Selasa, 11 September 2007

Lembaga Negara


Susduk antara Presiden dan Menteri Harus Jelas

Jakarta, Kompas - Penataan hubungan antarlembaga negara tak boleh ditunda lagi, mengingat masih ada kesan persaingan yang saling mengungguli antarlembaga negara. Bangsa ini mengharapkan adanya lembaga negara yang kuat untuk menyejahterakan rakyat.

Hal itu disampaikan Ketua Partai Amanat Nasional Sayuti Asyathri seusai mengikuti Rapat Pansus RUU Partai Politik serta Susunan dan Kedudukan (Susduk) DPR di Jakarta, Kamis (6/9). "Saya pikir yang harus jelas susduknya itu bukan hanya partai politik dan DPR, tetapi presiden dan menteri juga harus jelas," ujarnya.

Menurut Sayuti, susduk tentang presiden dan menteri bukan hanya mengatur secara internal saja, tetapi juga bagaimana mengatur hubungan presiden dan menteri dengan DPR. Hubungan ini masih membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam.

Saat ini, menurut Sayuti, Presiden dinilai lemah ketika pengangkatan duta besar harus mendapat persetujuan dari DPR. Di saat lain, DPR dianggap lemah ketika tak berhasil memperjuangkan hak rakyat yang menjadi korban lumpur Lapindo, kenaikan tarif tol, dan kenaikan harga-harga.

"Semua tidak jelas apa ukurannya. Padahal, hubungan kelembagaan DPR dan eksekutif seharusnya bukan soal siapa yang lebih kuat. Bagi saya, kelembagaan yang kuat itu penting, asal itu untuk memperjuangkan kepentingan rakyat," ujarnya.

Soal kepala negara

Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan Endin AJ Soefihara mengatakan, secara semantik ketatanegaraan Indonesia memang mengenal istilah kepala negara dan kepala pemerintahan.

"Istilah ini sering kali menimbulkan dispute operasional, apalagi bila ditambah dengan kenyataan presiden juga bisa bertindak sebagai pribadi," ujarnya.

Seluruh bangsa ini, menurut Endin, tidak pernah tahu kapan presiden bertindak sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan pribadi. Pasalnya, belum ada aturan yang jelas tentang itu.

Padahal, menurut Endin, Indonesia memiliki referensi sejarah pada Kerajaan Demak. Ketika itu, Raden Patah sebagai pemegang kendali pemerintahan dan militer, sedangkan Sunan Kalijaga menjadi pemegang kekuasaan kerajaan dan keagamaan.

Dalam struktur modern saat ini, lanjutnya, organisasi Nahdlatul Ulama juga mengadopsi pemerintahan Kerajaan Demak, di mana kepengurusan NU dibagi menjadi tanfidziyah dan syuriyah. "Satu eksekutif dan penasihat yang mempunyai kekuasaan tertinggi," ujarnya. (MAM)

Tidak ada komentar: