Selasa, 25 November 2008

Fundamental Hukum


Satjipto Rahardjo

Ada kekhawatiran, kehidupan berhukum bangsa kita bukannya membaik, melainkan semakin memburuk. Kita mengira, dengan menggenjot produk perundang-undangan dan memperbaiki institut-institut hukum, hukum di Indonesia akan menjadi lebih baik. Ternyata obat untuk menghentikan kemerosotan hukum tidak di situ.

Setelah bangsa ini terbentur ke sana-kemari dalam berhukum dan mengoperasikan negara hukum Indonesia, maka kita pantas mulai bertanya, ”Sudah benarkah fundamental hukum kita?” dan, ”Sebenarnya, kuatkah fundamental hukum kita?” Kita cuplik dunia korupsi di negeri ini sebagai sampel.

Pemerintahan Presiden Habibie membanggakan telah memproduksi sekian puluh undang-undang selama pemerintahannya. Bangsa ini juga serius memberantas korupsi dengan memperbarui dan memperbarui lagi undang-undang korupsi. Juga disiapkan lembaga untuk itu, seperti Pengadilan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan istimewa itu.

Ternyata, jaring yang bagaimanapun kuatnya tidak mampu menjaring koruptor dengan efektif. Jaring itu jebol ditabrak koruptor, bahkan kini mereka berada di seluruh penjuru Tanah Air.

Hakim Agung pun dicoba disuap. Jaksa yang konon jempolan pun akhirnya dibuat bertekuk lutut di ujung telepon. Terakhir diberitakan, seorang arsitek dan pendekar antikorupsi yang gigih didakwa melakukan korupsi.

Belajar mencari tahu

Dari pengalaman Indonesia selama 60 tahun lebih, kini kita sebaiknya belajar untuk mencari tahu lebih baik di mana sebetulnya fundamental hukum itu. Sekarang, kita sebaiknya dengan lebih cerdas mengatakan, fundamental itu ternyata bukan terletak pada substansi dan struktur, tetapi pada sesuatu yang lain. Kemerosotan hukum memberi berkah untuk merenung, bertafakur, melakukan kontemplasi tentang fundamental hukum kita.

Kita akhirnya sadar, hukum itu akhirnya menyangkut perilaku manusia. Semua perbaikan substansi, sistem dan struktur, bahkan profesionalisme menjadi tidak berarti apabila kita mengabaikan faktor perilaku manusia.

Urusan hukum itu berhubungan dengan perilaku manusia. Di sinilah kita khilaf mengenali fundamental hukum. Cacat dalam melihat fundamental hukum berakibat luas, seperti yang kita alami sekarang.

Jika kita membuat neraca dari begitu banyak opini publik, maka neraca kehidupan hukum itu ternyata berat ke perilaku manusia. Terakhir, mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang cukup legendaris itu mengeluh tentang masalah harga diri manusia Indonesia, tidak tentang sistem dan lain-lainnya (”Bangsa yang Kehilangan Harga Diri”, Kompas, 13 November 2008).

Advokat senior Amerika, Gerry Spence, menulis lebih ”kejam” lagi tentang dunia berhukum di Amerika Serikat. Katanya, kalau Anda punya masalah hukum di Amerika, jangan datang ke advokat, tetapi ke juru rawat. Alasannya, juru rawat itu memang dididik dan dilatih untuk peduli terhadap dan menyayangi manusia yang menderita.

Menurut Spence, sejak mahasiswa hukum menginjakkan kaki memasuki law schools, mereka itu sudah dirampas dan ditumpulkan rasa perasaan manusianya dan yang diburu adalah kompetensi profesional. ”Apa gunanya pelana kuda berharga ribuan dollar jika hanya akan dipasang di punggung kuda yang harganya hanya satu dollar?” Begitu kasar komentar Spence terhadap dunia berhukum di Amerika Serikat. Kritik Spence itu memperkuat pendapat, hukum itu menyangkut manusia.

Terkait budi pekerti

Sebelum keadaan menjadi lebih parah lagi, sebaiknya mulai sekarang kita mengubah pendapat dan pandangan kita mengenai fundamental hukum itu. Fundamental hukum itu berhubungan dengan hidup dan budi pekerti baik, seperti kejujuran, bisa dipercaya, menghormati orang lain, dan pengendalian diri. Inilah fundamental hukum sebenarnya.

Selama ini (seperti juga di Amerika) kita telah salah memahami fundamental hukum. Fakultas-fakultas hukum kita juga lebih mengejar profesionalitas, mengembangkan soft skills agar dapat bersaing di pasar pekerjaan. Belum ada mata kuliah seperti ”mengasihi dan menolong manusia-yang-lagi-susah” dalam kurikulum hukum. Pendidikan hukum yang baik adalah pendidikan budi pekerti, bukan menjejali orang dengan sistem dan peraturan.

Hanya dengan menggenjot budi pekerti yang baik sebagai fundamen, semoga kita berhasil membangun suatu negara hukum yang menyejahterakan dan membahagiakan rakyat.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Politisasi Penegakan Hukum


Bambang Widjojanto

Ada kisah sukses, tantangan, dan hambatan dalam pemberantasan korupsi.

Sukses harus dikelola dan disebarluaskan agar kepercayaan publik meningkat. Tantangan harus dijadikan spiritualitas untuk bekerja all out, prudent, profesional dengan integritas tinggi. Hambatan harus dieradikasi, ditekan, dimasalahkan agar tidak berkembang, tidak merusak dan membuat pemberantasan korupsi kian kehilangan arah.

Konferensi Internasional ke-13 Antikorupsi yang dihadiri 135 negara baru saja digelar di Athena, 30 Oktober-2 November 2008. Agenda yang diangkat, ”Corruption and Sustainable Development”, dengan tema beragam, mulai dari penyebab dan dampak korupsi terkait krisis keuangan, sumber daya alam dan energi, perubahan cuaca, hingga globalisasi korupsi.

Isu yang mendapat perhatian serius terkait peningkatan kualitas ancaman, intimidasi, dan harassment yang harus dihadapi para pegiat antikorupsi. Hal ini terkait kelemahan kerangka hukum dan keterbatasan ruang gerak masyarakat sipil untuk mengontrol penggunaan kewenangan penegak hukum yang potensial abuse of power.

Pertemuan kepentingan

Konferensi juga memberi perhatian Nuhu Ribadu, mantan Ketua Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria yang dikenal profesional dan menjaga integritas dalam menjalankan tugasnya. Dalam kesimpulan, konferensi meminta Pemerintah Nigeria dan komunitas global antikorupsi mengambil tindakan segera atas ancaman dan tindak kekerasan fisik yang bisa dilakukan terhadap Nuhu.

Kondisi itu, pada sebagian negara—khususnya yang belum mampu mencegah aparaturnya dari politik uang, kepentingan privat dan sepihak penegak hukum—punya modus sama dengan pola agak berbeda. Ancaman kekuasaan bagi pegiat antikorupsi dilakukan kekuasaan dan lembaga penegak hukum yang melakukan instrumentasi hukum dengan menggunakan kewenangan jabatan publiknya. Ini tindakan berbahaya karena bisa dilakukan secara sistematis dan berdaya rusak tinggi.

Pada proses itu, tidak hanya potensial terjadi enginering pada saksi dan bukti, tetapi juga dilakukan kampanye ”terselubung” untuk membangun justifikasi bahwa apa yang dilakukan untuk dan atas nama hukum dan kepentingan negara.

Pada konteks itu terjadi politisasi penegakan hukum, dengan melakukan instrumentasi hukum, mulai dari penyidikan hingga pengadilan, bisa karena masalah yang bersifat personal atau social jealous kelembagaan.

Penyebab yang amat mengkhawatirkan adalah bertemunya kepentingan para koruptor dan konglomerat hitam yang dananya tak terbatas, memiliki akses dan relasi politik yang kuat dengan kepentingan ”naif” dari aparatur dan lembaga penegakan hukum.

Indonesia beruntung mempunyai KPK dan pegiat antikorupsi. Namun, beban KPK menjadi amat berat karena masifitas korupsi yang amat luas. Aparat, pimpinan KPK, dan pegiat antikorupsi berpotensi dijadikan ”Nuhu Ribadu” bila tidak ditopang peningkatan integritas lembaga penegakan hukum lainnya.

Indonesia belum bebas

De facto, Indonesia belum bebas dan masih rentan karena potensial terjangkit sindrom politisasi penegakan hukum. Ketika pemerintahan otoriter berkuasa, politisasi penegakan hukum biasa terjadi. Dalam pemerintahan reformasi yang sedang pada tahap transisi politik, perilaku koruptif bisa menjadi virus politisasi penegakan hukum dengan kualitas yang mungkin lebih ”dahsyat”. Asumsinya, kejahatan selalu bermetamorfosis membangun modus baru kejahatan dengan daya rusak kian tinggi. Metode kerja yang lebih civilized dan legal nuance menjadi salah satu strategi yang dilakukan.

Indikasi lain politisasi dapat dilihat dari pilihan kasus yang ditangani penegak hukum. Khususnya, bila lembaga penegak hukum terus menghindar untuk menangani kasus-kasus yang berdampak besar bagi kemaslahatan rakyat. Pada konteks Indonesia, upaya sengaja dan sistematis yang tidak menangani BLBI yang jelas menghancurkan sistem finansial dan kebangkrutan pemerintahan adalah indikasi politisasi hukum, apalagi jika penegak hukum bersikap menjadi ”pembela” para obligor nakal dan konglomerat hitam yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara. Juga termasuk, lembaga penegak hukum yang mencari-cari kasus dan kesalahan perkara yang masih debatable untuk dituduhkan sebagai tindak korupsi.

Bambang Widjojanto Dosen Trisakti; Advisor Partnership; Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance