Selasa, 12 Februari 2008

Pengadilan Sang Pemenang

 

Satjipto Rahardjo

Apa yang akan terjadi di Indonesia sesudah mantan Presiden Soeharto meninggal?

Melalui pembentukan pengadilan modern, kehidupan manusia tidak lagi liar dan biadab, yang oleh Thomas Hobbes digambarkan sebagai medan pembantaian. Pengadilan mampu menggiring rakyat yang semula menyelesaikan masalah di jalan-jalan dengan ”siapa kuat akan menang” menjadi cara penyelesaian yang sopan dan beradab. Adu kekuatan dan otot diganti adu argumentasi di sidang pengadilan.

Perang

Meski demikian, pengadilan tidak pernah berhenti menjadi institut di mana terjadi perang antara keangkaramurkaan dan kebaikan-keadilan. Perang itu tidak hanya berdimensi individual, tetapi juga sosial. Di situ para ”gladiator” tidak hanya perorangan, tetapi juga kelompok atau orde. Kini kita menyaksikan hadirnya pengadilan yang disebut victor’s justice atau pengadilan Sang Pemenang. Pengadilan yang demikian dapat berlangsung dalam konteks dunia, antara suatu kelompok-negara-negara-tertentu berhadapan dengan kelompok-negara-negara-lain. Ia dapat juga berupa medan pengadilan dalam satu negara, yaitu antara kelompok, orde, atau kekuatan dalam satu negeri. Orang mencoba mendeskripsikan tipe pengadilan yang demikian sebagai suatu pengadilan di mana ”orde yang satu mengadili orde yang lain” dalam satu negara. Secara lebih umum dikatakan, ”bagian masyarakat yang satu mengadili bagian masyarakat yang lain”.

Salah satu forum pengadilan model victor’s justice, ”Sang Pemenang” mengadili ”Sang Pecundang”, muncul pada akhir Perang Dunia II, di mana pasukan negara-negara sekutu (Amerika, Inggris, Rusia, Prancis, dan lain- lain) berhasil mengalahkan negara-negara Nazi Jerman dan Jepang tahun 1945. Menyusul kekalahan itu digelar pengadilan internasional di Nuerenberg, Jerman (November 1945-Oktober 1946), dan di Tokyo, Jepang (Mei-November 1946). Di situ sekutu sebagai pemenang mengadili negara-negara Jerman dan Jepang yang kalah perang.

Di Nuerenberg, Hermann Goering bersama 20 pemimpin The Third Reich dibawa ke International Military Tribunal. Kota Nuerenberg dipilih sebagai tempat pengadilan berdasar alasan simbolik, yaitu kota yang telah menjadi benteng (citadel) Partai Nazi di mana Hitler biasa menyelenggarakan rapat raksasa setiap tahun. Dalam proses pengadilan Nuerenberg itu tampak nuansa ”pengadilan Sang Pemenang atas mereka yang kalah”, dimulai dari pemilihan tempat pengadilan.

Saat Goering diberi kesempatan mengajukan pembelaan, orang kedua sesudah Hitler itu berkata, ”Anda mengadili kami karena memenangkan perang. Andaikata kami yang memenangkan perang, Andalah yang akan kami adili.”

Di sinilah nuansa victor’s justice tampil amat kental. Dalam sidang-sidang juga ditunjukkan film-film dokumenter yang mengerikan tentang bagaimana enam juta lebih orang Yahudi dibantai dalam barak-barak konsentrasi. Para jenderal yang diadili mencoba mengelak dengan berdalih, mereka sama sekali tidak tahu kalau hal-hal yang mengerikan (hollocaust) itu terjadi. Bagaimanapun, majelis hakim berpendapat, jenderal adalah orang yang harus bertanggung-jawab, maka dalih itu tidak menjadi alasan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada 12 terdakwa. Jenderal Goering bunuh diri sebelum eksekusi dijalankan.

Di Tokyo, antara lain diadili mantan perdana menteri Jenderal Hideki Tojo ke tiang gantungan.

Akan terus terjadi

Sesudah pengadilan Nuerenberg, digelar lagi 12 pengadilan yang didasarkan peraturan yang dibuat The Allied Control Council for Germany. Majelis pengadilan ini hanya terdiri atas hakim-hakim AS. Pengadilan-pengadilan itu mengadili 185 tokoh Jerman, seperti para menteri kabinet, komandan lapangan, industrialis, duta besar, ahli hukum, dan dokter. Di antara para terdakwa itu 25 dijatuhi pidana mati. Di masa lalu, sedikit banyak kita juga pernah menggelar pengadilan model victor’s justice, saat dibentuk Pengadilan G30S atau Mahmilub, di mana ”Orde Pancasila” mengadili ”Orde Komunis”.

Pengadilan Sang Pemenang terhadap mereka yang kalah terjadi di mana pun di dunia dan akan terus terjadi. Seperti dikatakan di muka, dalam model ini, ”bagian-yang-satu-dari-satu- bangsa” mengadili ”bagian-yang- lain-dari-bangsa-yang-sama”. Tak lama lagi akankah kita menggelar ”Orde Antikorupsi” mengadili ”Orde Korupsi”? Rakyat cuma berharap, hasil ”perang” itu akan menguntungkan mereka.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro

Tidak ada komentar: