Senin, 31 Maret 2008

Dubes RI di Nigeria Akui Terima Uang Proyek

Rabu, 26 Maret 2008 | 00:16 WIB

Jakarta, Kompas - Duta Besar RI untuk Nigeria Noorhadi mengakui, saat dirinya menjabat sebagai Pejabat Badan Intelijen Negara atau BIN, ia pernah menerima uang dari proyek audit investigatif Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Uang yang ia terima itu sebanyak Rp 180 juta dan Rp 25 juta.

Hal itu disampaikan Noorhadi saat menjadi saksi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (25/3). Noorhadi menjadi saksi karena selaku pejabat BIN, yaitu Deputi VI Kerja Sama Antarlembaga, ia menjadi anggota tim audit investigatif.

Saat ditanya Ketua Majelis Hakim Martini Mardjan, Noorhadi mengaku bertindak atas nama pribadi bukan atas nama BIN.

Ia mengatakan, pertama kali kenal dengan Johan Barus, pemilik Kantor Akuntan Publik Johan Barus yang ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris dan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan MS Manihuruk, sekitar tahun 2003. ”Saya diperkenalkan dengan Pak Johan Barus oleh Pak Alwin. Pak Alwin itu orang yang membantu Kepala BIN Arie Kumaat,” kata Noorhadi.

Majelis hakim bertanya apakah ia tahu kalau Alwin juga bekerja di Kantor Akuntan Publik Johan Barus, Noorhadi menjawab, ”Setahu saya dia staf khusus Kepala BIN.”

Saat dicecar oleh pengacara terdakwa II, Rufinus Hotmaulana, soal pemberian uang Rp 180 juta dan Rp 25 juta memiliki kaitan dengan proyek audit investigatif tenaga kerja asing, Noorhadi menjawab, ”Ada kaitannya.” Noorhadi mengakui kalau penerimaan uang itu salah.

Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris mengatakan, ia menggunakan Kantor Akuntan Publik Johan Barus karena ia hanya meneruskan kebijakan Menteri Jacob Nuwawea. ”Waktu itu ada surat dari BPK pada 18 Oktober 2004 soal adanya penyimpangan dalam penerimaan dana tenaga kerja asing. Surat BPK memberi waktu 60 hari,” kata Fahmi.

Ia langsung memanggil eselon I dan menanyakan apakah diperbolehkan melakukan penunjukan langsung, mengingat waktu yang mepet.

Karena disebutkan oleh bawahannya bahwa penunjukan langsung itu diperbolehkan dalam Keppres 80 Tahun 2003, ia akhirnya memberikan izin kepada MS Manihuruk untuk menunjuk langsung Kantor Akuntan Publik Johan Barus. (VIN)


 

Korupsi dan Fenomena Transferensi

Jumat, 28 Maret 2008 | 00:36 WIB

Limas Sutanto

Hari-hari ini agaknya menjadi saat yang gelap penuh ketakutan bagi para tersangka koruptor Indonesia.

Sebaliknya, hari-hari ini menjadi saat yang cerah penuh sukses bagi para petugas pemberantas korupsi.

Banyak pejabat membanggakan keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeret beberapa tersangka koruptor ”besar” ke pengadilan. Mereka menyatakan, hal ini belum pernah terjadi pada masa pemerintahan sebelum SBY-JK. Inilah pergelaran paradigma penindakan represif yang mendominasi pemberantasan korupsi negeri ini. Agaknya pemerintah dan rakyat asyik dengan aneka penindakan represif itu. Maka, relevan dipertanyakan, dapatkah penindakan represif menghentikan korupsi secara bermakna?

Warga negeri ini sadar, korupsi pada bangsa ini begitu ”meresap mendalam” (pervasive). Hampir semua warga, termasuk sejumlah pejabat pemberantas korupsi, terkena korupsi. Pada perspektif ini, sekadar paradigma penindakan represif tidak akan mencukupi, sekaligus kurang rasional.

Jika semua warga tidak bebas korupsi, lalu siapa yang berhak dan memiliki kredibilitas untuk menjadi pejabat pemberantas korupsi? Siapa yang berhak dan memiliki kredibilitas menindak tersangka koruptor? Terkuaknya beberapa indikasi keterlibatan jaksa, polisi, hakim, dan pejabat KPK dalam suap dan pemerasan terkait penindakan tersangka koruptor menjadikan aneka pertanyaan itu patut direnungkan.

Persoalan psikososial

Korupsi pada bangsa ini perlu dipahami sebagai persoalan psikososial sistemik yang terjadi karena fenomena psikodinamik nirsadar. Oleh Freud, hal ini disebut “transferensi”. Makna kontekstual transferensi adalah pemindahan nirsadar pola-pola relasi masa lampau bangsa dengan penjajah ke realitas relasi antara penguasa dan rakyat di Indonesia masa kini.

Pola-pola relasi yang ”dipindahkan” secara nirsadar (ditransferensikan) itu berupa: pertama, kebiasaan bangsa penjajah (penguasa) memeras dan memalak bangsa terjajah (rakyat).

Kedua, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) menyelamatkan diri dari tekanan dan ancaman bangsa penjajah (penguasa) dengan cara apa pun, jika perlu dengan mengorbankan sesama warga terjajah (rakyat).

Ketiga, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) bertindak menjilat penjajah (penguasa) demi keselamatan diri.

Keempat, kebiasaan bangsa terjajah (rakyat) memberi upeti kepada penjajah (penguasa).

Kelima, kebiasaan suatu lapisan bangsa terjajah (rakyat) untuk menekan dan memeras sesama warga terjajah (rakyat) yang ada pada lapisan yang lebih rendah.

Perwujudan kelima pola relasi itu secara menyejarah membuahkan pemiskinan bangsa terjajah (rakyat). Pemiskinan itu merupakan pengalaman deprivasi (pengalaman kekurangan mendasar), yang tidak bisa tidak menimbulkan aneka tagihan di tengah perjalanan kehidupan bangsa terjajah, termasuk saat bangsa terjajah (rakyat) telah meraih kemerdekaan formal.

Tanpa sadar, transferensi itu ”dikirimkan” dua kelompok tenaga utama yang menggerakkan korupsi sistemik ke seluruh lapisan kehidupan bangsa Indonesia masa kini dan ke depan.

Pertama, kelompok tenaga yang berakar dalam pengalaman deprivasi, yang selalu memunculkan aneka letupan tagihan untuk merasakan kepemilikan dan keberlimpahan material dalam kehidupan seluruh warga hari ini dan ke depan. Kedua, kelompok tenaga yang berakar dalam kelima kebiasaan berelasi antara bangsa terjajah (rakyat) dan penjajah (penguasa).

Pendidikan bermutu

Pemahaman tentang korupsi sebagai masalah psikososial sistemik berlatar belakang fenomena transferensi, mengantar kita ke kesadaran bahwa bangsa ini tidak akan kunjung berhasil menghentikan korupsi secara bermakna hanya dengan upaya pemberantasan korupsi yang bertitikberatkan tindakan represif. Korupsi niscaya dihentikan dengan ”mengatasi transferensi” (working through the transference), yang dapat dijabarkan dalam tiga tindakan.

Pertama, tindakan bersinambung menyelesaikan pengalaman deprivasi bangsa Indonesia, dengan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan seluruh warga. Hal ini meniscayakan pemerintah benar-benar mengejawantahkan aneka program ekonomi prokesejahteraan rakyat banyak. Gegap gempita tindakan represif tanpa pengejawantahan program ekonomi pro-rakyat hanya cermin ketakrasionalan.

Kedua, pendidikan bermutu dan bersinambung bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan bermutu akan membuka dan memperluas wawasan kehidupan sehingga bangsa ini tidak terbelit otomatisme nirsadar pola-pola relasi koruptif yang berakar dalam sejarahnya. Pendidikan bermutu harus dijadikan program berprioritas tinggi.

Ketiga, kampanye sistemik bersinambung guna menumbuhkembangkan kesadaran bahwa korupsi itu keliru, merugikan, dan jahat. Kampanye ini amat diperlukan guna mematahkan pola-pola pikir otomatis nirsadar (automatic thoughts) yang membolehkan korupsi dan memandang korupsi sebagai hal biasa.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi, Pengajar Psikoterapi dan Konseling di Universitas Negeri Malang

 

Rabu, 26 Maret 2008

Dubes RI di Nigeria Akui Terima Uang Proyek

Rabu, 26 Maret 2008 | 00:16 WIB

Jakarta, Kompas - Duta Besar RI untuk Nigeria Noorhadi mengakui, saat dirinya menjabat sebagai Pejabat Badan Intelijen Negara atau BIN, ia pernah menerima uang dari proyek audit investigatif Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Uang yang ia terima itu sebanyak Rp 180 juta dan Rp 25 juta.

Hal itu disampaikan Noorhadi saat menjadi saksi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (25/3). Noorhadi menjadi saksi karena selaku pejabat BIN, yaitu Deputi VI Kerja Sama Antarlembaga, ia menjadi anggota tim audit investigatif.

Saat ditanya Ketua Majelis Hakim Martini Mardjan, Noorhadi mengaku bertindak atas nama pribadi bukan atas nama BIN.

Ia mengatakan, pertama kali kenal dengan Johan Barus, pemilik Kantor Akuntan Publik Johan Barus yang ditunjuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris dan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan MS Manihuruk, sekitar tahun 2003. ”Saya diperkenalkan dengan Pak Johan Barus oleh Pak Alwin. Pak Alwin itu orang yang membantu Kepala BIN Arie Kumaat,” kata Noorhadi.

Majelis hakim bertanya apakah ia tahu kalau Alwin juga bekerja di Kantor Akuntan Publik Johan Barus, Noorhadi menjawab, ”Setahu saya dia staf khusus Kepala BIN.”

Saat dicecar oleh pengacara terdakwa II, Rufinus Hotmaulana, soal pemberian uang Rp 180 juta dan Rp 25 juta memiliki kaitan dengan proyek audit investigatif tenaga kerja asing, Noorhadi menjawab, ”Ada kaitannya.” Noorhadi mengakui kalau penerimaan uang itu salah.

Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris mengatakan, ia menggunakan Kantor Akuntan Publik Johan Barus karena ia hanya meneruskan kebijakan Menteri Jacob Nuwawea. ”Waktu itu ada surat dari BPK pada 18 Oktober 2004 soal adanya penyimpangan dalam penerimaan dana tenaga kerja asing. Surat BPK memberi waktu 60 hari,” kata Fahmi.

Ia langsung memanggil eselon I dan menanyakan apakah diperbolehkan melakukan penunjukan langsung, mengingat waktu yang mepet.

Karena disebutkan oleh bawahannya bahwa penunjukan langsung itu diperbolehkan dalam Keppres 80 Tahun 2003, ia akhirnya memberikan izin kepada MS Manihuruk untuk menunjuk langsung Kantor Akuntan Publik Johan Barus. (VIN)

Selasa, 18 Maret 2008

Aklibat Hukuim Kebijakan PLN

PLN Penanggungjawab Tarif Disinsentif
Selasa, 18 Maret 2008 | 01:17 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah menyatakan, penerapan tarif insentif dan disinsentif merupakan aksi korporat dan tidak memerlukan keputusan presiden. Hal tersebut dikatakan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfataan Energi Jack Purwono di Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (17/3).

"Itu aksi korporat karena tidak menaikkan tarif dasar listrik. Karena akis korporasi cukup dengan surat keputusan direksi PT PLN (Persero)," ujar Purwono. Menurut dia, kebijakan itu diterapkan untuk menghemat subsidi sebesar Rp 10 triliun. Saat ini subsidi listrik naik menjadi Rp 64,9 triliun dari yang dialokasikan Rp 54,9 triliun.

Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar menyatakan, surat keputusan direksi sudah diteken sejak Jumat (14/3). "PLN hanya pelaksana. Dasar hukum ditentukan pemerintah," katanya.

Fahmi menjelaskan, tarif insentif dan disinsentif tetap diberlakukan mulai bulan depan dengan penagihan pada Mei. "Kami akan sosialisasi dulu ke masyarakat," tuturnya.

Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Alvin Lie mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas kebijakan tariff disinsentif tersebut. "Ini kebijakan pemerintah atau korporat," katanya.

Menurut Alvin Lie, keputusan tarif listrik seharusnya dalam bentuk peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Dia juga mempertanyakan dampak hukum dari kebijakan disinsentif yang diterapkan PLN. "Karena keputusan presiden menyatakan tidak akan ada kenaikan tarif listrik," ujarnya.

Ketua Advokasi Konsumen Listrik Indonesia Soetjipto Soewono menyatakan, rencana PLN menerapkan tarif insentif dan disinsentif melanggar Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. "Tarif listrik merupakan kewenangan pemerintah dan ditetapkan melalui keputusan presiden setelah mendapat persetujuan DPR," ujar mantan Ahli Utama PLN.

Menurut Soetjipto, penerapan disinsentif merupakan kenaikan tariff dasar listrik terselubung. Pelanggan rumah tangga golongan R1 (450-2.200 VA) dan Bisnis golongan B1 yang paling menderita akibat kebijakan itu. "Pelanggan R1 dan B1 jumlahnya sekitar 30 juta pelanggan," ujarnya.

Sedangkan Sekretaris Advokasi Konsumen Listrik Indonesia Yunan Lubis mengatakan, jika disinsentif tetap diberlakukan, hal itu menunjukan arogansi pemerintah dan PLN. "Pemerintah dan PLN telah menginjak-injak undang-undang," kata ahli hukum kelistrikan ini. Pelanggaran undang-undang, kata dia, sanksinya adalah pidana. "Rakyat bisa memperkarakannya."

Yunan yang pernah menggugat untuk membatalkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi menjelaskan, pihaknya akan menampung keluhan rakyat dan bersedia menggugat PLN dan pemerintah. "Kami bersedia melakukan class action ke pengadilan untuk membatalkan disinsentif," ujarnya. Dia menambahkan, tarif disinsentif merupakan bentuk kesewenang-wenangan kebijakan pemerintah dan PLN kepada rakyat.

ALI NUR YASIN | RR ARIYANI | YULIAWATI

Senin, 17 Maret 2008

UU Harus Ada Parameter

Misi dan Visi Calon Presiden Harus Dapat Diukur
Senin, 17 Maret 2008 | 00:13 WIB

Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden perlu mencantumkan ketentuan, misi dan visi yang diusung tiap-tiap pasangan calon harus dapat diukur. Dengan demikian, masyarakat memiliki parameter yang jelas ketika menilai pasangan calon, berikut kinerja mereka.

Demikian dikatakan guru besar ilmu politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Kacung Maridjan, Minggu (16/3), saat dihubungi dari Jakarta. Dalam RUU Pilpres yang kini dibahas DPR dan pemerintah, perlu dicantumkan, misi dan visi pasangan calon presiden dan wapres harus dapat diukur.

Ketentuan itu dibutuhkan karena sebagian besar misi dan visi peserta Pilpres 2004 dan pemilihan kepala daerah belakangan ini mengambang dan sulit diukur. ”Yang disampaikan umumnya hanya janji, seperti jika menang akan berusaha mengurangi kemiskinan. Namun, hampir tak pernah dijelaskan bagaimana cara mencapainya, berapa anggaran yang dibutuhkan, dan apa ukuran keberhasilannya. Akibatnya, saat orang itu berkuasa, janji itu sulit ditagih karena ukurannya tak jelas dan banyak alasan yang dapat disampaikan untuk menghindar,” papar Kacung.

Ketentuan bahwa misi dan visi yang disampaikan harus terukur, lanjut Kacung, juga akan memancing calon membuat janji dengan lebih terarah dan hati-hati. Sebab, meski mungkin tidak akan disampaikan dalam kampanye umum, janji yang terukur akan terlihat dalam kampanye terbatas atau dialog di media massa.

”Dari media massa atau kampanye terbatas ini, rakyat akan mengetahui dan mempelajari janji itu dan akhirnya menilai calon,” lanjutnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, keberadaan janji yang terukur juga dibutuhkan untuk membangun citra seorang calon, terutama terkait dengan kompetensinya.

”Ada tiga dasar seseorang menjatuhkan pilihan, yaitu kesamaan latar belakang, kepribadian, dan citra tentang kompetensi calon. Dari sejumlah survei dan penelitian, pilihan rakyat selama ini terutama cenderung berdasarkan citra kepribadian dan kompetensi. Latar belakang calon, seperti suku dan agama, ternyata kurang berpengaruh,” ujar Qodari.

Citra kepribadian ini misalnya meliputi kecerdasan, kewibawaan, dan kejujuran. Adapun citra tentang kompetensi dibangun dari hal-hal seperti memiliki program yang baik dan mampu menangani masalah bangsa.

Kemenangan Yudhoyono pada Pemilu 2004 atau Fauzi Bowo pada Pilkada DKI Jakarta 2007, menurut Qodari, ditentukan dari keunggulan dalam citra kepribadian dan kompetensi.

Koalisi permanen parpol

Dari Bandung, Jawa Barat, di sela-sela Pelantikan Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Universitas Padjadjaran, Sabtu, anggota DPR Ferry Mursyidan Baldan menilai, menjelang Pemilu 2009, fokus politik sebaiknya diarahkan pada upaya membangun koalisi permanen partai politik sejak dini. Kondisi ini akan lebih menyehatkan bagi pemerintahan ke depan. Tanpa dukungan parlemen yang solid, tantangan pemerintahan bakal kian sulit.

”Kita jangan lagi hanya membangun koalisi yang bisa putus di tengah jalan. Ini tidak sehat bagi pemerintahan. Lebih baik jika kita memikirkan bersama kepentingan lima tahun ke depan. Koalisi yang bersifat lebih permanen akan tumbuh,” ujarnya.

Dalam konteks ini, pilpres belum bisa dibarengkan dengan pemilihan legislatif. (nwo/jon)

Skandal BLBI (1)

Mungkinkah Membuka Kembali Kasus BLBI?
Senin, 17 Maret 2008 | 00:16 WIB

Suhartono

Pascatertangkap tangannya jaksa Urip Tri Gunawan memunculkan desakan agar penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dibuka lagi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Urip adalah kepala tim jaksa pemeriksa yang khusus menangani BLBI yang diterima Bank Dagang Nasional Indonesia (Sjamsul Nursalim) dan Bank Central Asia (Anthony Salim).

Banyak yang menyatakan, dengan itikad baik pemerintah, dengan mengabaikan kepentingan politik dan lainnya, kasus tersebut bisa dibuka lagi.

Alasan paling sederhana adalah rasa keadilan. Rasa keadilan itu di antaranya terkait dengan jumlah pengembalian utang BLBI yang tak sebanding dengan kewajiban utangnya. Kalaupun telah dibayar lunas dengan aset, nilainya saat dijual kembali tak mencapai nilai 100 persen. Tingkat pengembalian utang (recovery rate) rata-rata hanya 20-30 persen.

Negara, hingga kini, justru harus menanggung akibatnya untuk menutup kerugian. Sebut saja dengan pembayaran pokok dan bunga utang untuk obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk mendanai bank-bank tersebut.

Setiap tahunnya hampir 25 persen dari total volume APBN harus dibayarkan. Ironisnya, mereka yang harusnya bertanggung jawab dengan BLBI sekarang ini justru ongkang-ongkang kaki, menikmati keuntungan dari BLBI yang pernah diterimanya, dengan usaha yang baru.

Sikap Kejagung

Dalam keterangannya di Kejaksaan Agung, 29 Februari 2008, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengumumkan, penyidikan BLBI dihentikan karena kasus itu tak memiliki bukti hukum.

Dua hari kemudian Kemas kembali menegaskan hal serupa beberapa saat setelah Urip tertangkap tangan petugas KPK di sekitar rumah Sjamsul Nursalim dengan segepok uang senilai Rp 6,1 miliar. Ia menyatakan, Kejagung tetap tidak akan memeriksa kembali kedua kasus penerima BLBI senilai Rp 52 triliun (BCA) dan Rp 29 triliun (BDNI) itu.

Juga dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR pada 5 Maret lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan tak akan membuka kembali kasus BLBI. Namun, karena ”ditekan” anggota Komisi II DPR, Hendarman akhirnya melunak. Menurut dia, jika memang ada keterkaitan antara Urip dan penghentian kasus BLBI, ia mempersilakan dibukanya lagi kasus itu.

Jelas suap

Menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita, dengan tertangkapnya Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani, patut diduga adanya bukti awal untuk membuka kembali penyelidikan kasus BLBI. ”Adanya Urip dan Artalyta Suryani yang tertangkap tangan di sekitar rumah Sjamsul Nursalim itu jelas sebuah dugaan suap. Itu berarti ada sesuatu yang akan diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu. Apalagi sudah ada yang menerima,” kata Romli.

Secara hukum, sudah ada bukti-bukti awal tentang fakta bahwa yang satu Kepala Tim Jaksa Penyelidik BLBI dan satu lagi orang yang terkait dengan pemeriksaan Kejagung. Inilah yang disebut prima facie evidence. ”Tak perlu ada pengakuan. KPK tepat jika dua-duanya dijadikan tersangka. Dengan dugaan kasus suap, KPK harus bisa menjelaskan keterkaitan dengan kasus BLBI,” katanya.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu jika salah seorang yang tengah diperiksa terbukti melakukan korupsi, lanjut Romli, KPK bisa mengambil alih penyelidikannya.

Dalam perjalanannya untuk penyelesaian kasus BLBI, Romli juga menilai selama ini pemerintah hanya terfokus pada sisi penyelesaian perdata tanpa dikawal dengan penyelesaian pidananya, yang dimulai ketika para debitor BLBI dinyatakan gagal (default) membayar kewajibannya secara perdata dengan sejumlah aset.

”Penyelesaian secara komersial perdata seyogianya paralel dengan penyelesaian pidana. Waktu itu, Kejagung sebenarnya bisa melakukan penyelidikan setiap transaksi penyelesaian perdata dengan memulai mencari tahu dan menelusuri kewajiban pengembalian utang melalui penyerahan aset-aset debitor. Saat debitor gagal bayar, Kejagung harusnya sudah berperan, seperti menangkap dan memeriksanya,” ujar Romli.

Jika sekarang ini aparat penegak hukum akan menelusuri pengembalian utang dengan aset-aset tersebut, Romli memang menilai agak terlambat. ”Penyelesaian perdata yang selama ini ditempuh pemerintah terbukti tidak memiliki daya guna dan hasil yang optimal untuk mengembalikan recovery rate atau tingkat pengembalian utang BLBI,” kata Romli.

Oleh sebab itu, tak mengherankan bila masyarakat kini mencoba menaruh harapan kepada KPK untuk menuntaskan kasus ini.

Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, dasar KPK melakukan pemberantasan korupsi adalah UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, kebijakan BLBI dikeluarkan tahun-tahun sebelumnya, sementara kewenangan KPK tak berlaku surut.

Sejak KPK masih dipimpin Taufiequrachman Ruki, KPK terkesan ”menghindar” untuk memeriksa kasus BLBI.

Namun, sejak kasus Urip mencuat, Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto mengatakan, KPK siap mengambil alih kasus BLBI yang selama ini ditangani Kejagung asalkan ada aturan yang memerintahkan pengambilalihan itu (Kompas, 13/3).

BLBI sudah selesai?

Bagi Adnan Buyung Nasution, kasus BLBI tak mungkin dibuka kembali. Apalagi, kasus mantan kliennya itu dianggap sudah selesai dengan adanya surat keterangan lunas (SKL) dan penghentian perkara oleh Kejagung.

Pengacara non-aktif, yang pernah mendampingi Sjamsul Nursalim saat di Kejagung dan melakukan negosiasi dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), itu mengingatkan agar kasus Urip yang sekarang tengah diperiksa KPK harus dibedakan dengan kasus BLBI secara menyeluruh.

Menurut Adnan, BDNI sudah menyelesaikan pemenuhan kewajibannya kepada pemerintah dengan membayar lunas Rp 1 triliun dan sejumlah aset senilai Rp 28 triliun. Penyelesaian itu dibuktikan dengan adanya SKL yang dikeluarkan BPPN. Selanjutnya, dengan SKL tersebut, Kejagung menghentikan kasusnya dengan surat penghentian penyidikan perkara (SP3).

Tentang kaitan Urip dengan Artalyta, Adnan mengaku dirinya sama sekali tidak mengetahuinya. Ia, kini, tidak lagi menjadi penasihat hukum Sjamsul. Bahkan, untuk mengetahui kasus tersebut dan peranan Artalyta, Buyung mengaku sudah menugaskan anak buahnya untuk menemui Sjamsul Nursalim, tetapi belum juga berhasil.

”Jadi, saya belum tahu apakah eks klien saya melakukan hal yang tidak patut seperti itu. Saya juga belum tahu peranan apa dan siapa yang menyuruh Artalyta membayar kepada Urip,” katanya.

Namun, Adnan mengakui kasus BLBI memang sangat sulit untuk dibuka lagi dan dilematis. Oleh sebab itu, katanya, dalam kasus BLBI ini pemerintah harus menjelaskan secara rinci, termasuk pilihan pemerintah menyelesaikan perkara itu secara perdata dan di luar pengadilan (out of court settlement). Penyelesaian itu didasari dengan perjanjian master of settlement and acquisition agreement/ MSAA (perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan jaminan aset), juga master of refinancing and note issuance agreement/ MRNIA (perjanjian penyelesaian BLBI dengan tambahan jaminan pribadi), serta perjanjian akta pengakuan utang (APU).

Dalam klausul MSAA dan MRNIA terdapat pemberian pelepasan hukum (release and discharge/R&D) untuk pelanggaran batas maksimum pemberian modal (BMPK) bagi debitor yang sudah memenuhi kewajiban utang BLBI-nya.

Pemerintah, kata Buyung, harus menjelaskan kepada masyarakat bahwa masalahnya sudah diselesaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Mulai dari pelaksanaan Ketetapan MPR hingga Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian R&D bagi Debitor dan Obligor BPPN yang Selesai Memenuhi Kewajiban Utangnya.

”Hanky panky” BLBI

Luhut MP Pangaribuan, pengacara yang pernah bergabung dalam Tim Pengarah Bantuan Hukum yang dibentuk pemerintah, menyatakan, kasus BLBI sudah diselesaikan dengan proses negosiasi secara per- data dan proses hukum yang panjang.

Namun, ia sependapat jika memang terdapat hanky panky (tipu muslihat) dalam penyelesaian kewajiban BLBI, khususnya pembayaran utang. Aparat penegak hukum dapat diminta untuk melakukan pemeriksaan kembali kasus-kasus BLBI.

Adapun mantan kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Lukman Bachmid, yang pernah menangani perkara BLBI Bank Asia Pacific (Aspac) dan Bank Harapan sentosa (BHS) hingga putusan di Mahkamah Agung, menyatakan perjanjian MSAA dan MRNIA yang menjadi ”payung” dalam penyelesaian perdata sudah dilanggar oleh para debitor BLBI.

Selain waktu 3,5 tahun untuk memenuhi kewajiban yang sudah terlewati, juga aset-aset yang diserahkan kepada BPPN nilainya tidak sebanding dengan kewajiban utangnya yang harus dibayar. Karena itu, beralasan jika kasus BLBI harus dibuka lagi.

Membandingkan dengan kasus yang ditanganinya, yaitu kasus Bank Aspac dan BHS, Lukman menyatakan, saat itu tidak ada persoalan yang bisa meloloskan mereka dari jeratan hukum. Pemegang saham utama Aspac dan BHS, Hendrawan cs dan Hendra Rahardja, dinyatakan bersalah. ”Saya heran mengapa pada kasus BDNI dan BCA bisa seperti itu?”

Kini mungkin saatnya KPK unjuk gigi. Tak ada alasan kuat untuk menampik rasa keadilan masyarakat. Waktunya sudah datang. Kita menunggu.

Jelaga di Wajah Lembaga Penegak Hukum

Senin, 17 Maret 2008 | 00:14 WIB

SUWARDIMAN

Tertangkapnya Kepala Tim Jaksa Pemeriksa Kasus BLBI Urip Tri Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memperkuat keyakinan publik bahwa tidak ada lembaga yang bersih dari korupsi. Lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi alat pemberantas korupsi makin memperlihatkan citra sebagai lembaga yang terbelit korupsi.

Kekecewaan publik terhadap jajaran lembaga penegak hukum tampak menonjol. Demikian kesimpulan dalam jajak pendapat yang dilakukan pada 12-13 Maret 2008 terhadap 867 responden di 13 kota di Indonesia.

Sebanyak 73,2 persen responden menyatakan tidak ada lembaga negara yang bebas dari perilaku korupsi aparatnya.

Dari lembaga-lembaga penegak hukum yang ada, kejaksaan dan kepolisian disebut sebagai lembaga yang belum bebas dari perilaku korupsi oleh paling banyak responden. Masing-masing lembaga itu disebut oleh 95,4 persen dan 95,2 persen responden. Bahkan, KPK pun dinilai oleh 73,4 persen responden tidak bebas dari korupsi.

Tertangkap dan diadilinya penyidik KPK, Ajun Komisaris Suparman, dalam perkara pemerasan saksi kasus PT Sandang beberapa waktu lalu menjadi titik balik yang menurunkan kepercayaan pada lembaga ini.

Peran lembaga negara sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan Mahkamah Agung, selama ini semakin jauh dari harapan publik.

Lembaga kejaksaan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. UU ini merupakan pembaruan atas UU No 5/1991 tentang Kejaksaan. Pembaruan UU ini diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peran lembaga kejaksaan.

Lembaga negara ini diharapkan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Alih-alih melakukan penguatan lembaga, citra lembaga kejaksaan malah semakin tersungkur. Kejaksaan tertampar oleh skandal uang Rp 6,1 miliar yang diduga diterima Urip dari Artalyta Suryani di sekitar kediaman pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia, Sjamsul Nursalim.

Uang itu diduga terkait dengan kasus BLBI, khususnya yang diterima BDNI. Citra Kejaksaan Agung pun menurun cukup drastis, dari dinilai baik oleh 29,3 persen responden Februari tahun lalu menjadi hanya oleh 22,3 persen responden saat ini.

Kasus suap aparat hukum seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, jaksa yang ditengarai terkait suap tercatat, antara lain, Cecep Sunarto dan Burdju Ronni. Mereka menerima uang Rp 550 juta dari Ahmad Djunaidi, terdakwa korupsi PT Jamsostek. Keduanya divonis satu tahun delapan bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Februari tahun lalu.

Kasus suap dalam proses pengadilan korupsi memang bukan barang baru. Sederet kasus suap dalam pengungkapan korupsi juga banyak melibatkan aparat hukum (lihat tabel).

Ini menggiring kegamangan publik dalam menyikapi keseriusan pemerintah dalam membabat habis korupsi di negeri ini. Lebih dari separuh responden (55,2 persen) menilai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak serius. Sebagian lain (42,7 persen) menilai ada keseriusan dalam penanganan persoalan korupsi di negeri ini.

Mayoritas responden (74,4 persen) menyatakan tidak percaya pada sistem pengadilan di Indonesia. Hanya dua dari 10 responden yang berpendapat sebaliknya. Sejumlah aturan hukum yang dibuat sejak tahun 1998 seharusnya mampu menekan praktik korupsi di negeri ini. Produk perundang-undangan yang lahir selama 10 tahun terakhir secara substansial sudah lebih baik jika dibandingkan dengan produk hukum pada era sebelum reformasi. Namun, instrumen hukum yang diciptakan dalam praktiknya tidak sejalan dengan realitas di lapangan.

Penguatan lembaga penegakan hukum di negeri ini seolah tidak bermakna apa-apa jika dalam praktiknya tidak dibarengi dengan sumber daya manusia yang kredibel. Ironis! Aparat yang seharusnya menjadi ujung pedang menebas endemik korupsi justru terseret menjadi pelaku korupsi. Menumpas habis korupsi di negeri ini tampaknya masih akan melalui perjalanan panjang.... (Litbang Kompas)

Pelaku Korupsi Tidak Akan Jera

Putusan MA Ikut Tak Mendidik Masyarakat
Senin, 17 Maret 2008 | 00:12 WIB

Jakarta, Kompas - Aksi pemberantasan korupsi dengan teknik menangkap tangan pelaku suap ternyata tidak pernah bisa memberikan efek jera. Ini terbukti, semakin hari transaksi suap-menyuap selalu terjadi dengan nominal yang semakin besar. Pelaku korupsi pun tak jera karena hukuman yang diterima juga ringan.

Demikian dikemukakan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satriyo, dan anggota Komisi III DPR, T Gayus Lumbuun, secara terpisah, Minggu (16/3).

Seperti diwartakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap jaksa Urip Tri Gunawan, yang diduga menerima suap terkait dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada bulan ini. Sebelumnya, KPK juga menangkap anggota Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, dan anggota Komisi Pemilihan Umum, Mulyana W Kusumah.

Menurut Rudy, salah satu faktor yang membuat pelaku korupsi tak jera adalah ancaman hukuman terhadap mereka tak pernah dimaksimalkan hakim. Rendahnya hukuman kepada koruptor membuat orang lain yang hendak melakukan korupsi atau menerima suap tak merasa takut.

Rudy mengatakan, memang di dalam hukum, pemidanaan bukanlah sebuah bentuk balas dendam negara, tetapi menjadi pembelajaran. ”Namun, untuk tindak pidana tertentu, seperti korupsi, rasa takut calon pelaku tetap harus dilakukan,” katanya.

Rudy menjelaskan perlu ada solusi untuk menciptakan ketakutan bagi koruptor, yaitu dengan menciptakan efek jera kepada penegak hukum yang melakukan penyimpangan. ”Aparat penegak hukum ini harus menjadi target KPK, dan hukuman kepada mereka harus diperberat,” ujarnya.

Secara khusus, Gayus menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengurangi hukuman bagi terpidana kasus korupsi BLBI David Nusa Wijaya, dari delapan tahun jadi empat tahun penjara di tingkat peninjauan kembali (PK), tak mendidik masyarakat dan tak menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.

Lebih parah lagi, Gayus menjelaskan, putusan MA itu dapat mengakibatkan patahnya semangat penegak hukum mengejar pelaku korupsi. Pengurangan hukuman itu menunjukkan MA tak memerhatikan kesulitan penegak hukum dan segala risiko yang harus ditanggung saat mengejar terdakwa hingga ke luar negeri.

Menurut Gayus, MA semestinya memerhatikan asas manfaat sebuah putusan. Tak semestinya MA mengurangi atau menambah hukuman dalam putusan di tingkat PK. Seharusnya, majelis PK mendasarkan putusan pada penerapan hukum dengan amar putusan berbunyi menerima atau menolak PK saja.

Hanya di pinggiran

Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menilai, pemberantasan korupsi di Indonesia masih dilakukan di daerah pinggiran dan umumnya belum menyentuh pelaku utama. Akibatnya, meski sudah banyak orang yang diadili dan dihukum, korupsi tetap terus berlangsung.

”Jika korupsi diibaratkan sel kanker, yang selama ini diangkat hanya sel pinggiran, sedangkan sel utama tak pernah disentuh hingga kanker terus saja menyebar,” katanya.

Situasi ini, lanjut Denny, terlihat dalam pengungkapan sejumlah kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat, yang proses hukum umumnya hanya dikenakan kepada pelaku lapangan. Hanya dalam perkara korupsi di Komisi Yudisial, KPK memproses hingga ke aktor utama, yaitu Irawady Joenoes.

”Dalam perkara korupsi di KPU serta Departemen Kehakiman dan HAM, ada aktor yang diduga masih dibiarkan. Padahal, mereka ini justru merupakan aktor yang lebih penting,” kata Denny. Indikasi yang akan diproses hanya aktor lapangan juga terlihat dalam penanganan kasus aliran dana Bank Indonesia dan penyuapan yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan.

Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch menambahkan, terus terjadinya korupsi juga disebabkan lemahnya pengawasan di lingkungan penegak hukum. Akibatnya, banyak perkara penting yang justru menjadi permainan penegak hukum, seperti yang terindikasi dalam kasus suap BLBI. (vin/ana/nwo)

Sabtu, 15 Maret 2008

Konspirasi di Balik Penangkapan Urip?


Oleh Tjipta Lesmana

Dua tahun lalu Komisi Pemberantasan Korupsi menggerebek ruang kerja Ketua Mahkamah Agung. Beberapa anggota staf MA diciduk dan ditahan. Skandal suap di pengadilan tertinggi negeri ini segera terkuak.

Enam bulan lalu, seorang anggota Komisi Yudisial tertangkap basah oleh KPK di sebuah rumah di Kebayoran Baru. Ia sedang menerima miliaran rupiah dari penjual tanah yang akan dibeli KY. Anggota KY terlibat mark-up jual-beli tanah? Memalukan.

Pekan lalu, KPK membuat ”geger” lagi. Urip Tri Gunawan, Ketua Tim Penyelidik Kasus BLBI Kejaksaan Agung, tertangkap basah menerima uang Rp 6,1 miliar di rumah Sjamsul Nursalim. Sjamsul adalah taipan yang kasus BLBI-nya sedang diusut tim Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Hendarman Supandji menangis saat kepada pers mengumumkan penangkapan anak buahnya. Ia malu, marah, sekaligus sedih.

Bobot berita penangkapan Urip tentu lebih besar daripada dua berita sebelumnya. Pertama, terkait skandal BLBI yang sudah menggantung hampir 10 tahun. Anehnya, dari satu rezim ke rezim lain, kasus BLBI tidak bisa diselesaikan. Apakah rezim-rezim pasca-Soeharto tidak berdaya menghadapi ”kaum konglomerat”?

Saat menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Hendarman Supandji bersumpah akan menuntaskan skandal ini. Siapa pun yang terindikasi terlibat akan ditindak tanpa pandang bulu. Maka, tidak lama setelah diangkat menjadi Jaksa Agung, ia membentuk Tim Penyelidik Kasus BLBI. Lebih dari 100 jaksa berprestasi dan berintegritas dari seluruh Indonesia direkrut. Setelah melalui seleksi ketat, ditetapkan 35 jaksa untuk duduk dalam tim itu. Urip diangkat sebagai salah satu ketua.

Setelah bekerja berbulan-bulan, Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim tidak ditemukan cukup bukti melakukan korupsi dalam kasus BLBI. Seluruh jaksa anggota tim memberi suara sama, kasus pun dihentikan. Publik marah. Berbagai pihak mengecam Kejaksaan Agung.

Ada konspirasi?

Kedua, belum selang dua hari Jampidsus Kemas Yahya Rahman resmi mengumumkan bebasnya dua taipan itu pada 29 Februari 2008, Urip ditangkap.

Adakah konspirasi di balik penangkapan Urip? Konspirasi apa? Apa motivasinya?

Masih segar ingatan kita bagaimana reaksi publik saat Antasari Azhar dipastikan terpilih sebagai Ketua KPK. Semua mengecam. Semua menunjukkan keprihatinannya, KPK bakal mandul lalu dibubarkan jika dipimpin Antasari yang dikabarkan ”tidak bersih” dan pernah membebaskan Tommy Soeharto. Kini, semua sudah dibuktikan.

Konspirasi bisa juga dilakukan antara Kejaksaan Agung dan KPK berdasar prinsip ”sama-sama diuntungkan”. Hendarman Supandji diakui sebagai jaksa yang bersih. Namun, siapa pun tahu, di kantor Kejaksaan Agung bergentayangan banyak jaksa kotor. Maka, akan sulit sekali bagi Hendarman untuk membersihkan instansinya. Kasus Urip Tri Gunawan bisa memberi impetus bagi Hendarman—sekaligus dukungan publik, termasuk Presiden SBY—untuk melakukan ”pembersihan mematikan” di dalam.

Hendarman hari ini boleh berimpresi sedih. Namun, esok lusa ia akan diacungkan jempol karena keberaniannya membersihkan jaksa-jaksa kotor. Di sisi lain, KPK akan melambung namanya.

Informasi tentang permainan Urip—mungkin melebar ke Tim Penyelidik—bukan dari KPK, melainkan dari intern Kejaksaan Agung sendiri. Logikanya, sulit dipercaya KPK bisa bekerja superkilat dalam membongkar kasus suap yang betul-betul signifikan dalam skandal BLBI.

Kesimpulan

Ada dua kesimpulan, apa pun konspirasi dan motivasi di balik pencidukan Urip Tri Gunawan.

Pertama, citra penegak hukum di republik ini benar-benar nyaris hancur. Hal ini menambah kuat skeptisme publik tentang law-enforcement, khusus dalam upaya memerangi KKN.

Kedua, lorong penyelesaian skandal BLBI kini kian gelap. Perkara BLBI bakal tercatat sebagai perkara hukum paling kotor di negeri ini sekaligus paling sulit dibereskan semata-mata karena hampir semua pihak yang terkait rupanya sudah kena suap.

Tjipta Lesmana Mantan Anggota Komisi Konstitusi

Jumat, 14 Maret 2008

Kasus Hukum Soeharto: Selesai Pidananya, Sulit Perdatanya

Moh. Mahfud Md.

15 Januari 2008

Dini hari 12 Januari dua hari lalu, setelah menengok mantan presiden Soeharto di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan pihaknya menawarkan penyelesaian damai kepada keluarga mantan presiden Soeharto dalam kasus perdata yang kini sedang bergulir di pengadilan.

Tawaran tersebut secara hukum terasa aneh, menambah anehnya berbagai distorsi lainnya yang menyertai polemik tentang kasus hukum Soeharto yang sudah banyak melenceng dan bercampur aduk tak keruan dengan soal politik.

Mengapa aneh? Karena dari sudut hukum pidana, suka atau tidak suka, kasus Soeharto itu sudah selesai alias sudah ditutup tapi masih diperdebatkan terus secara mbulet; sementara dari sudut hukum perdata masih menjadi persoalan menyangkut hak pemerintah melakukan gugatan perdata terhadap Soeharto sebagai Ketua Yayasan Supersemar dan yayasan-yayasan lainnya.

Pidananya sudah selesai

Soeharto sudah diajukan ke peradilan pidana dalam perkara korupsi sesuai dengan amanat Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, karena alasan sakit permanen, Jaksa Agung telah menghentikan penuntutannya melalui surat ketetapan penghentian penuntutan pidana (SKP3). Suka atau tidak suka, SKP3 dari Jaksa Agung itu telah mengakhiri kasus pidana Soeharto, apalagi SKP3 itu sudah dinyatakan sah secara hukum oleh Pengadilan Tinggi Jakarta setelah sebelumnya dipraperadilankan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

SKP3 merupakan produk hukum yang sah karena didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Menurut Pasal 140 ayat (1) butir a KUHAP, Jaksa Agung memang dibenarkan mengeluarkan SKP3 dengan alasan-alasan tertentu, yakni jika ternyata kasus itu bukan kasus pidana, jika tidak cukup bukti, jika dihentikan demi hukum (misalnya karena kedaluwarsa dan yang bersangkutan meninggal), dan jika alasan demi kepentingan umum.

Dalam Pasal 140 ayat 1 itu memang tidak ada penyebutan "sakit permanen" sebagai alasan penghentian penuntutan demi hukum, tapi penafsiran Jaksa Agung yang memasukkan "sakit permanen" itu sebagai alasan SKP3 sudah dinyatakan sah oleh Pengadilan Tinggi Jakarta sehingga tak perlu dipersoalkan lagi, kecuali kemudian ditemukan bukti medis bahwa Soeharto tidak sakit permanen. Namun, menemukan bukti baru bahwa Soeharto tidak sakit permanen, apalagi dengan perkembangannya seperti sekarang, rasanya mustahil.

Jadi secara hukum sebenarnya tak bisa lagi kita ngotot agar kasus Soeharto dibawa lagi ke peradilan pidana. Secara hukum kasus itu sudah ditutup dan tak dapat diungkit-ungkit lagi. Susahnya, sekarang ini upaya politisasi hukum sering memunculkan sikap bahwa penyelesaian hukum itu artinya Soeharto harus dihukum pidana, padahal SKP3 adalah juga bentuk penyelesaian hukum.

Perdatanya tidak mudah

Masalah perdatanya pun tidaklah mudah, bahkan tampaknya Kejaksaan Agung hanya "berpura-pura" karena tak punya dasar hukum kuat untuk melakukan gugatan perdata. Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh benar saat mengatakan bahwa gugatan perdata tidak harus didahului dengan adanya putusan pidana. Namun, pengajuan gugatan perdata dalam kasus ini tetap sulit dipahami. Sebab, kasus perdata ini merupakan pembelokan setelah kasus pidananya ditutup; jadi tetap saja pijakannya tak pas.

Di dalam hukum perdata seseorang baru bisa digugat jika, antara lain, melakukan wanprestasi (tidak memenuhi kewajiban). Pertanyaannya adalah, kepada siapa dan apa bentuk wanprestasi yang tidak dipenuhi secara perdata oleh Soeharto sebagai Ketua Yayasan Supersemar dan yayasan lainnya? Jika jawabannya adalah lalai dan menimbulkan kerugian dalam pengelolaan dana Yayasan, misalnya karena hanya 15 persen yang disalurkan untuk beasiswa pendidikan, yang berhak mengajukan gugatan atas Soeharto tentulah pihak pengurus Yayasan itu sendiri. Kenyataannya, seluruh pengurus Yayasan tak ada yang mempersoalkan pengelolaan dana itu. Lalu dalam kapasitas dan kerugian apa kejaksaan melakukan gugatan perdata, sementara yayasannya itu sendiri merasa tak ada yang salah?

Jika kejaksaan melakukan gugatan perdata atas nama pemerintah, tentu harus dengan alasan bahwa Yayasan Supersemar melakukan wanprestasi atau mempunyai utang secara perdata kepada pemerintah. Soalnya, kapan, berapa jumlahnya, atau dalam bentuk apa Yayasan Supersemar pernah berutang kepada pemerintah? Sulit juga dipahami ketika Kejaksaan Agung mengatakan bahwa gugatan diajukan karena Soeharto sebagai Ketua Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum yang karena kelalaiannya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KHU Perdata. Persoalannya, kelalaian apa, siapa yang dirugikan, dan berapa jumlahnya?

Jika Kejaksaan Agung mengatakan gugatan itu dilakukan karena Soeharto dan yayasan-yayasannya telah melakukan penyelewengan atau penggelapan dana karena, misalnya, dana digunakan untuk hal-hal yang di luar tujuan yayasan, harus diingat bahwa istilah penyelewengan atau penggelapan itu ada di ranah hukum pidana. Karena itu, Jaksa Agung tak bisa masuk ranah ini melalui hukum perdata. Namun, kalau mau masuk ke pidana lagi sudah tak bisa karena secara hukum kasus pidananya sudah selesai dengan SKP3 dari Jaksa Agung itu sendiri. Njelimet, kan?

Jangan berpura-pura

Sampai sekarang tak pernah diumumkan dengan jelas alasan perdata atau wanprestasi dan kelalaian apa, siapa yang dirugikan, atau utang yayasan yang mana sehingga Soeharto dan yayasannya harus diperdatakan setelah kasus pidananya ditutup. Jika alasannya hanya seperti yang dikemukakan di atas, kelemahannya pun tampak jelas sehingga terkesan langkah gugatan perdata itu tidak bersungguh-sungguh.

Maka, tidak salah jika ada yang menduga apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan menggugat perdata tampaknya hanya ingin melayani orang yang secara emosional ingin terus memburu Soeharto, meski alasannya secara yuridis tidak lagi kuat. Artinya, pengajuan gugatan itu lebih merupakan sikap "berpura-pura" untuk "menghibur" lawan-lawan Soeharto.

Saya termasuk yang sangat ingin agar kasus pidana Soeharto itu diselesaikan secara pidana sampai vonis pengadilan. Tapi, karena masalahnya sudah ditutup dengan SKP3 yang sah, kalau terus ngotot tidak akan baik bagi pembangunan hukum kita.

Begitu pun saya ingin agar uang yang begitu banyak di yayasan-yayasan yang dipimpin oleh Soeharto dapat diambil oleh negara melalui gugatan perdata, tapi keinginan itu tidak realistis karena sejauh ini alasan-alasan yang dikemukakan oleh Kejaksaan Agung sama sekali tidak meyakinkan secara hukum. Entahlah kalau ada argumen yang masih disembunyikan sebagai bagian dari strategi

Apakah bukan sudah saatnya kita berhenti berpura-pura? Yakni berpura-pura dalam arti ngotot akan melakukan sesuatu padahal tak ada dasar hukum yang kuat untuk memberi harapan. Bukankah sudah waktunya kita berhenti "bermain akrobat" untuk mengerjakan hal-hal lain yang lebih produktif bagi pembangunan hukum kita?


*) Moh. Mahfud Md., Guru Besar Ilmu Hukum dan Anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa

Senin, 10 Maret 2008

DPR Semakin Jauh dari Rakyat


Senin, 10 Maret 2008 | 00:27 WIB

Oleh UMI KULSUM dan SUWARDIMAN

Tolok ukur pengukuran kinerja sebuah lembaga adalah output atau hasil yang dicapai oleh lembaga tersebut. Sementara itu, untuk mengukur hasil pencapaian, muaranya berujung pada sejauh mana fungsi-fungsi lembaga itu dijalankan oleh instrumen-instrumen yang ada di dalamnya.

Demikian pula ketika publik menilai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat, yang menjadi alat ukur adalah sejauh mana lembaga yang menjadi ujung tombak berjalannya proses demokrasi ini bekerja secara maksimal. Publik menilai kinerja DPR buruk.

Dari 836 responden yang terjaring dalam jajak pendapat kali ini, sebanyak 68,5 persen menyatakan kinerja DPR buruk. Di tengah realitas saat ini, DPR seolah lebih larut dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu. Mereka dianggap meminggirkan apa yang lebih dibutuhkan rakyat. DPR dinilai lebih berpihak pada kepentingan kelompok atau partai.

Buruknya kinerja DPR tidak hanya mendapat sorotan dari pihak di luar lembaga perwakilan itu. Di internal lembaga, ketidakefektifan kinerja DPR pun mendapat sorotan. Sebut saja misalnya salah satu personel dari Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR, Eva Kusuma Sundari (Fraksi PDI Perjuangan), yang mempertanyakan kontribusi DPR selama ini.

Anggota Komisi III yang juga menjabat Wakil Ketua Bidang Anggaran Tim Peningkatan Kinerja DPR itu kepada Kompas, Rabu (5/3), mencontohkan soal laporan Badan Pemeriksa Keuangan yang menyebutkan adanya Rp 25 triliun anggaran pemerintah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, DPR belum memberikan kontribusi kontrol yang jelas.

DPR seharusnya menjalankan fungsi check and balance dengan, misalnya, pembentukan tim dan melakukan hearing lalu kemudian membuat rekomendasi.

Namun, selama ini rekomendasi dan kesimpulan DPR tidak jelas atau bahkan jarang dibuat. Lebih jauh, tidak pernah dibuat laporan soal berapa rekomendasi dari DPR yang diterima pemerintah. ”Untuk itu, perlu dibuat instrumen di tubuh DPR yang secara khusus menjalankan tugas ini,” kata Eva. Dari laporan seperti itulah dapat diukur kontribusi yang dihasilkan dewan yang dipilih rakyat itu. Dengan adanya mekanisme yang jelas seperti itu, maka implikasi dari fungsi pengawasan DPR pun dapat lebih mudah diukur.

Untuk mengukur kinerja DPR perlu sebuah analisis soal seberapa efektif lembaga ini menjalankan peran dan fungsinya. Berapa banyak produk legislasi yang dihasilkan; sejauh mana respons DPR terhadap aspirasi masyarakat, dan seberapa jauh pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah. Sementara dalam fungsi anggaran, sejauh mana DPR berperan dalam pembentukan good governance.

Laporan Tim Kajian Peningkatan Kinerja (TKPK) DPR tahun 2006 menilai kualitas undang-undang yang dihasilkan oleh DPR banyak yang belum memberi manfaat langsung pada kehidupan masyarakat. Tim yang sudah berusia dua tahun ini menunjukkan fakta bahwa dari daftar Rancangan Undang-Undang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005-2009, dari jumlah 284 RUU hanya 42 RUU yang terkait kesejahteraan rakyat. Sementara, 78 RUU soal perekonomian dan paling banyak (159 RUU atau 56 persen) terkait bidang politik. Sisanya, lima RUU selain ketiga bidang tersebut.

TKPK DPR menyimpulkan, belum optimalnya kinerja DPR dalam menghasilkan produk perundangan yang berkualitas di antaranya disebabkan oleh minimnya partisipasi publik dalam proses penyusunan UU, terutama penyusunan daftar RUU dalam Prolegnas.

Selain produk legislasi yang minim manfaat langsung bagi rakyat, secara kuantitas produk yang dihasilkan pun tidak memenuhi target. Pada tahun 2005 target ditetapkan sebanyak 55 UU, namun DPR hanya membahas 14 RUU. Itu pun hanya dua RUU yang secara substansi melibatkan DPR, yaitu UU tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan UU tentang Guru dan Dosen.

Sedangkan pada tahun 2006 DPR berhasil menetapkan 39 RUU. Dari jumlah tersebut, 16 RUU adalah usul pembentukan daerah otonom baru dan 7 RUU pengesahan konvensi internasional.

Secara substansi pun DPR tidak banyak menghasilkan produk perundangan. Dari 103 undang-undang yang dihasilkan selama masa kerjanya, hanya 17 yang merupakan produk inisiatif DPR dan 23 inisiatif presiden, selebihnya adalah undang-undang tentang pemekaran wilayah dan dua yang berasal dari pemerintah dan inisiatif daerah. Dua bulan pertama tahun ini, DPR mensahkan 10 UU, enam UU Pemekaran, satu UU Agreement, satu UU Parpol, satu UU Pemilu, dan satu UU Penggunaan Bahan Kimia.

Berdasar fakta itu, wajar jika penilaian publik atas kinerja DPR, khususnya di bidang legislasi, selama empat tahun terakhir ini terus merosot. Kepuasan responden pada kinerja DPR sejak lama memang kecil, ironisnya justru menurun.

Jika pada Agustus 2007 kepuasan rakyat pada DPR dalam hal menyalurkan aspirasi masyarakat adalah 22,6 persen, pada Maret 2008 hanya 15,3 persen. Hal itu antara lain disebabkan ketidakpekaan DPR pada persoalan rakyat.

Sebagai contoh, interpelasi atas kasus impor beras yang diusulkan 27 anggota DPR (5/6/2007). Dalam rapat paripurna, anggota dewan yang setuju interpelasi hanya 114 orang, sedangkan yang menolak 224 suara dan abstain 9 suara. Fakta ini mempertajam citra DPR yang dinilai tidak peka pada problem yang dihadapi rakyat.

Boleh jadi, ini yang melatarbelakangi penilaian 84 persen responden yang menganggap DPR tidak serius dalam mengawasi kinerja pemerintah yang berkaitan dengan stabilitas harga dan ketersediaan bahan kebutuhan pokok. Demikian pula dengan stabilitas harga dan ketersediaan bahan bakar minyak dan energi listrik, DPR juga dianggap tidak serius merespons kebijakan pemerintah tersebut.

Terkait penanganan para koruptor pun DPR dinilai tidak tegas. Ini tampak dari lambannya DPR merespons kasus BLBI. Interpelasi DPR pada kasus BLBI tidak jelas kelanjutannya. Setali tiga uang, interpelasi kasus lumpur Lapindo pun terus mengambang. (Litbang Kompas)

Benahi Kejaksaan Sekarang Juga


Senin, 10 Maret 2008 | 00:36 WIB

Oleh Trimedya Panjaitan

Sinyalemen bahwa ”sapu-sapu kotor” masih berkeliaran di kejaksaan seolah mendapat konfirmasi. Pembenahan internal kejaksaan harus segera dilakukan.

Tertangkap tangannya jaksa Urip Tri Gunawan saat menerima uang sekitar Rp 6,1 miliar yang diduga terkait penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan tamparan keras bagi Gedung Bundar sekaligus mengguncang kantor Jaksa Agung Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).

Peristiwa ini terjadi hanya tiga hari seusai Jampidsus Kemas Yahya Rahman mengumumkan penghentian pemeriksaan perkara dua obligor BLBI—Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Central Asia (BCA)— karena tidak ditemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah tindak pidana korupsi.

Kelanjutan kasus BLBI

Kejaksaan secara terbuka harus menjelaskan alasan penghentian pemeriksaan kasus BDNI dan BCA. Juga harus dijelaskan alasan dibukanya kembali atau diarahkannya pemeriksaan pada kedua obligor itu dan bukan obligor lain sebab penentuan perkara BLBI yang ditangani akan memengaruhi hasil akhir.

Terkait BLBI, ada tiga tipe obligor: 1) kooperatif; 2) kooperatif tetapi belum melunasi kewajiban; 3) tidak kooperatif. Terhadap mereka, kejaksaan harus menentukan mana yang disasar lebih dulu, yakni yang berpeluang lebih besar untuk dibuktikan perbuatan melawan hukumnya.

Penjelasan secara terbuka diperlukan guna memastikan penanganan kasus BLBI benar-benar berdasar hukum dan tidak ada motif politik atau ekonomi. Jangan sampai sebuah perkara dibuka untuk dijadikan ”ATM”, seperti diduga pada penanganan kasus-kasus dugaan korupsi dana APBD, di mana banyak anggota DPRD mengaku dimintai uang oleh oknum kejaksaan jika perkaranya ingin dihentikan.

Evaluasi menyeluruh terhadap kasus-kasus BLBI harus dilakukan kejaksaan, disusul penentuan kelanjutan penanganan perkara. Pelaksanaannya perlu ekstra cermat dan hati-hati agar hasilnya tidak antiklimaks seperti sekarang. Untuk itu, pilih bukti-bukti yang kuat.

Pembersihan kejaksaan

Dalam berbagai kesempatan, termasuk raker dengan Komisi III DPR, Jaksa Agung menjelaskan program reformasi, termasuk pembenahan internal kejaksaan. Maka, untuk bisa memberantas korupsi, diperlukan jaksa berkualitas dan berintegritas.

Namun, tertangkap tangannya jaksa Urip menunjukkan pembenahan internal kejaksaan belum berjalan optimal sebab Urip sebenarnya termasuk jaksa pilihan, bagian dari 35 jaksa yang menangani kasus BLBI yang direkrut dari berbagai daerah. Menurut Jaksa Agung, para jaksa pilihan ini memiliki jejak rekam bagus, karakter kuat, dan memiliki sifat, kepribadian, dan tanggung jawab profesional dalam menegakkan rasa keadilan.

Kita patut khawatir bahwa ini hanya fenomena gunung es. Jika jaksa yang dianggap terbaik saja berperilaku seperti itu, lalu sebanyak apa jaksa-jaksa ”sapu kotor” yang masih berkeliaran di lembaga yang jadi ujung tombak pemberantasan korupsi ini?

Maka, program reformasi kejaksaan, khususnya pembenahan internal, perlu dievaluasi. Perlu dicari tahu, apakah pembenahan internal sudah berjalan seperti direncanakan. Hasil evaluasi itu lalu dijadikan titik start baru untuk membenahi internal secara menyeluruh terhadap sumber daya manusia kejaksaan, dari rekruitmen, pendidikan, dan pelatihan hingga sistem promosi, mutasi, dan demosi.

Pemeriksaan internal

Terhadap kasus jaksa Urip perlu dilakukan pemeriksaan internal, seperti janji Jaksa Agung. Pemeriksaan untuk mengetahui sejauh mana kasus suap ini terjadi, adakah jaksa atau petinggi Kejaksaan Agung terlibat.

Jika ada jaksa lain yang terlibat, siapa pun dia atau setinggi apa pun jabatannya, diharapkan Jaksa Agung bertindak tegas sesuai peraturan internal di kejaksaan. Tidak boleh ada upaya mengambinghitamkan jaksa tertentu untuk melindungi jaksa atau petinggi kejaksaan tertentu.

Terkait proses hukum terhadap jaksa Urip, kejaksaan diharapkan bersikap kooperatif dengan Komisi Pemberantasan Korupsi seperti ditunjukkan saat ini. Jika ada jaksa yang terlibat, kejaksaan tidak boleh mempersulit, justru harus memperlancar proses penyelidikan dan penyidikan sebab ini adalah momentum untuk membenahi atau membersihkan kejaksaan.

Trimedya Panjaitan Ketua Komisi III DPR; Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Minggu, 09 Maret 2008

Kasus Urip Tri Gunawan, Pelajaran Berharga Para Penegak Hukum



 
Minggu, 9 Maret 2008 - 10:38 wib

Penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, telah membuka borok besar di tubuh Kejaksaan Agung, khususnya Korps Adhyaksa. Ditangkapnya jaksa ketua penyidikan kasus BLBI untuk BDNI Urip Tri Gunawan memunculkan desakan agar KPK mengambil alih penanganan kasus BLBI. KPK dinilai relatif lebih independen dan mendapat kepercayaan publik.

Pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI), Rudi Satrio, mengatakan terungkapnya perbuatan nakal Jaksa Urip Tri Gunawan jangan disia-siakan begitu saja. Kasus ini harus dimanfaatkan KPK sebagai pintu masuk untuk mengusut kasus BLBI yang telah dihentikan Kejaksaan Agung. KPK harus mengambil alih kasus itu kalau dilihat dari penanganannya mempunyai nilai koruptif. Dianalis lagi oleh KPK dan bisa dibuka lagi oleh KPK. Rudi menambahkan, pengambilalihan kasus BLBI itu oleh KPK sesuai dengan UU KPK No.30/2002. KPK dapat melakukan pengambilalihan kasus BLBI dengan syarat memberitahukan hal tersebut terlebih dahulu ke Jaksa Agung atau Kapolri.

Senada dengan Rudi Satrio, pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Denny Indrayana meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mengingat Kejaksaan Agung yang menangani kasus ini malah tersangkut kasus suap. Penanganan kasus BLBI oleh KPK itu sesuai dengan pasal 9 huruf D Undang-undang KPK.

Sementara, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Haryono Umar mengemukakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) karena kasus tersebut muncul sebelum KPK terbentuk.

Penegakan hukum, khususnya untuk kasus BLBI merupakan ujian bagi para penegak hukum, karena kasus BLBI mempunyai dimensi yang luas. Namun demikian, penegakan hukum harus mendasarkan pada supremasi hukum yang terukur dalam arti penegakan hukum tetap memperhatikan pada sistem, jangan sampai penegakan hukum dilakukan dengan cara melanggar hukum. Karena berdasarkan Undang-Undang Nomer 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK tidak bisa menangani kasus yang muncul sebelum adanya KPK. Kasus BLBI muncul sebelum adanya KPK. KPK baru terbentuk pada akhir 2003, sedangkan kasus BLBI muncul sekitar tahun 1997.

Kasus tertangkapnya jaksa penyelidik kasus BLBI Urip Tri Gunawan atas dugaan penerimaan uang senilai 660 ribu dolar AS, diharapkan menjadi "shock teraphy" (terapi kejut) bagi para jaksa sehingga mereka takut menerima suap.

Jaksa merupakan profesi yang terhormat, oleh karenanya seorang jaksa yang terhormat semestinya sudah teruji moralitasnya. Hal itu tercermin dalam perilaku dan kehidupannya, kemudian dalam dia bertindak dalam profesinya. Dan yang terpenting dia bisa berbuat terbaik bagi bangsanya.

Jaksa bukan sebagai pelengkap dalam proses penegakan hukum. Dia harus bertanggung jawab sebagai organ yang harus menegakkan hukum dan bagaimana supremasi hukum berjalan dengan baik.

Sekarang ini, banyak jaksa yang masih jauh dari harapan yang didambakan masyarakat. Bagaimana membangun kepercayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum? Para jaksa sebagai penegak hukum harus konsisten menegakan hukum dengan menerapkan hukum dengan baik. Sebagai penegak hukum harus memberi contoh menegakkan hukum yang baik, bukan sebaliknya, memberi contoh menegakkan hukum tapi melanggar hukum. Ini sangat fatal. Hal itu juga menyebabkan masyarakat bertanya terhadap penegakkan hukum.

Kiswoyo Gunawan
Jalan Raya Ciomas Nomor 24 Bogor, Jawa Bara

Jumat, 07 Maret 2008

UU Pemilu Baru Tak Akan Bawa Perubahan Berarti


Jumat, 29 Februari 2008 | 00:40 WIB

Jakarta, Kompas - Undang-Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dinilai tidak akan membawa perubahan berarti bagi parlemen Indonesia. Parlemen masih akan tetap dikuasai partai- partai lama.

”Artinya, nasib rakyat tak akan banyak berubah karena perilaku partai politik masih sama,” kata peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris, Kamis (28/2).

Menurut dia, sistem pemilu yang baru tidak terlalu berbeda jauh dengan pemilu sebelumnya. Meskipun calon anggota legislatif yang terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP), jika tidak terpenuhi, akan ditentukan oleh nomor urut yang ditetapkan parpol.

”Anggota legislatif masih lebih banyak ditentukan oleh partai daripada pemilih,” katanya.

Pemberlakuan dua sistem threshold sekaligus, yaitu electoral threshold dan parliamentary threshold, juga menunjukkan inkonsistensi parpol. Threshold dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD hanya electoral threshold sebesar 3 persen.

Untuk pelaksanaan dua threshold tersebut, UU pemilu legislatif yang baru memberikan aturan peralihan. Parpol peserta Pemilu 2004 yang memiliki kursi di DPR tetapi tidak lolos electoral threshold langsung ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2009. Padahal, sesuai dengan aturan, mereka seharusnya ikut verifikasi ulang dengan mengubah nama partainya.

Kondisi ini tentu mencederai UU pemilu legislatif lama yang juga merupakan produk DPR sendiri. ”Ini hanya untuk memenuhi kompromi politis saja,” ujar Syamsuddin.

UU pemilu legislatif yang baru dinilai Syamsuddin hanya akan menguntungkan parpol-parpol besar. Namun, UU pemilu ini tidak dirancang dengan mengantisipasi dampaknya bagi sistem politik nasional. ”Parpol lebih berkonsentrasi demi kepentingannya masing-masing,” ungkapnya.

Di Yogyakarta, mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Akbar Tandjung menilai RUU pemilu yang baru memiliki keunggulan, terutama karena calon terpilih ditetapkan terhadap calon yang mencapai 30 persen dari BPP.

”Saya mendukung suara terbanyak untuk menentukan calon terpilih jika ada lebih dari seorang yang mencapai 30 persen supaya sistem pemilu semakin demokratis,” ujarnya.

Kompetisi yang semakin kuat diyakini akan mendorong peningkatan kualitas. Selain itu, para konstituen bisa membuktikan kapasitasnya sebagai wakil rakyat yang bisa dipercaya. ”Secara kualitatif, pemilu mendatang seharusnya bisa lebih baik,” kata Akbar.

Suara perempuan

Secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Bidang Kewanitaan Ledia Hanifa mengharapkan UU Pemilu bisa mengakomodasi suara perempuan. Hal itu tidak sekadar dalam bentuk partisipasi politik, tetapi juga menyediakan ruang representasi politik.

Salah satu caranya adalah dengan memberikan peluang bagi suara terbanyak untuk mendapatkan kesempatan duduk di kursi legislatif. ”Mekanisme ini akan memungkinkan semua anggota legislatif bersaing secara sehat dan bukan sekadar dengan nomor urut teratas,” ujar Ledia.

Saat ini, menurut dia, perempuan masih menantikan mekanisme yang akan disepakati dalam RUU Pemilu. Jika pilihannya nanti pada nomor urut, tentu saja harapan kesempatan perempuan untuk masuk di legislatif akan tergantung dari kebijakan partai politik masing-masing. (Mzw/mkm/mam)



 

Wapres Nilai Kriteria Korupsi Makin Luas


Kamis, 6 Maret 2008 | 01:59 WIB

Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla menyatakan, dengan kriteria perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sekarang ini semakin luas, maka korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN di Indonesia secara umum akan semakin berkurang. Alasannya, orang Indonesia akan takut melakukan perbuatan korupsi.

Wapres menyampaikan hal itu saat memberikan pengantar dalam diskusi ”Tantangan dan Arah Kebijakan Ekonomi di Tengah- tengah Turbulensi Global,” yang diselenggarakan Forum CEO Indeks Kompas 100, Rabu (5/3).

”Saya yakin KKN akan terus berkurang. Ini karena kriteria korupsi semakin meluas. Pertama, akibat pemberitaan yang bebas, dan, kedua, karena kriteria korupsi semakin luas. Inilah yang menyebabkan orang takut berbuat KKN,” ujar Kalla.

Menurut dia, pada kurun waktu di era pemerintahan Presiden Soeharto, sebuah departemen atau lembaga yang mempunyai dana nonbudgeter hingga ratusan miliar rupiah, dana tersebut dibagi-bagikan ke mana saja, pimpinan departemen atau lembaganya tidak akan masuk penjara.

”Akan tetapi, sekarang zamannya berbeda. Seperti Menteri Kelautan dan Perikanan dulu (Rokhmin Dahuri), dia punya dana nonbudgeter dan dibagi-bagikan, akhirnya dia masuk penjara. Juga Menteri Agama yang mempunyai dana nonbudgeter dari pengelolaan haji. Dia pun masuk penjara setelah terbukti membagikan sebagian dana kepada sejumlah orang,” katanya.

Kalla mengatakan, semakin meluasnya kriteria korupsi sekarang ini karena sejak diundangkannya Undang-Undang tentang Keuangan Negara yang dikeluarkan pada periode Presiden Megawati Soekarnoputri.

”Waktu saya Kepala Badan Urusan Logistik, dana nonbudgeter saya Rp 500 miliar. Siapa yang datang dan meminta selalu saya kasih. Semuanya senang. Akan tetapi, kalau sekarang ini dana tersebut saya kasih, maka jelaslah saya bisa masuk penjara,” papar Kalla. (har)

 

Rencana Uji Materi DPD akibat Penataan Sistem Legislasi Kacau


Kamis, 6 Maret 2008 | 02:00 WIB

Jakarta, Kompas - Upaya Dewan Perwakilan Daerah atau DPD untuk mengajukan uji materi (judicial review) RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang baru disetujui DPR—tetapi belum disahkan pemerintah dan belum dilaksanakan—itu menunjukkan sistem penataan lembaga legislatif yang kurang pas.

”Perbedaan kewenangan DPR dan DPD dalam membuat UU membuat kedua lembaga legislasi itu berkonflik,” kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria Samego, Rabu (5/3). Walaupun demikian, upaya DPD untuk melakukan uji materi terhadap RUU pemilu legislatif itu merupakan hal yang sah dan hak konstitusi setiap warga negara yang merasa dirugikan.

Indria menilai, rencana penggugatan oleh DPD itu terjadi akibat ketidaksamaan wewenang DPR dan DPD dalam membuat produk legislasi. Namun, hal itu merupakan ketentuan dalam UUD 1945.

”DPD seharusnya mendapat peran yang sama seperti DPR sehingga dapat menghasilkan UU yang dapat diterima semua pihak,” katanya.

Indria menambahkan, semua proses legislasi yang ada di parlemen masih mengedepankan pertimbangan masing-masing pribadi, partai politik, dan institusi. Karena itu, sistem ketatanegaraan yang mengatur lembaga legislasi perlu segera ditata ulang.

Dalam kasus RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena DPR merupakan lembaga yang membuat, akibatnya aspirasi DPD diabaikan.

Seharusnya, DPR adalah lembaga yang mewakili warga negara, sedangkan DPD adalah lembaga yang mewakili daerah. ”Karena itu, syarat anggota DPD boleh dari partai politik sebagai hal yang keliru,” ujar Indria. Aturan tersebut menunjukkan tingginya ambisi partai politik untuk membagi-bagi kekuasaan dengan para kadernya di lembaga legislatif.

Jika DPD mewujudkan niatnya untuk mengajukan uji materi RUU pemilu legislatif tersebut, maka pelaksanaan tahapan pemilu dipastikan akan terganggu.

Kriminalisasi

Dalam kesempatan terpisah, mantan Panitia Pengawas Pemilu 2004 Topo Santoso mengatakan, RUU Pemilu yang baru saja disetujui DPR dan pemerintah itu memuat 51 pasal mengenai tindak pidana pemilu.

Padahal, dalam aturan yang lama, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 hanya memuat 31 pasal tindak pidana pemilu.

”Penambahan aturan itu menunjukkan adanya kriminalisasi dalam UU Pemilu,” kata Topo dalam diskusi ”UU Pemilu Baru dan Konsekuensinya” yang diselenggarakan Centre for Electoral Reform (Cetro), Rabu siang.

Pembicara lain adalah mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti, Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay, Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Agus Purnomo, dan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin.

”Sebagian besar pasal-pasal itu mengancam penyelenggara pemilu, mulai dari KPU sampai ke KPPS. Saya khawatir kinerja penyelenggara pemilu akan terganggu dan waktu mereka malah habis untuk mengurusi tindak pidana pemilu dibandingkan menyiapkan pemilu,” kata Topo.

Dia mengingatkan KPU dan Badan Pengawas Pemilu agar berhati-hati menyelenggarakan pemilu. ”Mereka harus berhati- hati bila tidak ingin dibui. Untuk Bawaslu, jangan sampai nanti menjadi badan pengawas KPU karena tugasnya mengawasi pemilu,” kata Topo.

Sementara Lukman mengungkapkan banyaknya pasal tindak pidana pemilu dalam UU Pemilu karena banyak masukan ke Pansus RUU Pemilu.

”Terus terang, banyak masukan dari berbagai kalangan, melihat dari pengalaman Pemilu 2004 dan pilkada, di mana ada temuan-temuan yang menyatakan tidak sedikit penyelenggara pemilu yang ikut ’bermain’. Karena itu perlunya intensitas pengawasan terhadap penyelenggara pemilu,” papar Lukman. (mzw/SIE)