Minggu, 06 Januari 2008

Penemuan Hukum ataukah Perilaku "Chaos"?


Amir Syamsuddin


Mahkamah Agung mengklaim telah melakukan penemuan hukum tatkala memutus perkara sengketa Pilkada Sulsel. Hal itu dilakukan demi memperoleh kebenaran material/substansial yang tidak mungkin diperoleh jika hanya mengikuti peraturan formal.

Namun, banyak pihak menyatakan, Mahkamah Agung (MA) telah melampaui wewenang dan sama sekali tidak mempertimbangkan peraturan perundang-undangan pilkada seperti UU No 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya. Pertanyaannya, benarkah MA telah melakukan penemuan hukum?

Proses konkretisasi

Penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan proses pembentukan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, seperti interpretasi, argumentasi atau penalaran (redenering), konstruksi hukum, dan lain-lain. Kaidah-kaidah dan metode-metode tersebut digunakan agar penerapan aturan hukumnya terhadap peristiwanya tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum sehingga hasil yang diperoleh dari proses tersebut juga dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum. Ini artinya penemuan hukum dapat diartikan sebagai proses konkretisasi peraturan (das sollen) ke dalam peristiwa konkret tertentu (das sein).

Dalam praktik, kita temukan banyak peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Oleh karena itu, peraturan hukum yang tidak ada harus diadakan, yang tidak jelas harus dijelaskan, dan yang tidak lengkap harus dilengkapi, dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dengan penemuan hukum, kita berharap setiap putusan hakim harus mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Banyak metode yang dapat digunakan untuk menemukan hukum, namun setiap metode tersebut tidak boleh mengabaikan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku universal, baik yang terkandung dalam setiap undang-undang, yurispurensi, doktrin, perjanjian, kebiasaan, dan perilaku manusia yang beradab. Kita juga tidak dapat mengabaikan begitu saja tujuan dari pembentuk dan pembentukan undang-undang karena hal itu merupakan jiwanya. Tanpa ini, sebuah undang-undang tidak ada artinya.

Jika hukum diamini oleh Satjipto Rahardjo sebagai perilaku, apa yang dilakukan oleh MA di dalam membuat putusan dalam kasus Pilkada Sulsel adalah sebuah bentuk perilaku yang chaos. Dalam teori hukum, chaos bermakna kekacauan dan ketidakteraturan. Dunia chaos dalam arti positif akan dipenuhi dengan energi kegelisahan, gairah, hasrat, kehendak, dan ekstase yang mendorong bagi penjelajahan, pencarian sehingga menciptakan peluang kreativitas, dinamisitas, dan produktivitas.

Apakah penemuan hukum dalam hal ini bisa dimaknai sebagai bagian dari ke-chaos-an? Bisa ya dan bisa tidak. Namun, dari sisi negatif, dunia chaos bisa bermakna pada ketidakteraturan dan kekacauan yang merusak tatanan nilai dan norma, artinya bertentangan dengan teori tentang sistem hukum (theories of legal system). Oleh karena itu, dunia chaos harus didasarkan pada energi kegairahan, bukan didasarkan pada energi kepentingan/kekuatan.

Charles Sampford menggunakan teori chaos sebagai melle (disorder of law). Menurut beliau, hukum pada dasarnya adalah kondisi ketidakteraturan karena begitu banyak faktor yang memengaruhinya, termasuk kekuatan-kekuatan yang saling tarik- menarik dan berbenturan di dalamnya (asimetris). Bagi penganut teori sistem hukum, pembentukan perilaku yang diperankan oleh MA dalam kasus Pilkada Sulsel adalah perilaku chaos bagi dunia hukum dan lawan bagi keteraturan.

Namun, perlu dipertanyakan, betulkah MA menyadari "teori chaos" semacam ini. Apabila disadari, pengambilan putusan MA dalam kasus Pilkada Sulsel masih bisa dipahami. Namun, apabila hal itu dikatakan sebagai suatu penemuan hukum sebagaimana dipahami oleh teoretisi hukum selama ini, hal tersebut tidaklah dapat dimengerti.

Kebenaran substansial

Di dalam menyikapi putusan MA yang memerintahkan dilakukan pilkada ulang sebagai bagian dari penemuan hukum, kami mempunyai pendapat sendiri. Peraturan perundang-undangan pilkada di Indonesia seperti UU No 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannya telah mengatur tentang apa yang disebut sebagai sengketa penghitungan suara/sengketa pilkada, sengketa administrasi, dan kasus pilkada.

Untuk penyelesaian sengketa penghitungan suara telah diatur mekanismenya melalui upaya "keberatan", baik yang diajukan ke pengadilan tinggi maupun MA. Untuk sengketa administratif telah diatur penyelesaiannya melalui peraturan dan keputusan KPU ataupun KPUD. Adapun untuk kasus-kasus pilkada seperti penggelembungan, kecurangan, dan tindakan-tindakan yang bersifat pidana diselesaikan melalui peradilan umum.

Oleh karena itu, dalam upaya penyelesaian sengketa penghitungan suara melalui "keberatan" ke pengadilan tinggi ataukah ke MA, kebenaran yang dicari adalah kebenaran angka, bukanlah kebenaran substansial sebagaimana yang dimaksudkan dalam putusan MA dalam memeriksa upaya "keberatan" dalam Pilkada Sulsel. Sementara pencarian kebenaran substansial hanyalah bisa dilakukan oleh peradilan umum untuk menyelesaikan kasus-kasus pilkada yang bersifat pidana. Oleh karena itu, tidaklah salah apabila banyak pihak menyatakan MA telah melampaui wewenangnya.

Jikalau MA kemudian menyatakan telah melakukan penemuan hukum di dalam menyelesaikan sengketa penghitungan suara, penemuan hukum seperti apa yang dimaksudkan oleh MA. Bagaimana mungkin sebuah sengketa "angka" dicari dalam kebenaran substansial? Peraturan perundang-undangan pilkada kita telah mengatur secara jelas dan lengkap bagaimana menyelesaikan sebuah "sengketa angka", bahkan mengatur alat-alat bukti yang bisa dipakai di dalam mencari kebenaran angka tersebut. Jadi, tidak ada hukum yang harus ditemukan, dicari, dilengkapi, ataupun dijelaskan.

Penemuan hukum ataupun perilaku chaos hanyalah dapat dipahami secara teoretis, tapi benarkah putusan MA dalam kasus Pilkada Sulsel telah memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan? Hanya publik yang bisa menilainya.

AMIR SYAMSUDDIN Praktisi Hukum, Jakarta

Tidak ada komentar: