Selasa, 18 September 2007

Logika Kekuasaan di Balik Keputusan MA




Oleh George Junus Aditjondro

Bagaikan disambar petir, banyak pengamat hukum dan pers kemarin terbelalak matanya ketika mengetahui Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan Soeharto melawan Time, 31 Agustus lalu. Keputusan MA itu menggugurkan keputusan PN Jakarta Pusat, 6 Juni 2000, yang menolak gugatan mantan Presiden ke-2 RI itu, yang dikuatkan oleh PT DKI, 16 Maret 2001. Dengan demikian, majalah berita berbahasa Inggris yang dalam edisi Asia, 24 Mei 1999, menurunkan laporan tajuk, Suharto Inc.: How Indonesia’s longtime boss built a family fortune itu, diharuskan membayar denda sebesar Rp 1 triliun kepada Soeharto.

Hal itu mengejutkan, karena tiga hal. Pertama, apa yang dilakukan majalah Time lewat investigasi intensif di belasan negara di dunia selama empat bulan, sesungguhnya membantu Pemerintah Indonesia menjalankan amanat Tap MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tap MPR itu sendiri lahir karena tuntutan gerakan mahasiswa agar Sidang Istimewa MPR bulan November 1998, mengusut dugaan korupsi terhadap Soeharto. Tuntutan, yang dipupuk dengan darah mahasiswa yang gugur dekat kampus Trisakti s/d kampus Unika Atma Jaya, Jakarta.

Kedua, Kejaksaan Agung sendiri sedang mengajukan gugatan senilai US$ 1,5 miliar terhadap Soeharto, dengan tuduhan menyalahgunakan posisinya sebagai Kepala Negara untuk menggemukkan tujuh yayasan yang diketuainya. Tujuh yayasan, yang dipakai memperkaya keluarga dan kroni-kroni Soeharto melalui saham ketujuh yayasan itu di ratusan perusahaan mereka. Dengan kata lain, pemerintah -melalui diri Jaksa Agung- telah mencium aroma korupsi di balik kekayaan sang mantan jenderal besar.

Ketiga, begitu bodohkah para hakim PN Jakarta Pusat dan PT DKI, sehingga majelis Hakim Agung yang diketuai German Hoediarto, bisa menolak semua argumen mereka? Padahal, argumen-argumen hukum ini didukung oleh perkara-perkara korupsi tiga orang dekat Soeharto: Probosutedjo, adik tirinya; Bob Hasan, teman main golfnya; dan Tommy Soeharto, putra bungsu kesayangannya.

Memang, dalam kasus Tommy Soeharto, terjadi hal yang serupa tapi tak sama dengan kasus keputusan MA ini. Majelis hakim agung yang dipimpin oleh Syafiuddin Kartasasmita menolak keputusan PN Jakarta Pusat dan PT DKI, yang membebaskan Tommy Suharto dari kasus tukar guling aset-aset Bulog dengan perusahaannya, PT Goro Batara Sakti. Namun setelah orang-orang suruhan Tommy menembak mati sang hakim agung, kasus yang dikenakan terhadap Tommy kemudian berubah dari korupsi ke pembunuhan.

Tetapi, belakangan ini, Kejaksaan Agung berusaha menyeret Tommy ke depan meja hijau lagi, urusan proyek mobil Timor, yang direstui oleh Presiden Soeharto menjelang akhir kekuasaannya. Belum lagi deposito Tommy senilai Rp 425 miliar di Pulau Guernsey, yang kalau bisa dibuktikan berasal dari tindak pidana, dapat dikenakan UU Anti Pencucian Uang No 15/Th. 2002.

Dalam kasus itu, Kejaksaan Agung RI sedang menggugat BNP Paribas, yang menolak untuk menyerahkan uang deposito Tommy. Padahal, deposito di Pulau Guernsey itu baru “pucuk gunung es” harta Tommy Soeharto di daerah-daerah di bawah yurisdiksi Inggris. Sebab lapangan golf mewah di daerah Ascot, di luar kota London, masih tetap dimiliki Tommy melalui dua orang proksinya, yang juga membantu menjalankan perusahaan penjualan mobil Timornya. Lapangan golf itu dikuasai Tommy melalui empat lapis perusahaan di Inggris, di Jibraltar, di Hong Kong, dan di Karibia.

Jadi, di mana logikanya, bahwa MA membebaskan Soeharto dan menyalahkan Time? Sebab “Soeharto” yang dimaksudkan Time, bukan hanya sang purnawirawan jenderal besar, tapi juga keluarga batihnya, jadi termasuk keenam orang anaknya. Ataukah, logika okum telah digantikan oleh logika kekuasaan? Sebab, seperti disebutkan dalam putusan majelis hakim agung pimpinan Mayor Jenderal (Purn) TNI, German Hoediarto, “pemuatan gambar dan tulisan itu mencemarkan nama baik dan kehormatan penggugat sebagai Jenderal Besar TNI purnawirawan dan mantan Presiden RI” (Kedaulatan Rakyat, 11 September 2007).

Imelda Marcos

Indonesia, bukan satu-satunya negara di mana MA menjadi batu sandungan usaha pemberantasan korupsi tingkat tinggi. Di Filipina, Imelda Marcos juga telah dibebaskan dari segala tuduhan korupsi oleh MA Filipina, Juli 1998, setelah pengadilan-pengadilan negeri dan tinggi di memvonis mantan Ibu Negara itu sembilan tahun penjara karena tuduhan melakukan tindak pidana korupsi, bersama suaminya, mendiang Ferdinand Marcos. Keputusan MA Filipina itu diambil di era kepresidenan Joseph (”Erap”) Estrada, yang didukung oleh Imelda Marcos.

Setelah menang di MA, Imelda semakin gencar melakukan serangan balik. Selain mendorong keluarga besarnya terjun ke politik lewat pemilihan kepala-kepala daerah dan senator-senator, Imelda menuntut “pengembalian” saham-saham Keluarga Marcos dalam perusahaan-perusahaan yang menurut Imelda, hanya “dititipkan” pada kroni-kroninya. Salah satunya adalah maskapai telkom swasta, PLTD, yang ‘kebetulan’ berkongsi dengan First Pacific Group di Hong Kong, milik Liem Sioe Liong dan Sudwikatmono, saudara sepupu Soeharto.

Makanya, skenario terburuk setelah kemenangan Soeharto di MA ini adalah kembalinya keluarga dan kroni-kroni Soeharto ke tampuk kekuasaan politik. Juga ke panggung ekonomi, dengan berusaha menguasai kembali perusahaan-perusahaan yang tadinya disita pemerintah karena utang-utang mereka. Kita sudah melihat tanda-tanda ke arah sana, dengan serangan balik Tommy Soeharto terhadap Bulog, yang dianggapnya telah merugikan Tommy dalam kasus tukar guling yang mengakibatkan ia diputuskan bersalah oleh pengadilan.

Penulis mengamati korupsi Soeharto besertakeluarga dan kroninya sejak 1994. Bukunya,Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa, diterbitkan oleh LKiS, Mei tahun lalu. Ia dapat dihubungi di georgejunusaditjondro@gmail.com

Sumber: www.soehartoincbuster.org
Alamat email ini telah dilindungi dari spam bots, Javascript harus aktif untuk melihatnya

Tidak ada komentar: