Minggu, 06 Januari 2008

Hukum Indonesia-Bersatu


Satjipto Rahardjo


Indonesia memang mengalami keterpurukan hukum (Laporan Akhir Tahun Kompas, 24/12/ 2007). Ini juga disebut sebagai krisis, yaitu jurang yang menganga antara apa yang diharapkan (ideal) dan apa yang terjadi (realitas).

Keadaan akan menjadi lebih buruk (hopeless) apabila kita tidak pandai-pandai menanganinya. Ibaratnya sampah harus diproses menjadi pupuk yang berguna bagi petani. Indonesia yang terpuruk ini adalah sebuah laboratorium hukum par excellence di dunia. Oleh karena itu, marilah kita bekerja keras mendayagunakan laboratorium Indonesia itu untuk membangun kembali hukum kita yang terpuruk.

Kita tahu bahwa laboratorium adalah sebuah tempat untuk menekuni, mengurai, membongkar, singkat kata "ngerjain" (elaborate) barang yang sedang diteliti di lab itu. Jangan dilewatkan, laboratorium adalah tempat untuk bereksperimen. Ini penting sekali. Saya ingin berhenti pada masalah eksperimentasi ini.

Kultur liberal

Indonesia adalah murid yang patuh pada cara berhukum yang diwariskan oleh Belanda kepada "muridnya" bekas jajahan Hindia Belanda itu. Sejak zaman kolonial sudah ditanamkan "asas konkordansi" (concordantie beginsel), yaitu bahwa Hindia Belanda hanya boleh berhukum dengan cara-cara yang sesuai dengan negeri induknya. Apa yang dilakukan di negeri jajahan itu harus sama dengan yang dilakukan di Belanda. Patuh itu adalah mengikuti perundang-undangannya, asas, doktrin, dan lebih daripada itu juga kulturnya. Sampai dengan dekade-dekade awal kemerdekaan, kita masih menjadi murid yang patuh, yang tidak berani mengutak-atik apa yang diwariskan.

Kultur berhukum yang diwariskan kepada kita adalah kultur yang liberal. Kultur liberal ini sudah menjadi watak penting dan dasar dari sistem hukum modern yang digunakan di negeri ini dan juga di banyak negara lain. Kultur liberal, yang juga sudah dikecam di Amerika Serikat, bertugas untuk menyelamatkan dan menjaga "kemerdekaan dan kebebasan individu". Hukum lalu menjadi bastion bagi kemerdekaan individu tersebut. Tugas tersebut dijabarkan ke dalam substansi, prosedur, dan kultur hukum.

Indonesia sudah memberi kesempatan, selama lebih dari setengah abad, kepada sistem hukum yang demikian itu untuk melayani bangsanya. Sekarang, di dalam laboratorium Indonesia itu, datanglah waktu kita untuk mengamati, menekuni, dan menyayat-nyayat tubuh hukum liberal itu di meja laboratorium. Apakah cara berhukum selama ini masih bermanfaat? Kalau ada penyakit, di mana penyakit itu? Apakah seluruh jaringan perlu dibuang? Adakah yang masih dapat dipertahankan? Dan sederet pertanyaan lainnya.

Satu hal yang menonjol adalah bahwa cara menanggulangi berbagai persoalan besar yang menggunakan sistem yang berwatak liberal itu banyak menunjukkan kegagalan. Ini sangat kentara dalam pemberantasan korupsi. Orang bahkan dengan sinis mengatakan bahwa pengadilan Indonesia malah menjadi surga bagi kapal koruptor untuk berlabuh (safe haven).

Kalau sistem yang ada, yang notabene liberal itu, tidak ingin dipertahankan lebih lama, lalu alternatif apakah yang tersedia? Adakah sistem alternatif itu? Di sinilah kita mulai bereksperimen.

Kesadaran majemuk

Di dunia ini tidak hanya ada satu saja cara berhukum. Pemikiran hukum mutakhir di dunia sekarang ini sudah menyarankan agar dunia memiliki kesadaran majemuk (plurality-conscious) dalam berhukum. Itu berarti tidak boleh ada lagi satu standar berhukum di dunia ini. Momentum ini sangat kondusif untuk membangun suatu cara berhukum alternatif bagi membantu penyelesaian persoalan-persoalan besar di negeri kita dewasa ini.

Artikel ini menyarankan suatu cara berhukum yang tidak semata-mata berpusat pada "kemerdekaan individu", tetapi juga "berpusat pada Indonesia". Kita sekarang berada di abad ke-21, sudah ada Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia dan lain- lain, sehingga sudah lebih cerdas dan dewasa dan tidak perlu khawatir dituduh anti-individu. Kultur hukum baru yang digagas ini memang tidak anti-individu.

Sistem peradilan sekarang yang dibangun dari institut-institut independen, seperti kepolisian, kejaksaan, advokat, pengadilan, yang dirancang untuk "menyelamatkan individu" itu, perlu ditata kembali menjadi sistem yang lebih "pro-Indonesia". Inilah yang saya sebut sebagai "Hukum Indonesia-Bersatu" (Indonesia Law Incorporated) itu. Dalam gagasan alternatif ini, elemen-elemen dalam sistem peradilan tidak boleh lagi berhadapan satu sama lain dalam suasana konfrontatif, tetapi maju bersama-sama menghadapi satu sasaran yang sama, yaitu musuh Indonesia, apakah itu korupsi atau apa pun wujudnya.

Mengubah perundang-undangan yang ada memang sulit dan lama, tetapi kita dapat mulai dengan mengubah kultur atau perilaku mereka yang bergerak dalam sistem peradilan. Sistem formal tetap, tetapi perilaku para pelaku perlu berubah, dari "individu-sentris" dan "institut-sentris" menjadi "Indonesia-sentris".

Eksperimen memerlukan rangkaian pekerjaan uji coba yang panjang. Tetapi, bagaimanapun, setidaknya langkah pertama sudah diayunkan menuju kebangkitan Indonesia dari krisis dengan model "Hukum Indonesia-Bersatu".

Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro

Tidak ada komentar: