/9), Bibit mengatakan, ia menerima sumbangan itu meski percaya orang yang memberi mungkin berniat berinvestasi pada dirinya. ''Saya hanya keluar Rp 26 juta untuk membangun rumah. Sisanya, ada saja orang yang beri. Karena saya Kapolres, ada orang yang nawarin, 'Bapak mau batu bata?', lalu ada yang datang bawa batu bata. Fondasi rumah saja belum selesai, sudah ada orang lagi yang bawa genteng,'' tuturnya lancar tanpa rasa sungkan.

Bibit mengatakan, ia menerima semua pemberian itu karena pihak pemberi sama sekali tidak ada kaitan perkara dengannya, meski menyadari pemberian itu mungkin dilandasi oleh niat tertentu. ''Saya akan berlaku seperti orang Samin, kalau ada yang beri saya terima, tetapi permintaannya saya tolak,'' ujarnya. Bibit yang berpangkat Mayjen Pol itu juga mengaku biaya kuliah S3 untuknya dibayari oleh Kapolri. Menurut dia, saat itu ia menerima uang Lebaran Rp 50 juta. ''Saya sudah tanya ke sesprinya ini uang haram atau halal. Kalau haram, biar saya bagi-bagi ke orang lain biar dosanya tidak ke saya sendiri. Tapi akhirnya saya pakai untuk sekolah,'' ujarnya.

Lain Bibit, lain Antasari Azhar. Mantan Kejati DKI yang juga mantan juru bicara Kejaksaan Agung ini justru membantah banyak tudingan miring terhadap dirinya. Dengan gaya tenang, Antasari mengatakan dirinya sudah kebal dan biasa dengan tudingan-tudingan miring tersebut. Dalam kesempatan itu Antasari berjanji jika dirinya menjadi pimpinan KPK, ia akan bersikap tegas terhadap aparat penegak hukum yang melanggar hukum dalam perbuatan korupsi.

Dalam paparannya di depan pansel calon pimpinan KPK, Antasari mengatakan UU No 3 Tahun 1971 lebih baik dari UU No 31 Tahun 1999 dalam hal pengembalian kerugian negara. Menurut dia, UU No 31 Tahun 1971 lebih tegas dalam mengupayakan pengembalian kerugian negara karena tidak dapat diganti dengan hukuman badan, tidak seperti yang diatur dalam UU No 31 Tahun 1999. ''Nanti dikhawatirkan koruptor lebih suka ditahan beberapa bulan lagi dibanding membayar kerugian negara. Padahal, pemberantasan korupsi juga dimaksudkan mengembalikan keuangan negara semaksimal mungkin,'' paparnya.

Sementara calon pimpinan KPK lainnya, Christianto Wibisono, mengatakan ia mungkin lebih cocok untuk mendaftar sebagai anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Christian mengemukakan motivasinya untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK adalah untuk pertobatan nasional. Ia menawarkan konsep melupakan dan memaafkan masa lalu, sehingga para koruptor dapat diberi amnesti. ''Tetapi, ke depannya tidak ada ampun lagi apabila sudah ada perbaikan. Sepertinya saya salah melamar ya, saya seharusnya masuk ke komisi rekonsiliasi,'' ujarnya.

Calon lainnya, Chandra M Hamzah, mengatakan, kegagalan KPK dalam masa kepemimpinan saat ini adalah belum bisa berperan lebih dari lembaga penegak hukum yang ada. ''KPK dibentuk karena penegak hukum yang ada sekarang ini dinilai belum mampu menangani perkara korupsi. KPK yang sekarang ini belum mampu menjalankan peran itu,'' ujarnya. Chandra yang berprofesi sebagai advokat dan memiliki kantor hukum sendiri itu mengaku tidak pernah terlibat praktik mafia peradilan.

Calon pimpinan KPK, Daniel Pangaribuan, yang telah 20 tahun berkarir sebagai auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), mengaku sering menerima uang transport dari institusi obyek pemeriksaan apabila kantornya tidak menyediakan uang transport. ''Tetapi itu jumlahnya kecil,'' ujarnya. Menurut dia, penerimaan uang itu tidak masalah selama tidak mengganggu obyektivitas pemeriksaan. ant/one