Sabtu, 23 Februari 2008


Keluarga Korban Minta Dukungan
Sabtu, 23 Februari 2008 | 02:15 WIB

Jakarta, kompas - Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dinilai tidak menjamin tercapainya keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat.

”Putusan itu tidak serta-merta menghilangkan adanya proses politik, baik oleh DPR maupun Presiden, dalam proses pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc,” ujar pengamat hukum Irman Putra Sidin, Jumat (22/2).

Sehari sebelumnya, MK memutuskan, DPR tak bisa lagi menduga sendiri adanya pelanggaran HAM berat. DPR harus memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dulu dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Irman mengakui putusan MK tersebut sebuah kemajuan. Setidaknya, putusan itu mengurangi kisruh antara proses hukum dan proses politik dalam pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Sebelumnya, hasil penyelidikan Komnas HAM dapat dimentahkan oleh keputusan politik DPR. Misalnya, dalam kasus Trisakti, Komnas HAM menyatakan adanya pelanggaran HAM berat. Namun, kesimpulan Komnas HAM itu tidak dapat ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung karena DPR menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat.

Dengan adanya putusan MK, ujar Irman, penyelidikan Komnas HAM dapat langsung ditindaklanjuti oleh kejaksaan.

Meski demikian, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, Jumat, menyatakan, Pengadilan HAM Ad Hoc tetap harus ada terlebih dahulu, saat Kejaksaan Agung menyidik perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diundangkan. Pasalnya, langkah-langkah dalam penyidikan membutuhkan izin pengadilan, dalam hal ini Pengadilan HAM Ad Hoc itu.

Presiden perlu dukung

Sejumlah keluarga korban pelanggaran HAM berharap Presiden Yudhoyono memberikan dukungan politik kepada Kejaksaan Agung untuk segera menyidik sejumlah kasus yang terjadi sebelum tahun 2000, yang oleh Komnas HAM sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat.

”Ketika memberi penghargaan, Presiden berjanji kepada saya untuk mengungkap kasus Trisakti secara perlahan,” kata Karsiah, ibu Hendriawan Sie, satu dari empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tertembak pada 12 Mei 1998. Pada 9 Agustus 2005, keempat mahasiswa itu dianugerahi Bintang Jasa Pratama.

Mantan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Akil Mochtar menilai keputusan MK itu sebagai langkah maju. ”Selama ini kan saling lempar bola. Kejaksaan tak mau menyidik dengan alasan menunggu rekomendasi DPR. Begitu juga DPR. Ini bisa dihilangkan,” ujarnya. (ANA/NWO/IDR/SUT)

Tidak ada komentar: