Sabtu, 24 November 2007

Aliran Dana Diduga Lewat Perantara Mafia Peradilan


Jakarta, Kompas - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution menyatakan, dana bantuan hukum Bank Indonesia yang berasal dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia untuk para mantan gubernur, deputi gubernur, dan direksi BI, yang menghadapi persoalan hukum, diduga disalurkan kepada oknum penegak hukum melalui sejumlah perantara.

Perantara itu merupakan bagian dari mafia peradilan. Penegasan itu disampaikan Anwar Nasution kepada Kompas dan tiga media lain di ruang kerjanya di Gedung BPK Jakarta, Jumat (23/11).

"Menurut pengakuan Rusli Simanjuntak kepada auditor BPK, dana itu disalurkan lewat perantara. Perantara itu bagian dari mafia peradilan. Dana-dana tersebut ada yang disalurkan lewat pengacara, ada yang diserahkan ke mantan-mantan. Lalu, diserahkan ke perantara. Itulah yang seharusnya ditelusuri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," kata Anwar.

Mengenai apakah auditor BPK mengetahui siapa oknum perantara itu, Anwar mengatakan tidak tahu. Dua auditor BPK yang menemani wawancara, Nyoman Wara dan Novi, juga menggelengkan kepalanya. "Penyidik yang harus menelusuri. Kita ini hanya auditor, yang hanya bisa memverifikasi. Kalau mengaku, dicatat. Jika tidak mengaku, mau bilang apa? Apa bisa ditempeleng si Rusli Simanjuntak itu? Kan, tidak bisa," kata Anwar.

Namun, saat ditanya bahwa tuduhan BPK itu kurang kuat, bahkan seorang mantan anggota DPR menyebut tuduhan tersebut konyol, Anwar mengatakan, tokoh kunci yang mengetahui siapa-siapa saja oknum di aparat penegak hukum dan anggota DPR yang menerima dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp 100 miliar itu ada pada dua orang, yaitu Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong.

Sebagaimana diketahui, dana YPPI itu sebanyak Rp 68,5 miliar untuk bantuan hukum, sisanya sebesar Rp 31,5 miliar untuk dana diseminasi anggota DPR.

"Kuncinya itu ada pada dua orang. Yang pertama, Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong. Mereka yang tahu siapa yang memberikan perintah kepada mereka. Mereka juga tahu siapa saja yang menerima dana dari BI," katanya.

Berdasarkan surat Anwar yang dikirimkan kepada KPK, 14 November 2006, nama Rusli Simanjuntak disebut-sebut sebagai Kepala Biro Gubernur waktu itu dan Oey Hoey Tiong sebagai Deputi Direktur Direktorat Hukum BI.

Disebutkan dalam surat Anwar, "Selanjutnya pengurus YPPI memberikan dana tersebut pada pejabat BI yang bertindak sebagai koordinator, yaitu Sdr Oey Hoey Tiong untuk dana bantuan hukum serta Sdr Rusli Simanjuntak dan Sdr Asnar Ashari untuk bagian dana yang diserahkan kepada Panitia Perbankan Komisi IX DPR periode tahun 2003."

Menurut Anwar, dana sebesar Rp 100 miliar yang dikeluarkan dari YPPI untuk bantuan hukum para mantan gubernur, deputi, dan direksi BI dikategorikan salah. "Dua-duanya salah. Satu, uang yang berasal dari YPPI dan, kedua, penggunaan dana itu,"kata Anwar.

Anwar menjelaskan, itulah latar belakang mengapa ia mengirimkan surat kepada KPK, agar pada masa datang tidak terjadi kesalahan serupa di BI. "BI perlu dibenahi. Kalau bank sentral kayak begitu, siapa yang percaya kepada Indonesia? Pembukuan BI sudah lebih baik. Jangan main-main dengan uang negara seperti dulu. Sudah lewat masa main-main seperti itu," tuturnya.

Senin diperiksa KPK

Anwar membantah upaya membongkar dugaan penyimpangan dana itu dilandasi motif lain di luar kepentingan mengungkapkan hasil audit BPK. "(Jadi calon Gubernur BI) Saat ini tidak ada tujuan ke sana. Pangkat saya lebih tinggi daripada Gubernur BI, apalagi menteri. Itu (Burhanuddin Abdullah) bukan saingan saya. Saya ini guru besar. Bukan doktor yang tak jelas. Bukan doktor yang sogok sana-sini. Jadi, tak ada hubungan dengan itu (pencalonan Gubernur BI tahun depan)," kata Anwar.

Lebih jauh, terkait dengan keikutsertaannya menghadiri rapat Dewan Gubernur BI pada 22 Juli 2003 serta keikutsertaannya menandatangani risalah rapat Dewan Gubernur BI yang menyetujui dana bantuan bagi mantan gubernur, deputi gubernur, dan direksi BI itu, Anwar mengaku dirinya akan diperiksa KPK Senin mendatang. "Saya akan diperiksa dalam kapasitas sebagai mantan Deputi Gubernur Senior BI," ujarnya. (HAR)

Senin, 19 November 2007

PEMBALAKN LIAR


Hotman Paris: Adelin Tak Akan Kembali ke Indonesia

Kotabumi, Kompas - Terdakwa bebas pada kasus pembalakan liar dari Medan, Sumatera Utara, Adelin Lis yang namanya masuk dalam daftar pencarian orang, dipastikan tidak akan kembali ke Indonesia untuk menyerahkan diri.

"Ia hanyalah anak waris yang ingin menyelamatkan warisan orangtuanya, tetapi malah kena rekayasa hukum ketika pemerintah ingin membabat illegal logging. Ia tidak akan kembali karena ia sudah tidak percaya lagi pada sistem hukum Indonesia," kata Ketua Tim Pengacara Adelin Lis, Hotman Paris Hutapea, saat jeda persidangan di Pengadilan Negeri Kotabumi, Lampung Utara, Senin (12/11).

Hotman Paris rencananya akan bertemu dengan Komisi Yudisial hari Rabu besok. Dalam pertemuan itu, Hotman Paris akan menjelaskan semua hal yang terkait kasus Adelin.

Di Medan, Menteri Kehutanan MS Kaban menyatakan dirinya menghormati hukum yang berlaku dan mendukung langkah kasasi terhadap kasus Adelin Lis.

Sebelumnya, 21 lembaga swadaya masyarakat di Medan menyatakan pembebasan Adelin oleh Pengadilan Negeri Medan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Apalagi, Indonesia akan menjadi tuan rumah pertemuan dunia tentang Perubahan Iklim Global di Bali, Desember 2007.

Kelompok LSM di Sumut mencatat, selama tahun 2006- 2007 sudah 11 kasus perambahan hutan yang pelakunya dinyatakan bebas di Sumatera Utara.

Kemarin, majelis hakim yang memberikan vonis bebas terhadap Adelin kembali diperiksa. Kali ini giliran Ketua Majelis Hakim Arwan Byrin, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Medan, dan hakim anggota Robinson Tarigan, yang diperiksa Pengadilan Tinggi Sumut.

Sementara itu, di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, tim dari Kejaksaan Agung memeriksa tujuh jaksa penuntut umum.

Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin mengatakan, Kejagung belum mengambil sikap karena pemeriksaan masih berlangsung.

(HLN/NW0/BIL/CHE/WSI)

Advokat Tak Tahu Aliran Dana



Soal BI Jangan Diselesaikan "Adat"

Jakarta, Kompas - Sejumlah advokat, yang pernah mendampingi petinggi Bank Indonesia yang disangka melakukan korupsi, mengaku tidak mengetahui adanya dana yang diduga disalurkan kepada penegak hukum. Mereka hanya menerima honor bantuan hukum, sesuai kontrak resmi dengan BI, dan tak tahu ada dana lainnya.

Advokat Indriyanto Seno Adji dan Luhut MP Pangaribuan yang dihubungi terpisah, Senin (12/11) di Jakarta, mengaku hanya menerima dana sesuai dengan kontrak untuk memberikan bantuan hukum kepada (mantan) petinggi BI. Tak ada dana lain yang dialirkan melalui mereka.

"Saya, seperti kontrak bantuan hukum resmi BI, menerima Rp 1,43 miliar. Saya satu tim dengan Albert Hasibuan dan Pradjoto. Dana yang kami terima dari BI, ya, sesuai kontrak," ujar Luhut.

Selain dirinya, kata Luhut, Albert menerima Rp 1,43 miliar dan Pradjoto menerima Rp 551,1 juta sebagai honor mendampingi mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono. Ia tidak mengetahui bahwa ada Rp 25 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) bagi kliennya itu. "Jika ada Rp 25 miliar, kami tak tahu dan tak pernah menerimanya pula," kata Luhut lagi.

Indriyanto mengakui firma hukumnya mendampingi mantan Direktur BI Paul Sutopo, Heru Supraptomo, dan Hendrobudianto di tingkat banding dan kasasi. Sesuai kontrak dengan BI, firma hukumnya menerima honor Rp 3,314 miliar. "Yang saya terima >kern 502m<>h 9737m,0<>w 9737mkern 251m<>h 9738m,0<>w 9738m<

Namun, Indriyanto mengaku tidak tahu-menahu YPPI yang dimiliki BI mengeluarkan dana Rp 30 miliar untuk membantu penanganan perkara ketiga mantan direktur itu. "Kami menerima sesuai kontrak saja," katanya. Indriyanto dan Luhut juga tak tahu dana YPPI untuk apa dan siapa.

Advokat Maiyasyak Johan juga membenarkan firma hukumnya, Maiyasyak, Rahardjo, and Partnerts, pernah memberikan bantuan hukum kepada Paul Sutopo. Namun, ia tak mau mengungkapkan honor yang diterimanya.

"Berapa saya dibayar BI, itu rahasia hubungan pengacara dengan klien. Saya kira tidak patut dijelaskan. Yang pasti hubungan kantor saya dengan BI bersifat kontraktual antara pemberi jasa dan penerima jasa," ujarnya.

Maiyasyak, yang kini anggota Komisi III DPR, menegaskan, ia ketika itu tidak hanya mendampingi Paul, tetapi juga Gubernur BI Syahril Sabirin. Untuk itu, ia menerima kontrak kerja dan surat kuasa dari BI.

Dalam surat Ketua BPK Anwar Nasution kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertanggal 14 November 2006, saat mendampingi Paul, firma hukum Maiyasyak menerima honor Rp 6,748 miliar. Dana itu dari anggaran BI. Namun, YPPI juga mengeluarkan dana Rp 10 miliar.

Penyelesaian adat

Secara terpisah, Senin, Wakil Ketua MPR AM Fatwa meminta Presiden tidak menyelesaikan secara "adat" dugaan penyelewengan dana BI, yang mengalir lewat sejumlah pejabat dan mantan pejabat BI kepada penegak hukum atau anggota DPR periode 1999-2004. "Hentikan penyelesaian ’adat’. Kuncinya di KPK," ujarnya.

Fatwa juga mengingatkan anggota KPK yang masa jabatannya akan segera berakhir agar bekerja konsisten dan tidak pilih-pilih. "Ini ujian bagi KPK. Momen terakhir ini akan menunjukkan karakter dan konsistensi KPK. Manusia juga yang paling banyak dinilai justru di masa akhir hidupnya," ujarnya mengingatkan.

Sebagai Wakil Ketua DPR periode 1999-2004, Fatwa juga menegaskan, Dewan terbuka untuk diperiksa. Ia berharap lembaga lain pun membuka diri.

Mantan Wakil Ketua Komisi IX DPR Ali Masykur Musa, yang ditemui terpisah, mengakui adanya uang dari BI untuk diseminasi pembahasan undang-undang (UU). Namun, hal itu harus dibedakan dengan gratifikasi.

Ia mencontohkan, BI sering mengadakan seminar untuk sosialisasi UU dan hampir semua anggota Komisi IX yang dianggap memahami persoalan diundang sebagai pembicara. Mereka disetarakan dengan ahli. Kalau ada pemberian uang, itu sebatas tiket pesawat kelas bisnis dan honor.

"Honor pun tidak lebih dari Rp 5 juta," papar Ali Masykur. Menurut dia, yang harus dikejar adalah pihak BI karena dalam laporan BPK angkanya menjadi luar biasa besar, yaitu mencapai Rp 31,5 miliar yang diduga dialirkan kepada anggota DPR. "Dana itu fantastis," katanya.

Mantan anggota Komisi IX DPR Agus Condro Prayitno juga mengaku tidak tahu-menahu adanya dana Rp 31,5 miliar dari BI. Ia baru masuk Komisi IX pada akhir tahun 2003. "Usut saja yang tuntas. Kalau terbukti, kenai tindakan hukum," ucapnya.

Sekitar 20 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 kini masih aktif menjadi anggota DPR. Ada juga yang kini duduk di kabinet, yaitu Paskah Suzetta, Baharuddin Aritonang menjadi Wakil Ketua BPK, serta Antony Zeidra Abidin yang kini Wakil Gubernur Jambi. (SUT/VIN/TRA)

Perundang-undangan


"Indonesiakan" Hukum, Peralihan Harus Dibatasi

Bandung, Kompas - Sistem yang mandiri dan kontekstual merupakan kunci reformasi hukum. Maka, produk hukum warisan kolonial seyogianya tidak lagi digunakan. Untuk itu, masa transisi yang diatur di dalam aturan peralihan amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 perlu dibatasi secara tegas.

Pendapat itu disampaikan pakar hukum Universitas Hasanudin, Prof Achmad Ali, dalam Diskusi Nasional "Rekonstruksi Kehidupan Bernegara di Indonesia", Sabtu (10/11) di Balai Pertemuan Ilmiah Institut Teknologi Bandung.

Aturan hukum warisan kolonial yang dikritisinya salah satunya adalah wetboek van strafrecht (KUHP). "Wetboek (KUHP) ini kan seluruhnya dikutip dari produk Belanda (wetboek van strafrecht for Netherland Indie). Bahkan, hingga titik koma. Padahal, di negara asalnya, KUHP sudah sejak 100 tahun lalu tidak lagi dipakai sehingga banyak sekali aturan yang tidak lagi sesuai, tidak bisa diterapkan. Misal delik pemerkosaan," ujarnya.

Dalam perkembangannya, kodifikasi (wetboek) hukum pidana ini juga tidak lagi bisa mengikuti perkembangan zaman, terutama pada era abad ke-21 ini. Delik pidana dunia maya salah satunya. Maka, sudah sewajarnya jika dilakukan pembaruan terhadap aturan ini. Tentunya hal itu disesuaikan dengan kondisi nasional.

Mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini juga mengkritisi sistem hukum Indonesia yang kaku.

"Terlalu mendewakan aspek legalitas. Padahal, di dunia modern aspek hukum positif mulai ditinggalkan. Merebaknya pranata hukum baru, yaitu nonlitigasi melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrasi, menjadi tren baru. Bangsa ini menjadi bangsa gado-gado, Barat tidak jadi, Timur pun tidak terlihat," ucapnya. (JON)